'Hapus semuanya, air mata itu tak ingin lagi ku lihat. Puaslah sudah kau menangis sejak tadi.'
Dan aku berbalik, melihat siapa kah dia yang menemaniku sejak tadi.
"Kau... Lelaki yang saat itu. Lelaki yang mungkin mengenalku..."
"Dan yang akhir ini terpatri dalam benakmu bukan?" Terkanya. Dan itu benar adanya.
Diam kemudian. Diantara kami tak ada lagi kata. Hening. Membuat pusat pikirku mengarah padanya. Atau memang sengaja ia membuatku memikirkannya.
Ku lirik, lihat, dan tepat aku terpaku dalam pada keteduhan sepasang matanya.
Air matanya, turun. Memandangku lekat. Langit pun berubah gelap, perlahan tetesan air turun dan kemudian menjadi deras. Hingga kami berada dalam pangkuan sang hujan.
"Sudahi semuanya. Jangan menyiksa dirimu akan kerinduanmu padaku. Tataplah aku dan masuki relung memori itu lebih dalam Yerin. Jangan membuatku tersiksa melihatmu."
Apa katanya? Dan apa maksudnya? Selintas memang dia mirip dengan seseorang yang selama ini ku tunggu. Tapi bukan berarti itu adalah dia! Tetapi entah mengapa aku takluk akan tuturnya yang memintaku menatapnya.
Lalu ku tatap, amat dalam. Dan aku lihat, sebuah bayang, bayangan masa lalu. Ada aku di sana dan ada... Dia! Itu benar dia. Apakah mungkin artinya...?
Tubuhku menggigil, dingin. Hujan ini mengingatkan akan suatu keadaan, dulu. Seketika kepalaku pusing dan dia mendekapku khawatir. Tiba-tiba semua berubah menjadi gelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan ke 17
PoésieHujan itu derita, kata orang Hujan itu pembawa sial, pun kata orang Namun, jika kau tahu bahwa setiap derita tersisip kebahagiaan dan setiap kesialan membawa keuntungan, pun ketika bulir hujan memiliki makna, masihkah kau nyatakan bahwa hujan itu sa...