Epilog

416 65 9
                                    

Pria berkulit porselen dengan rambut hitam lebat itu berjalan dengan riang. Konstelasi bintang pada pipinya menjadi ciri khasnya yang menambah keunikan dari dirinya. Wajahnya tersenyum ceria walau jauh berbeda dengan sifat aslinya, tetapi ia sudah terbiasa memperagakan orang lain dalam kehidupan sehari harinya.

Langkahnya terhenti pada sebuah lapangan yang cukup luas. Disana terdapat beberapa orang yang berjejer. Membidik sebuah papan dengan gambar beberapa lingkaran dalam lingakaran. Tiap lingkar memiliki warna dan tentu poin yang berbeda. Papan target.

Suara tembakan terdengar bersahutan. Sangat bising sekali berada di sini, karena itulah hanya orang orang tertentu saja yang datang ke tempat ini. Tempat latihan menembak untuk umum.

Pria itu menatap satu per satu wajah orang orang yang datang. Ia yakin seseorang yang ia cari, sedang berada di sini, memainkan pistol miliknya dengan lihai.

Pria itu tersenyum ketika melihat seorang pria yang lebih muda darinya. Rambutnya berwarna coklat tua. Dengan tampang yang manis itu, siapa sangka ia sangat pandai menggunakan pistol dan melakukan pekerjaan illegal.

Pria berkonstelasi itu mendekati pria yang sedang membidik. Ia menunggu si rambut coklat ini selesai berlatih. Sepertinya ada yang sadar kalau dirinya sedang diperhatikan.

Pria berambut coklat itu menoleh ke yang lebih tua. Ia mengangkat kedua alisnya, bertanya apa? dengan isyarat.

"Bisakah kau ajari aku menggunakan pistol?" Tanya pria itu.

Yang lebih muda tertawa lalu tersenyum miring. "Kau yakin ini cocok untuk seseorang yang ceria sepertimu?" Tanyanya.

"Tentu saja, aku pernah mencoba memanah. Aku ingin mencoba sesuatu yang baru."

Pria yang lebih muda menaruh pistolnya diatas meja. Ia memajukan bibir bawahnya dan kedua alisnya terangkat.

"Apa aku akan dibayar?" Tanyanya sambil melipat tangan.

Pria berkonstelasi itu mengangguk. "Tentu, itu masalah mudah." Ucapnya sambil mendekatkan jari telunjuk dan ibu jarinya. "Jadi sekarang aku harus memanggilmu apa? Guru? Coach?"

"Mark." Ucap pria yang lebih muda. "Panggil aku Mark. Namamu?"

Pria berambut hitam itu ikut tersenyum. Well, lebih ke menyeringai.

"Namaku Kang Daniel. Senang bekerja sama denganmu."

-|Locked|-

"Bagaimana nomor dua? Kau sudah berkenalan dengan mereka?" Tanya Seong-- ah maaf, maksudku Daniel, atau kau bisa menyebutnya nomor satu. Yah itu terlalu panjang.

"Ya, aku langsung diterima sebagai salah satu anggotanya." Jawab Baek-- aduh, maksudku Chanyeol, atau si nomor dua.

"Aku sudah membaca data mereka, nama mereka aneh aneh sekali." Celetuk nomer satu.

"Apanya yang aneh?" Tanya nomer dua.

"Nama mereka! Kalau tidak salah ada yang bernama Minggu, Moshi, dan satu lagi itu yang aneh.. siapa namanya ya?" Celoteh nomer satu.

Nomor dua memijat keningnya sambil menahan emosi. Untung mereka partner, kalau tidak, mungkin sudah ada pertumpahan darah. Toh nomor dua juga sudah kebal dengan sikap kekanak kanakan nomor satu.

"Ah Wonwon!" Seru nomor satu.

Nomor dua menggeleng gelengkan kepalanya kesal. "Lain kali belajar membaca! Yang penting kali ini kita harus memanfaatkan waktu sebaik mungkin."

"Yah terakhir kali kita membuang terlalu banyak waktu. Batas waktu kita kali ini satu tahun."

"Sounds good."

Keduanya saling memandang lalu terkekeh.

"They should learn not to trust us, foxes."

-|Locked|-
Epilog end


Yee tamaat
Paham gak? :v

Locked ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang