Bab Sembilan.

10.3K 572 4
                                    

“Panggilnya Abi, umi aja ya?” tawar Arfan seraya memainkan rambut Nadia yang tergerai indah.

Nadia hanya tersenyum dengan sesekali ikut memainkan rambut suaminya yang tengah tidur di pangkuannya.

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Dua bulan berlalu terasa begitu singkat. Kini keduanya benar-benar telah menjadi sosok suami istri yang sebenarnya. Nadia yang sudah mulai menerima baik sosok Arfan dalam hidupnya, serta hatinya yang perlahan kembali menghangat karena terus menerus diberikan kasih sayang oleh suaminya.

“Memangnya kalau ayah bunda? Atau mamah papah? Kenapa mas?” tanya Nadia masih dengan senyum manisnya di wajah cantiknya.

Arfan menatap kedua mata istrinya kemudian mengecup perut rata istrinya. “Anaknya minta panggil Abi sama umi.” Ujarnya santai dan kembali memejamkan matanya.

Raut wajah wanita itu perlahan surut. Kedua matanya menatap sendu wajah sang suami. Ini bukan kali pertama suaminya menyinggung soal anak. Dan Nadia selalu merasakan kesedihan yang mendalam saat lagi-lagi dihadapkan pada kenyataan bahwa sejak pertama kalinya mereka melakukan hubungan suami isteri satu bulan yang lalu, hingga kini belum ada buah dari cinta keduanya yang bersemayam di dalam rahimnya.

Nadia tahu keinginan Arfan yang begitu mendalam. Suaminya itu selalu melakukan hal yang sama setiap kali menghabiskan waktu bersama. Dia selalu merapalkan do'a, memberi usapan lembut di perutnya, serta membacakan Qur’an dengan suara merdunya. Seolah-olah memang sudah ada malaikat kecil yang tumbuh dan hidup di dalam sana.

Arfan yang menyadari kebisuan istrinya lantas membuka matanya. Ia langsung dihadapkan dengan sorot sendu istrinya yang langsung membuatnya tertegun. Ia langsung memposisikan tubuhnya duduk di hadapan si istri dan langsung membawa tubuh mungilnya ke dalam pelukannya.

“Maafin mas ya. Mas gak bermaksud buat kamu sedih kok.”

Nadia menggeleng dalam dekapan suaminya. Ia membalas pelukan Arfan kemudian memejamkan mata mencoba menahan rasa sakit di hatinya.

“Jangan putus asa ya, umi. Kita harus berusaha. Lebih giat lagi berdo'a sama Allah.”

“Iya... abi.” Jawabnya ragu.

Arfan terkekeh pelan kemudian mengecup puncak kepala istrinya. “Sekarang tidur ya. Istirahat. Jangan pikirkan keinginan Abi yang menginginkan kehadiran si kecil dalam waktu dekat. Kita tunggu sampai Allah memberikan kepercayaan nya kepada kita.”

Nadia kembali mengangguk dan hanya pasrah saat suaminya membaringkan tubuhnya dan memeluknya seraya memberi usapan lembut di punggungnya.

***

“Assalamu’alaikum ukhti.”

Nadia mendongak dan langsung berhadapan dengan sosok wanita yang tengah tersenyum ke arahnya di balik niqab nya.

“ Wa'alaikumsalam Warrahmatullah Wabarakatuh.”

“Sudah lama ukhti?”

Nadia tersenyum kikuk kemudian mempersilahkan wanita itu untuk duduk bersebrangan dengannya.

“Sudah lama sekali tidak bertemu.” Ucap wanita bercadar itu setelah berhasil duduk dengan susah payah karena perut yang sudah membesar.

“Iya, ukhti. Afwan, saya terlalu sibuk dengan kesedihan saya.” Ucap Nadia lemah dan menundukkan kepala malu.

“Saya mengerti, ukhti. Apa kabar sekarang? Bagaimana pernikahannya dengan akh Arfan?”

Ukhti Rika...” panggil Nadia berupa bisikan, “Suami saya dua Minggu belakangan ini terus membicarakan perihal anak. Saya... saya merasa kasihan dan sedih di waktu bersamaan. Saya belum bisa memberikan anak untuknya.”

Keikhlasan Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang