Bab Empat

9.8K 900 7
                                    

Assalamu'alaikum. Aku balik lagi. Hehe. Jangan pernah bosan-bosan ya. Dan semoga masih ada yang nunggu kelanjutan cerita ku ini. Terimakasih💞

***

Arfan langsung saja terbangun saat terdengar suara pintu yang terbuka. Ia mengerjapkan matanya berulang kali dan menatap sosok wanita paruh baya yang berjalan mendekat ke arahnya dengan senyum yang tak pernah hilang di wajah cantiknya yang mulai menua.

“Umi?”

“Nak Arfan.” Umi tersenyum lembut kemudian mengusap kening Nadia yang masih setia memejamkan matanya, “Sudah berapa lama Nadia tidur?”

“Nadia belum sadarkan diri semenjak saya bawa ke sini, umi. Dia ditemukan pingsan di supermarket. kurang lebih 5 jam yang lalu, umi. ” Jelasnya.

Umi hanya mengangguk-nganggukan kepala. Kemudian meletakan dua kantung kresek di atas meja nakas.

“Sudah shalat subuh?”

Arfan mengangguk saja sebagai jawaban, “Tadi Arfan tertidur sesudah shalat umi.”

“Kamu pasti lelah. Istirahat saja nak, biar umi yang gantikan jaga Nadia.”

“Gak usah umi. Arfan baik-baik saja”

Umi mengangguk pasrah. Ia mengalihkan perhatiannya ke arah putrinya kemudian mengecup keningnya lembut.

“Kalau begitu umi pamit keluar dulu sebentar. Kamu mau titip sarapan?”

“Boleh umi. Kalau tidak merepotkan.”

“Tidak sama sekali. Kalau begitu umi beli sarapan dulu ya. Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam.”

***

Entah sudah berapa lama Nadia tidak merasakan tubuhnya begitu lemah. Dulu, saat menikah dengan Revan. Pernikahan yang sangat singkat, Revan selalu memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan Nadia.

Seperti, apakah Nadia sudah makan? Apakah Nadia menginginkan sesuatu? Atau Nadia membutuhkan sesuatu? Tak pernah Revan melewatkan sedikitpun hal-hal yang selalu membuat Nadia tambah rasa cintanya dalam setiap harinya.

“Mas Revan.” Mulutnya berucap lirih.

Satu tetes air mata jatuh membasahi pipinya. Kedua matanya masih setia tertutup rapat. Kemudian seakan memang sudah terbiasa, Nadia mengucapkan tasbih dengan suara yang begitu lirih.

Sedangkan sosok pria yang setia menemaninya sejak malam hanya mampu tersenyum getir. Mendengar wanita yang sudah menjadi isterinya memanggil nama pria lain dalam keadaan tidak sadar benar-benar memohok hatinya.

Sebesar itukah cintanya kepada Revan?

Arfan menghembuskan nafasnya dengan kasar. Ia menatap langit-langit kamar rumah sakit dengan hati yang bergemuruh hebat. Entah amarah, atau perasaan lain yang kini tengah menguasai tubuhnya.

Dengan gusar Arfan mengusap wajahnya. Kemudian bangkit berdiri, berjalan ke kamar mandi dan mengambil air wudhu. Ia kemudian meraih Al-Quran yang ia letakan di samping kepala Nadia dan mulai membaca Al-Quran dengan suara pelan.

سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْاَعْلَى
"Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi,"
(QS. Al-A'la 87: Ayat 1)

الَّذِيْ خَلَقَ فَسَوّٰى
"yang menciptakan, lalu menyempurnakan (penciptaan-Nya),"
(QS. Al-A'la 87: Ayat 2)

وَالَّذِيْ قَدَّرَ فَهَدٰى 

"yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk,"
(QS. Al-A'la 87: Ayat 3)

Yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk

Arfan tidak pernah tahu bagaimana jalannya kehidupan rumah tangganya? Dengan sang isteri yang masih menyimpan baik nama pria lain di hatinya. Allah lah yang selalu menjadi tempat peraduannya. Tiada hentinya ia selalu meminta pengharapan, agar senantiasa diberi petunjuk atas jalan terbaik untuk kehidupannya kini.

4 bulan lalu—tepat satu bulan setelah kepergian adiknya—Arfan dengan berat hati menerima tawaran dari ayahnya untuk menikahi Nadia. Alasan yang begitu tidak masuk akal menjadi gerbang utama atas kehidupan yang terjadi sekarang.

“Nadia anak yang baik, Arfan. Ayah dan ibu tidak sampai hati kalau-kalau Nadia nantinya dinikahi oleh pria lain yang kita tidak ketahui tabiat aslinya. Ayah juga tak sampai hati, kalau Nadia harus lepas dengan keluarga kita. Nikahilah dia, demi adikmu. Demi kebahagiaan Nadia.”

Benarkah Nadia bahagia? Benarkah keputusan yang diambilnya kini adalah hal baik yang bisa memberikan kebaikan dimasa sekarang atau dimasa yang akan datang?

“Mas Arfan?” suara lemah itu terdengar menghentikan bacaan ayat suci Al-Quran nya.

Ia kemudian menyudahi bacaannya dan meletakan kembali Al-Quran di meja nakas. Ditatapnya wajah pucat istrinya dengan senyum tipis dan kedua mata yang menatapnya penuh kelembutan.

“Kenapa? Haus?” tanyanya lembut seraya membantu letak kerudung istrinya.

Nadia mengangguk tak mampu berkata-kata. Ia selalu gugup jika suaminya itu memperlakukannya seperti saat ini. Jantungnya yang selalu meresponnya dengan berlebihan. Kedua pipinya langsung memanas dan memperlihatkan rona merah yang selalu membuatnya malu luar biasa.

Arfan meraih gelas berisikan air dan membantu Nadia meminumnya. “Pelan-pelan.”

Nadia menurut saja. Pelan-pelan ia meminum air putih setelah sebelumnya membaca basmalah berupa bisikan.

“Masih sakit?” tanya Arfan setelah meletakan gelas kembali ke tempat semula.

“Sedikit.” Ucapnya lemah.

Tanpa Nadia duga sebelumnya. Arfan bangkit dari duduknya. Diletakkannya bibirnya di kening isterinya kemudian ia bacakan Al-Ikhlas, Al Falaq, dan An Naas kemudian ditiupkannya.

Bila istri Rasul sakit, beliau tiupkan padanya Al-Ikhlas, Al Falaq, dan An Naas – (HR. Muslim)

La basaa thohurun insyaa Allah.”

Nadia meneteskan air matanya merasa terharu atas perlakuan suaminya yang tak pernah terpikirkan olehnya sebelumnya.

Nadia meraih tangan suaminya kemudian dikecupnya dengan penuh kasih sayang punggung tangan suaminya dengan air mata yang masih setia turun membasahi pipinya.

“Terimakasih mas.”

Arfan tersenyum. Meski hatinya masih merasakan rasa sakit atas apa yang baru saja didengarnya. Arfan tidak ingin bersikap egois. Perlahan saja, nikmati prosesnya. Allah tahu yang terbaik untuk umatnya.

***

Silahkan tinggalkan jejak. 💖💖


Keikhlasan Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang