Nadia menangis. Dengan lirih ia mengucap istighfar seraya menekan dadanya mencoba meredam perih yang bersemayam disana.
Disampingnya Rais terlelap dalam damai. Tangan mungilnya bertengger manis di dada ibunya, seolah anak itu tahu akan sakit yang tengah dirasakan ibunya.
Perlahan pintu kamarnya terbuka. Sosok Arfan muncul disana dengan ekspresi murung dan tatapan sendu. Ditatapnya punggung istrinya yang bergetar hebat, ia tahu wanitanya itu kini tengah terluka.
Berjalan gontai Arfan mendekati Nadia. Dipeluknya tubuh istrinya dari belakang. Isak tangis Nadia semakin terdengar mengundang air mata Arfan yang sudah ia tahan sejak tadi.
Sungguh, menyakiti Nadia tidak pernah ada dalam list hidupnya. Ia hanya ingin wanita dan putra kecilnya tersenyum bahagia. Bukan derai air mata seperti saat ini.
"Maaf." Bisik Arfan lirih seraya memeluk erat tubuh Nadia.
"Maaf, aku.... aku gak ada maksud untuk-"
"Abi." Potong Nadia cepat dengan suara yang bergetar.
"Hmmm?"
"Kenapa gak kasih tahu umi sebelumnya? Kenapa Abi diam saja?"
Arfan perlahan merubah posisi Nadia menghadap ke arahnya. Dengan kedua tangannya ia hapus jejak air mata istrinya. Ia kecup kedua kelopak mata Nadia seraya menggunakan maaf berulang kali dalam hatinya.
"Abi gak ada maksud sedikitpun untuk membohongi umi atau menutup-nutupi nya dari umi. Abi gak sempat. Aina tiba-tiba saja meminta Abi untuk menemaninya. Abi gak bisa menolak, dia menangis. Kamu tahu kan Abi sangat lemah mendengar suara tangisnya?"
Nadia menatap lekat-lekat sosok suaminya itu. Ia kemudian mendesah pelan. Rasa kasihan dinhati suaminya sudah kelewat batas. Bukan Nadia ingin membatasi hubungan keduanya. Hanya saja Nadia takut, jika nanti, lama kelamaan Arfan akan lupa diri dan justru menyalahgunakan perasaan kasihan yang bersemayam di hatinya.
Nadia takut suaminya lupan jalan pulang ke rumah yang sebenarnya.
"Jika Abi tidak tega melihat Aina menangis. Kenapa Abi segitu teganya meninggalkan Rais yang menangis seharian?"
Sakit. Arfan merasakan sakit di hatinya dengan begitu luar biasa. Sedangkan Nadia, dalam diamnya ia menyesali ucapannya. Sungguh, ia tidak bermaksud untuk menyulitkan suaminya. Ia tidak bermaksud untuk membuat suaminya bimbang.
Ya Allah. Ia telah egois sebagai seorang istri.
"Abi." Panggil Nadia lembut.
"Sejak awal umi sudah tegaskan, umi ikhlas, umi gak papa kalau harus membagi perhatian Abi dengan Aina. Insya Allah Rais dan umi bisa menerima dengan baik. Hanya saja Abi tahu bukan tentang bagaimana kita harus seimbang dalam hal bagi membagi?"
Arfan menganggukan kepala sebagai jawaban.
"Yang tidak umi sukai hari ini, yang menyebabkan umi menangis hari ini, yang menimbulkan rasa sakit di hati umi saat ini, adalah bagaimana Abi secara tidak sadar sudah tidak adil, tidak seimbang dalam membagi perhatian pada dua sosok putra-putri abi."
Arfan diam. Ia faham, apa yang Nadia utarakan secara gamblang benar-benar ia fahami betul maknanya.
"Maaf , umi. Sungguh, Abi tidak bermaksud untuk-"
"Jangan ulangi lagi. Jangan menyakiti hati seseorang hanya demi kebahagiaan yang lain. Jika hari ini abi berniat membahagiakan Aina. Maka, bahagiakan pula Rais sebagaimana Abi membahagiakan Aina. Seimbang. Jika memang abi menginginkan keduanya hadir dalam hidup abi, Abi harus seimbang. Harus adil."
KAMU SEDANG MEMBACA
Keikhlasan Hati
Spiritual#47 - Spiritual #65 - Spiritual #75 - Spiritual #100 - Spiritual *** Bagaimana jadinya jika pernikahan yang baru berjalan satu bulan kini kandas karena ditinggal suami untuk selama-lamanya? Lantas bagaimana jadinya jika akhirnya ia dinikahkan den...