Bab Dua Puluh Tiga

6.7K 425 8
                                    

Orang sabar di sayang Allah. Nadia sedang mencoba—dengan berharap—dalam usahanya mencoba untuk sabar ia dapat termasuk golongan orang yang disayang Allah. Aamiin.

Kedua matanya menatap sendu pada dua sosok manusia yang tengah asik berlarian di taman belakang rumahnya. Dua manusia yang bahkan tak memperdulikan gerimis yang membasahi tubuh keduanya.

Mereka tidak lain adalah Arfan dan si kecil Aina.

Nadia mendesah pelan bertepatan dengan Jessica yang berjalan mendekat ke arahnya dan memilih duduk di kursi tepat di samping Nadia.

“Rais udah tidur mbak?” tanya Jessica basa-basi.

“Udah, Jess. Baru aja.”

Keduanya lantas memilih diam. Jessica tahu perasaan yang kini tengah merundung hati wanita yang duduk di sampingnya. Kesedihan dari kedua sorot indah nata Nadia tak bisa ditutupi dengan suatu hal apapun.

“Mbak, boleh aku tanya sesuatu sama mbak?” tanya Jessica dengan lembut.

Nadia menoleh ke arah wanita cantik yang duduk di sampingnya. Ia mengangguk disertai senyum yang mendamaikan.

“Mbak kenapa gak jujur aja soal perasaan mbak sama Arfan?”

Nadia diam, lebih tepatnya mencerna lebih dalam pertanyaan Jessica.

Mengapa ia tidak jujur mengenai perasannya?

Sesungguhnya Nadia sudah jujur mengenai perasaanya. Mengenai sakit yang dirasakannya. Mengenai kebimbangan hatinya. Hanya saja, mungkin, Nadia terlalu pintar menyembunyikannya di balik senyumnya. Atau mungkin Arfan yang terlalu bodoh untuk menyadari rasa sakit yang dirasakan istrinya?

“Mbak, aku juga seorang wanita. Aku faham gimana perasaan mbak sekarang. Wanita memang mudah mengucapkan ikhlas. Tapi terkadang selalu berkebalikan dengan isi di dalam hati yang sebenarnya.”

“Mbak ikhlas kok Jess. Arfan adalah sosok ayah yang sangat dibutuhkan kehadirannya untuk Aina.”

“Aku tahu mbak, hanya saja Arfan punya Rais. Rais masih sangat kecil. Ia yang lebih membutuhkan Arfan, anaknya, darah dagingnya.”

Nadia lagi-lagi memilih diam. Ia alihkan perhatiannya pada segumpal awan hitam di langit yang kelabu. Senyum tipis nya tersungging tanpa diminta. Tatapan matanya begitu lurus menatap pada satu titik dimana sumber hujan itu turun membasahi bumi.

“Rais memang membutuhkan Ayahnya. Jarang sekali ia merasakan quality time bersama ayahnya.” Ucap Nadia pada akhirnya.

“Mbak hanya mencoba untuk memahami dan membahagiakan Aina. Aina anaknya Revan, mantan suaminya mbak, Jess. Otomatis Aina anak mbak juga. Dan sekarang mbak istrinya Arfan, dan mau tidak mau Aina pun menjadi anaknya Arfan.”

Jessica menggeleng tak terima. Teori macan apa itu? Ia jelas tidak terima. Sangat terdengar tidak masuk akal.

“Tapi bukan berarti harus mengorbankan perasaan mbak juga kan?”

Nadia lagi-lagi tersenyum. Ia pejamkan kedua matanya. Ia mencoba meredam gemuruh dihatinya tatkala suara gelak tawa Arfan dan Aina terdengar jauh di depan sana.

“Mbak ikhlas jika harus menjadi sosok yang tersakiti disini. Asalkan jangan anak mbak yang tersakiti. Kalau anak mbak yang tersakiti, baru mbak akan jujur mengenai perasaan mbak. Bahwa mbak gak akan pernah Ridha jika ada seseorang yang menyakiti anak mbak. Sekalipun orang itu adalah ayahnya.” Ucapnya dengan lirih.

Dengan begitu Jessica memilih bungkam. Ia kemudian menatap sosok Arfan yang juga tengah menatap ke arahnya. Lebih tepatnya ke arah istrinya yang masih memejamkan matanya.

Ia sadar, kehadirannya bersama Aina diantara sepasang suami isteri ini telah begitu dalam menimbulkan luka.

Lantas ia harus bagaimana sekarang? Disisi lain ia sendiri bahagia bisa kembali melihat kebahagiaan di wajah putrinya. Harus ia akui, ia ingin mempertahankan Arfan setidaknya sampai ia memutuskan untuk kembali ke London. Setidaknya sebelum Aina mengetahui semuanya , ia menginginkan putrinya itu dilingkupi kebahagian yang dimana disini sumber kebahagiaannya adalah Arfan.

Egois memang. Tapi semua ini semata-mata demi putrinya. Penyemangat hidupnya.

***

Arfan terengah-engah, berulangkali ia mengucapkan istighfar dalam hati seraya menyugar rambutnya dengan menggunakan jari.

Mimpi yang amat sangat buruk.

Ia menoleh ke samping kanan dimana Rais dan istrinya tengah tidur dengan lelapnya. Ada perasaan lega yang menyelinap di hatinya. Setidaknya di kehidupan nyata keduanya tidak meninggalkannya. Tidak seperti yang ia alami di dalam mimpi.

Mimpi yang terasa begitu nyata. Mimpi yang begitu menyayat hati dan mengundang air matanya yang kemudian jatuh tanpa permisi.

Ya Allah hamba mu ini telah berbuat dosa. Hamba lalai dalam memimpin keluarga kecil hamba. Bukan kebahagiaan yang hamba berikan. Tapi luka dan air mata

Arfan kembali membaringkan tubuhnya. Ia remas rambutnya dengan kencang. Menangis dalam diam seraya mengucap istighfar berulangkali mencoba menghilangkan kegundahan dihatinya.

“Bi?”

Arfan menoleh dan mendapati sosok istrinya yang tengah menatapnya dengan kedua mata yang menyipit. Jelas sekali istrinya itu baru saja terbangun dari tidur lelapnya. Dan itu semua karena dirinya. Karena isak tangisnya.

“Ya Allah, Abi? Abi nangis? Kenapa? Ada masalah?”

Arfan tersenyum. Ia tak lagi kuasa menahan gejolak dalam dirinya. Ia lantas membawa Nadia dalam pelukannya. Tentu, karena Rais berada di tengah-tengah diantara keduanya, pelukan Arfan otomatis ikut memeluk si kecil pula.

“Maafin Abi ya umi. Abi lalai. Abi telah berdosa. Abi malu. Abi merasa sangat hina di mata umi dan Rais.”

Nadia mencoba menenangkan suaminya dengan mengusap lembut punggung suaminya.

Arfan semakin menangis, terisak lirih dengan berulang kali mengucap maaf. Beribu-ribu penyesalan menghantuinya. Mengapa setelah banyak luka yang ia torehkan, ia baru disadarkan hari ini akan kesalahannya.

Kesalahan karena menomorduakan keluarganya.

“Umi maafin Abi ya? Abi tahu Abi salah. Abi khilaf, umi. Abi benar-benar menyesal telah melakukan semua ini sama umi.”

Nadia masih diam. Dari sudut matanya cairan bening keluar dengan perlahan. Ia tak mau membohongi diri sendiri bahwa hatinya ikut merasakan sakit mendengar isak lirih suaminya.

“Allah maha pengampun bi. Bagaimana bisa umi yang hanya sebagai hambanya tidak bisa memaafkan kesalahan yang Abi perbuat. Sombong sekali umi kalau umi tidak bisa memaafkan kesalahan abi.” Ucap Nadia pada akhirnya.

Arfan semakin mempererat pelukannya. Ia kecup kening istrinya dengan penuh kelembutan. Ia kemudian beralih menciumi kening si kecil dan lagi-lagi mengucapkan maaf, seolah si kecil bisa mengerti apa yang baru saja diucapkannya.

“Umi?”

“hmmmm?”

“Makasih. Makasih karena sudah mau memaafkan Abi.”

Nadia tersenyum dan mengangguk dalam dekapan suaminya.

“Gak papa, yang lalu biarlah berlalu. Abi harus janji lagi satu hal sama umi.”

“Apa umi?”

“Jangan lagi masuk kedalam jurang kesalahan yang sama. Umi hanya takut, amarah nanti yang lebih menguasai hati umi kalau nantinya Abi mengulangi kesalahan yang sama.”

Arfan tersenyum. Ia kemudian melerai pelukan keduanya dan menatap lurus-lurus kedalam kedua mata indah istrinya.

“Abi gk bisa janji. Abi hanya akan berusaha untuk mewujudkannya.”

Nadia lagi-lagi tersenyum kemudian memilih untuk menenggelamkan wajahnya di dada suaminya. Sudah lama sekali rasanya ia tidak merasakan kenyamanan seperti sekarang ini.

“Umi?”

“Iya bi?”

“Kira-kira, menurut umi, kalau Abi jujur sama Aina tentang siapa ayahnya yang sebenarnya. Bagaimana umi?”

Nadia diam. Ia enggan untuk menjawab. Ada keraguan dalam hatinya. Ia ingin sekali meng-iyakan. Hanya saja hatinya ragu. Ia takut salah dalam mengambil keputusan.

Pada akhirnya, Nadia hanya membiarkan pertanyaan suaminya tanpa jawaban. Ia memilih bungkam, begitupun dengan Arfan.

Sepasang suami istri itupun akhirnya terlelap dengan tubuh yang saling berpelukan. Menyalurkan perasan rindu yang terhalang oleh luka yang bersemayam dalam hati.

***

Assalamu'alaikum... malam-malam update. Semoga feel-nya dapet yaa😂

Cuma mau bilang, siap-siap aja, chapter selanjutnya mulai masuk ke konflik yang sebenarnya 😂😂😂😂😂

Jangan lupa tinggalkan jejak ♥♥

Keikhlasan Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang