Ku buka mata, pelan. Ku amati, ruangan di sekitarku. Aku tahu aku berada di rumah sakit. Dan aku melihatnya di ujung sana, tepat dihadapan jendela, tenggelam dalam hujan.
Yang ku ingat terakhir adalah aku dalam pelukannya dan dalam dekapan hujan. Itu yang ku ingat.
Dan saat ini, ingatanku berubah. Yang awalnya ku kira menyakitkan ternyata semua hanya kesalahpahaman. Yang awalnya rindu menjadi sebuah penyesalan.
Aku ingat, dengan betul. Semuanya, sangat jelas! Kaki ku melangkah menghampiri lelaki yang termenung di tepi frame kayu itu.
Ku lingkarkan tanganku dipinggangnya. Memeluknya erat dengan tangisan yang dalam.
'Maaf! Ini semua kesalahanku, aku yang bodoh. Seandainya aku tahu lebih awal tentang fakta dibalik isu perselingkuhan itu, ini semua tak akan terjadi. Kecelakaan yang merenggut ingatanku. Membuatku tersiksa lebih dalam. Hari-hari ku dihantui akan rasa rindu yang tak beralasan. Aku yang bodoh! Maaf untuk semuanya, masihkah ada ruang dihatimu untuk aku kembali? masihkah ada, Artha?'
Dia berbalik, senyumnya kembali dan balas memelukku penuh cinta.
'Mengapa bertanya seperti itu? Penantianku selama ini, tidakkah cukup sebagai bukti? Tekanan yang kian hari menyiksaku bukan suatu alasan tuk pergi darimu. Aku disisimu, selalu. Mengamatimu, dari jauh. Membiarkanmu mengingatku perlahan. Dan maaf jika aku tak berusaha mendekatimu, aku hanya tidak ingin membuatmu kesakitan saat dipaksa mengingatku. Dan aku bahagia, Yerinku kembali! Tetaplah seperti ini! Jangan ada lagi keraguan setelahnya dan jadikan aku jiwa di hidupmu. Ketahuilah aku mencintaimu tanpa batas.' ucapnya mencium lembut keningku di depan hujan sebagai saksi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan ke 17
PoesíaHujan itu derita, kata orang Hujan itu pembawa sial, pun kata orang Namun, jika kau tahu bahwa setiap derita tersisip kebahagiaan dan setiap kesialan membawa keuntungan, pun ketika bulir hujan memiliki makna, masihkah kau nyatakan bahwa hujan itu sa...