Bab Enam

9.7K 713 1
                                    

Sesuai janji suaminya kemarin, wanita itu kini tengah membenarkan letak jilbab syar'i nya. Ia sudah siap untuk pulang hanya tinggal menunggu jemputan yang katanya akan tiba dalam waktu sekitar 15 menit.



Selesai merapihkan jilbab nya, Nadia memilih untuk duduk di tepi ranjang. Menatap ke luar jendela dengan mulutnya yang tertutup rapat. Sesekali ia akan mendesah pelan kemudian memejamkan mata seolah-olah tengah mencoba menenggelamkan segala pemikiran yang melintas di benaknya.



Ada sesuatu yang sedang mengganggu nya kini. Lebih tepatnya sejak 3 hari lalu. Nadia tidak tahu, Nadia tidak pula mengerti maksud dari mimpi yang mempertemukannya kembali dengan almarhum Revan-pria yang sampai saat ini masih mengisi hatinya.



Pria itu begitu terlihat meneduhkan. Wajahnya seperti biasa selalu mendamaikan bagi semua orang yang menatapnya. Senyum tercetak di wajah tampannya. Sedangkan kedua mata itu menatapnya dengan sorot penuh cinta.



Tak banyak kata yang keluar. Keduanya dipertemukan dalam kebungkaman yang menenangkan. Nadia sendiri merasa hidupnya kembali berwarna saat kembali dipertemukan dengan suaminya. Tapi kemudian esok harinya saat ia kembali terbangun sosok itu sudah tergantikan dengan sosok lain yang memiliki wajah lebih tampan namun minim ekspresi, sorot mata yang selalu menatapnya tajam, sangat berbeda dengan penggambaran sosok Revan yang ada di dalam mimpinya.



Tak terasa satu tetes air mata jatuh membasahi pipinya. Ia sangat merindukan pria itu. Ia ingin memeluk tubuh itu. Merasakan dekapan hangatnya kembali yang selalu membuatnya merasa terlindungi.



Nadia tahu hidupnya telah runtuh. Terlebih saat ia mendapatkan kabar mengenai kecelakaan suaminya yang merenggut nyawanya begitu cepat. Malam itu, Nadia masih sempat bertukar kabar. Revan dengan bahagia mengatakan bahwa ia akan pulang cepat, tugas diluar kota ia rampungkan dengan cepat. Ia juga berjanji akan mengajak Nadia pergi jalan-jalan keesokan harinya.



Tapi kemudian dua jam setelah kabar membahagiakan itu ia dapatkan. Nadia mendapati sebuah telepon masih dengan nomor milik Revan namun bukan sosok pria itu yang berbicara dengannya. Sebuah kabar buruk, kabar yang begitu menyedihkan, kabar yang berhasil merenggut paksa kebahagiaannya.



Wanita itu tak mampu lagi menahan tangisnya. Ia menundukkan kepala dan menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangan. Isak tangisnya begitu memilukan, jeritan pilu yang selama ini disembunyikan hancur sudah. Ia menangis sejadi-jadinya memanggil nama Revan dengan lirih di sela-sela isakan tangisnya.



Kemudian seseorang menariknya ke dalam pelukannya. Nadia semakin menjadi saat mengenali aroma maskulin dari seseorang yang kini tengah memeluknya. Sosok pria yang juga hadir begitu cepat dalam hidupnya secepat kepergian sosok pria yang dicintainya.



Nadia terisak, nafasnya terengah-engah, dan dengan ragu ia membalas pelukan suaminya. Ia menangis kembali sejadinya meluapkan rasa frustasi nya selama ini dengan menangis hebat di dalam dekapan hangat suaminya yang memilih bungkam dengan tatapan kosong lurus ke depan.



***



Hujan kembali turun malam itu disertai petir serta angin yang bertiup kencang. Arfan menarik selimut hangat untuk menutupi tubuh isterinya yang sudah terlelap. Kemudian ia menunduk dan mencium kening isterinya lembut.



Ia lantas bangkit dan berjalan keluar kamar. Dengan gontai ia berjalan ke arah dapur dan langsung mendapati sosok ibunya yang tengah memasak sesuatu.



Arfan dan Nadia tidak lantas pulang ke rumah keduanya. Arfan memilih untuk menginap di ruang sang ibu mengingat kondisi isterinya yang masih belum stabil. Arfan cukup tahu bahwa Nadia akan langsung mengerjakan semua pekerjaan rumah tangannya jika ia memutuskan untuk pulang ke rumah. Sedangkan Arfan tidak menginginkan hal itu terjadi. Ia ingin isterinya sembuh total terlebih dahulu dan barulah ia akan mengijinkan untuk kembali beraktivitas seperti biasa.



"Nadia nya sudah tidur Fan?" Tanya ibunya saat melihat sosok putranya yang berjalan mendekat ke arahnya.



"Udah, setelah shalat isya dia langsung tidur. Pengaruh obat kayaknya Bu."



Wanita paruh baya itu tersenyum lembut kemudian mematikan kompor dan menuangkan hasil olahannya kedalam sebuah wadah.



"Kamu kenapa?"



Arfan menoleh ke arah sang ibu. Dia membalas nya dengan gelengan kepala kemudian menarik salah satu kursi makan dan mendudukinya.



"Cerita saja sama ibu, nak. Kenapa? Sedang ada masalah?"



"Nadia tadi nangis, Bu." Ucapnya pelan, "Arfan gak tahu apa yang membuatnya menangis sepilu itu? Saat Arfan masuk di sudah menangis entah karena apa."



"Kamu sudah menanyakan alasannya sama Nadia? Mungkin kamu buat salah Arfan?"



Arfan merenung sejenak dan memikirkan apa saja yang sudah ia lakukan selama ini. Mencari-cari letak kesalahannya yang mungkin tidak disadarinya. Tapi hasilnya nihil, apa yang ia lakukan selama ini dirasanya tidak menimbulkan kesalahan yang mengakibatkan isterinya menangis sampai terdengar sangat memilukan.



"Arfan rasa tidak Bu. Arfan memperlakukan Nadia dengan sangat baik selama dia sakit. Tapi..."



"Tapi?"



"Nadia pernah menyebut nama Revan disaat ia masih dalam pengaruh obat, ibu."



Wanita paruh baya itu menatap putranya dengan sendu. Dalam hati ia merasa kasihan kepala putranya, isteri yang seharusnya mencintainya, justru masih mencintai pria lain dan menyimpannya dengan sempurna di dalam hati.



Terselip rasa bersalah yang mengusik hatinya. Apakah Arfan menderita dengan pernikahannya dengan Nadia? Apakah Arfan tidak bahagia selama ini? Jika Iya, maka ia benar-benar merasa gagal sebagai ibu. Ia merasa menjadi orang tua paling egois, mengorbankan kebahagiaan putranya hanya untuk kebahagiaan nya sendiri.



"Arfan apa kamu bahagia?" tanya ibunya dengan suara lirih.



Arfan menatap ibunya dengan kening yang mengerut dalam. Tapi tak ayal ia pun menganggukan kepala setelah sebelumnya berpikir bahagia yang ibunya maksudkan menjurus pada hal apa? Dan setelah ia mendapatkan jawaban, Arfan tanpa ragu menganggukan kepalanya.



"Apakah kamu mencintai Nadia?"



" Hanya orang bodoh yang menolak pesona Nadia ibu. Arfan sudah menyukainya sejak malam dimana Arfan melamar dia. Arfan sudah mencintainya saat Arfan berhasil mengucapkan ijab Qabul dan Nadia sudah sah menjadi isteri Arfan."



"Hanya saja ibu... Arfan tidak bisa. Arfan tidak bisa menyentuhnya , Arfan tidak bisa mengekspresikan perasaan Arfan, disaat ada nama pria lain di dalam hatinya. Seperti saat ini."



Wanita di hadapannya kini tampak tersenyum menenangkan. Digenggamnya tangan putranya dengan penuh kelembutan. Meremas tangan itu pelan seolah-olah tengah mentransfer kan kekuatan agar putranya kembali memiliki semangat untuk memperjuangkan rumah tangga yang baru saja dimulai



"Ikhlas sayang." Ucapnya lirih, "lakukan semuanya dengan hati ikhlas. Insya Allah kamu akan mendapatkan kebahagiaan dari hasil yang selama ini kamu lakukan."



"Cinta akan datang karena terbiasa. Jangan hindari Nadia, jangan biarkan Nadia berjuang sendiri untuk melupakan Revan. Kamu bantu dia, curahkan perhatian, berikan dia kasih sayang. Percaya sama ibu, dia membutuhkan itu saat ini."



Arfan tersenyum tipis. Ia mengecup punggung tangan ibunya penuh kasih sayang kemudian menggumamkan kata terimakasih atas nasihat yang menenangkannya. Membuat hati yang semula resah, perlahan-lahan kembali membaik dan tergantikan dengan rasa semangat baru uang menggebu-gebu dalam hatinya.




***

Assalamu'alaikum, aku kembali. Hehe 😄 semoga gak bosan ya dan tiada hentinya berharap semoga kalian suka sama cerita aku ini. Jangan lupa tinggalkan jejak ya .♥♥ Syukron ♥

Keikhlasan Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang