Bab Sebelas

8.9K 589 8
                                    

Allah SWT berfirman:

فَبِاَيِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ

"Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?"
(QS. Ar-Rahman 55: Ayat 16)

Arfan tiada henti mengucap syukur, betapa besar nikmat yang telah Allah berikan kepadanya. Istri yang cantik dan insya Allah shalehah, harta yang berkecukupan, orang tua yang menyayanginya, dan hari ini, calon buah hati yang sejak ia mengucapkan ijab Qabul dua bulan lalu selalu diimpikannya kini telah hadir dan tumbuh di dalam rahim istrinya.

Allah maha pengasih lagi maha penyayang. Arfan merasa begitu luar biasa bahagia dicampur kesedihan yang tak mampu ia tahan lagi. Ia sering berbuat lalai, sering pula meninggalkan kewajiban-kewajiban nya sebagai umat Islam. Tapi maha besar Allah, hadiah dari Allah yang diberikan untuknya begitu luar biasa sempurna.

Sekarang ia tidak ingin meminta apapun lagi setelah ini. Kehidupannya sudah cukup sempurna dan bahagia. Ia hanya memohon pertolongan, satu saja, agar senantiasa Allah melindungi keluarganya—khususnya istri dan calon anaknya—dari segala marabahaya.

Arfan menoleh ke arah Nadia saat dirasakannya tangan dingin yang sedari tadi ia genggam bergerak pelan. Dengan sigap Arfan meraih gelas di meja nakas yang sudah diisi air mineral dan kembali duduk di dekat ranjang seraya menunggu istrinya membuka kedua matanya dengan sempurna.

“Abi...” panggilnya lirih.

“Abi disini umi. Gimana? Udah baikan? Mau minum?”

Nadia tersenyum lemah mendengar rentetan pertanyaan dari suaminya itu. Ia hanya mengangguk saja mewakili jawaban dari semua pertanyaan yang diajukan suaminya.

Lagi, Arfan dengan cepat membantu istrinya duduk dan membantu istrinya minum secara perlahan. Ditatapnya wajah pucat di hadapannya kini. Seorang wanita yang tak pernah ia sangka akan menjadi istri dan calon ibu dari anak-anaknya kelak.

Wanita ini yang dulu dikenalkan Revan kepadanya sebagai calon istrinya. Wanita ini yang dulu berstatus sebagai adik iparnya. Wanita ini yang dulu selalu ia lihat diam-diam saat sedang merenung seorang diri tatkala ditinggal Revan pergi karena urusan pekerjaan .

Arfan menyadari satu hal sejak dulu. Nadia begitu menarik. Sulit sekali mengalihkan perhatian dari sosok wanita yang kini menjadi istrinya itu. Dulu, saat malam pertama. Arfan akui ia ingin bersikap tegas, cuek, dan mencoba bersikap acuh tak acuh akan kehadiran sosok wanita itu disampingnya.

Bahkan saat Nadia dengan jelas menanyakan perihal malam pertama, dengan jahatnya ia menjawab ia tidak Sudi menyentuh wanita itu disaat hatinya masih terisi nama pria lain. Tapi kini, Arfan akui ia kalah telak. Ia sudah jatuh sejatuh-jatuhnya. Ia sudah tunduk di bawah pesona istrinya. Terlebih lagi saat ibunya mengatakan agar memberikan kasih sayang kepada istrinya dengan ikhlas, melakukan semuanya dengan ikhlas, Arfan semakin terbawa perasaan.

Dan inilah hasilnya. Hasil dari keikhlasan yang ia jalani selama ini. Ikhlas serta sabar. Ikhlas saat mengetahui bahwa Nadia masih tetap menyimpan Revan dihatinya. Sabar saat nadia berulang kali menangisi sosok pria dimasa lalunya yang tak lain adalah adiknya sendiri.

“Mas? Kenapa melamun?” tanya Nadia keheranan saat melihat suaminya nampak tak fokus di hadapannya.

“Oh, enggak sayang. Mas gak papa. Gimana masih mual?”

“Alhamdulillah, sudah lebih baik. Nadia sakit apa mas?”

Arfan tersenyum lembut mendengar pertanyaan dari istrinya itu. Ia semakin mendekat kemudian memeluk tubuh mungil Nadia dengan penuh kelembutan.

Keikhlasan Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang