Waktu yang nyaman, dalam keheningan langit malam, ya hanya malam dan sebuah purnama yang tergantung di kaki langit.
Niatku bukan lagi hasratku, mengingat dia semakin membuatku menggila. Dan timbul-lah inginku, tuk kembali membuka lembaran lama diaryku.
"Dialog purnama pada malam"
Gelap, hampa, semu. Tiada arti tanpa sebuah cahaya, itulah aku, sang Malam.
Yang kerap tak dianggap bagi kebahagiaan, karena aku hanyalah pembawa kegelapan.
Bahkan mahkluk bumi tertidur saat kehadiranku. Seolah mereka mengacuhkan dan tak ingin menemaniku.Menjadi aku, apa salahnya? Takdirkah? Atau ... Entahlah! Terlalu rumit, seluk beluk nestapa seakan senang denganku. Biarlah aku menjadi aku!
Lalu berkatalah sang bulan pada malam kala itu.
Wahai malam, salahkah bila aku tak setuju ungkapanmu.
Lihatlah aku! Hanya benda langit bulat kecil yang bercahaya. Sadarkah kau cahaya ini tiada arti tanpa gelapmu! Karena gelapmu aku bercahaya, berpendar serasi dalam kelamnya hari.
Dan mereka bukannya mengacuhkanmu melainkan merasa nyaman, melepas penat saat pagi dan siang membuatnya lelah. Janganlah sedih kau itu berarti wahai malam!
Malam pun gembira, membuka batas dan membiarkan bintang-bintang hadir diantaranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan ke 17
PoetryHujan itu derita, kata orang Hujan itu pembawa sial, pun kata orang Namun, jika kau tahu bahwa setiap derita tersisip kebahagiaan dan setiap kesialan membawa keuntungan, pun ketika bulir hujan memiliki makna, masihkah kau nyatakan bahwa hujan itu sa...