Bab Sembilan Belas

6.4K 403 3
                                    


Arfan tergelak saat dilihatnya Nadia yang tengah menatapnya marah seraya melipat kedua tangannya di depan dada dengan penampilan yang acak-acakan.

Rambut istrinya itu nampak kusut karena baru saja bangun dari tidur. Dua kancing teratas piama nya terbuka hingga menampilkan sumber dari nutrisi anaknya. Ditambah wajah pucat yang nampak lelah.

Bagaimana ia tidak marah, satu keluarga kompak bangun kesiangan. Saat ini jarum jam menunjuk ke angka 10 lewat 30 menit. Dan Arfan, suaminya itu berjanji untuk membeli sarapan justru pulang dengan tangan kosong dan memilih ikut menjemput mimpi bersamanya.

Nadia semakin bertambah gondok saat dirinya marah, kesal, justru Arfan meresponnya dengan gelak tawa. Rais? Ah, bocah kecil itu justru kini kompakan dengan sang ayah ikut menertawakan meski Nadia yakin bocah 5 bulan itu tidak mengerti sama sekali apa yang terjadi.

“Abiiii!!” teriaknya kesal seraya menghentak kan kaki di atas lantai, “Masih bisa-bisanya kamu ketawa pas aku lagi kesel gini?”

Arfan terkekeh pelan kemudian beringsut duduk dan menatap isterinya dengan masih sisa-sisa tawa yang ada.

“Maaf... kamu keliatan lucu aja gitu.”

“Lucu gimana?”

“Ya lucu... marah-marah pas masih ada sisa-sisa kantuk gitu. Gemes tahu liatnya.”

Nadia mendengus kesal. Ia kemudian meraih ikat rambut dan mengikat rambutnya asal. Setelah menitipkan Rais kepada suaminya ia berjalan ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.

Tugasnya kini kembali double. Jam sarapan terlewat sudah. Ia terpaksa memboyong anak nya yang sedang rewel untuk pergi ke luar membeli bahan-bahan dapur yang sudah kosong melompong.

Setelah siap dengan si kecil Rais yang sudah lebih segar, wangi, dan tampan. Kini keduanya duduk manis di salah satu sofa yang terdapat di ruang keluarga tengah menunggu sosok Arfan yang masih sibuk dengan kegiatan membersihkan dirinya.

“Yuk. Maaf Abi kelamaan.”

“Emang dasarnya lelet.” Gerutu Nadia pelan yang lagi-lagi mengundang gelak tawa Arfan yang berjalan di belakangnya.

Sepasang suami isteri itu memutuskan untuk pergi ke salah satu pusat perbelanjaan terdekat. Mereka memutuskan untuk berbelanja sekaligus quality time. Karena ini weekend, Arfan terbebas dari kerjaannya. Ia dedikasikan waktunya hanya untuk keluarga tercintanya. Anak dan isterinya.

“ Makan dulu ya bi, umi laper ini.”

“Iya, Mi. Gak sabaran amat.” Celetuk Arfan seraya mengambil alih Rais untuk ia gendong.

“Salah siapa coba? Lagian tadi janjinya beli sarapan malah ikut tidur juga.”

Arfan terdiam. Ingatannya kembali berkelana pada kejadian tadi pagi. Kejadian yang mempertemukannya kembali dengan Aina dan wanita di masa lalunya.

Arfan mendesah pelan. Tidak tepat rasanya memikirkan orang lain disaat ia tengah menikmati waktu kebersamaan bersama orang terkasihnya.

“Umi mau makan apa?” tanya Arfan setelah mereka memasuki area Mall yang tampak penuh hari ini.

“CFC aja ya? Lagi pengen makan ayam ini.”

Arfan menurut saja. Ia menggiring Istrinya untuk berjalan menerobos membelah keramaian. Satu tangannya menggendong si kecil Rais, sedangkan satu tangan lainnya yang terbebas ia gunakan untuk menggenggam tangan istrinya.

CFC tampak penuh. Antrean panjang terlihat dari luar. Nadia sebenarnya merasa malas, hanya saja keinginannya untuk makan ayam sangat kuat. Akhirnya Arfan yang kebagian tugas berhimpitan dengan beberapa orang, ikut mengantri demi mendapatkan keinginan sang isteri.

Nadia yang melihat wajah pasrah suaminya hanya mampu tersenyum geli. Ia letakan tubuh kecil Rais untuk di dudukan di atas meja dengan kedua tangannya yang memegang pinggang putra kecilnya.

“ Liat tuh dek, Abi kamu itu, baiknya gak ketulungan. Nanti kalau kamu sudah besar, sudah memiliki istri, jadilah sosok pria seperti Abi kamu ya.”

Nadia terkikik geli saat Rais dengan penuh semangat merespon ucapannya dengan bahasa bayi yang masih belepotan.

Diciumnya dengan gemas pipi gembul putranya mengundang kekehan geli dari putra kecilnya. Ah, rasa-rasanya Nadia tidak akan pernah bisa marah dalam waktu cepat jika ada Rais dan Arfan disisinya.

***

“Pelan-pelan umi makannya.” Tegur Arfan lembut saat dilihat istrinya dengan lahapnya memakan makanan yang tersaji di depannya.

“Laper, bi.”

“Laper sih laper tapi gak sampe belepotan gitu juga kali.” Ucap Arfan menahan kekehan geli melihat cara makan istrinya kini.

Arfan membantu membersihkan sisa-sisa makanan di sekitar mulut isterinya. Ia sendiri sudah selesai makan lebih dulu dan dengan segan membiarkan isterinya menjaga Rais. Baru setelah ia selesai makan, giliran Arfan yang kini menjaga Rais.

Putranya itu tengah asik dengan mainan karetnya. Mengigitinya dan memukul-mukulnya ke atas meja. Arfan hanya tersenyum saja melihatnya dengan sesekali mendaratkan kecupan singkat di kening putranya.

“Habis ini langsung belanja aja atau gimana?”

Nadia menyesap Pepsi nya hingga tandas, lalu membersihkan mulutnya menggunakan tisu. Barulah ia menjawab pertanyaan suaminya setelah memikirkan solusi terbaik.

“Jalan aja bentar. Kita ajak Rais main ke area Timezone, pasti dia seneng banget.” Jelas Nadia yang merasa puas Dengan usulannya.

“Lah? Emang dia udah ngerti yang begituan? Palingaan kamu yang keasikan main nanti.”

Nadia memukul tangan suaminya pelan, “Ya enggaklah. Emang Rais belum faham, bi. Tapi kan yang terpenting dia bahagia. Soal nanti aku yang bakal keasikan main, ya itu sudah resiko. Anaknya kan masih kecil, jadi sekarang puas-puasin aja dulu orang tuanya main.”

Arfan tergelak tak mampu lagi menahan tawa. Sungguh, istrinya ini bertambah gemas setelah menjadi seorang ibu.

“Yaudah lah, ikut ibu-ibu aja.” Ucap Arfan pelan dan lagi mendapat pukulan pelan di tangannya.

Keduanya lantas beranjak pergi menuju tempat yang sudah di putuskan oleh keduanya. Lagi-lagi kawasan permainan anak-anak itu dipenuhi lautan manusia.  Bukan hanya sepasang keluarga seperti keduanya. Tetapi para remaja pun ikut menghiasi arena Timezone yang jika hari libur seperti ini selalu nampak penuh.

Nadia benar-benar menikmati waktu bersama keluarganya kini. Ia tiada henti tertawa bahagia saat melihat respon Rais yang selalu nampak antusias saat Nadia mengajaknya mencoba permainan baru meskipun ibunya yang menjalankan proses permainannya.

Arfan yang sedari tadi menggendong Rais tidak mengeluh karena tangannya pegal. Melihat tawa bahagia kedua orang tercintanya sudah mampu mengalahkan rasa lelahnya.

Arfan hanya berharap, kebahagiaan nya kini akan tetap berlanjut sampai mau yang hanya bisa memisahkan. Mengenai persoalan tadi pagi, Arfan janji akan menceritakannya nanti kepada Nadia sepulangnya dari sini.

Ia akan menceritakan semuanya. Tentang siapa Aina. Masa lalunya yang terhubung dengan masa lalu Revan. Juga tentang wanita yang tidak lain adalah ibu dari Aina, gadis kecil yang tetap setia memanggilnya Ayah meski sudah lama berlalu semenjak ia memutuskan untuk pergi dari kehidupannya.

***

Assalamu'alaikum, masih ada yang menunggu kelanjutan cerita ini? Jangan lupa tinggalkan jejak ♥♥

Keikhlasan Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang