Prolog : Langit Senja

8.8K 277 5
                                    

'Pernahkah kalian menyadari bahwa setiap manusia diciptakan berbeda? Pernahkah kalian menyadari bahwa setiap mahluk punya takdir yang berbeda-beda? Ataupun mereka memiliki pilihan hidupnya sendiri? Yah... Aku sendiri tidak begitu mengerti tentang semua itu. Aku hanya hidup seperti apa yang aku sukai. Apakah aku terlalu bebas? Kenapa? Kenapa tidak boleh?' pikir seorang wanita yang sedang duduk di bangku taman pinggir pantai sambil menatap lautan dan matahari senja yang begitu indah.
Lalu, ia mengamati dua anak yang sedang asik bermain kejar-kejaran. Mereka berdua tertawa seiring berlari tidak tentu arah. Kemudian ia tersenyum, 'Andaikan hidupku bisa sebebas anak itu, tidak memikirkan apapun, ataupun takut mengenai apapun.'
"Sudah sore, ya. Sepertinya aku harus pulang," ucapnya sambil beranjak dari bangku itu.
Ia berjalan sambil menatap pemandangan matahari senja dengan lautan yang berwarna oranye itu. Ia pun terhenti sejenak. Tatapan kosongnya menatap pemandangan itu seperti penuh makna. Tatapan yang tidak sedih ataupun senang, marah ataupun bingung. Tatapan itu hanyalah sebuah tatapan kosong.
Kemudian, ia melihat seorang ayah yang bermain dengan putrinya, menggendongnya dan menaruhnya di atas lehernya sambil tertawa. Ayah dan putrinya itu terlihat senang, seperti seorang ayah idaman. Perempuan itu tersenyum kecil.
"Bahagianya mereka," gumam perempuan itu sambil lanjut berjalan.
Tak lama setelah itu, seorang pria tua datang menghampirinya, "Nona Anna, sudah waktunya pulang," ucap pria itu.
"Iya, kita pulang..." balas perempuan itu.
Ketika di perjalanan di dalam mobil, perempuan itu menatap kosong ke arah luar jendela mobil itu, melihat indahnya pemandangan kota di malam hari, "Pak sopir, apakah menurutmu kota ini lebih indah ketika malam hari?" tanya perempuan itu.
"Ummm, sebenarnya ketika pagi, kota ini juga terlihat indah, nona," jawab sopir itu.
Kemudian perempuan itu tersenyum, "Benar juga."
Setelah itu, sang sopir melirik perempuan itu dari balik kaca mobil. Ia pun berkata, "Nona, besok anda sudah pindah ke sekolah yang baru, apakah anda sudah mempersiapkan diri anda?"
"Oh, iya... Aku bahkan hampir lupa. Nama sekolahnya juga aku lupa," jawab perempuan itu.
"Union Selatan, sekolah swasta gabungan, sekolah yang terkenal dengan klub Jurnalis dan klub Basketnya."
"Oh, iya ya ya... Aku tidak begitu peduli."
"Apakah anda baik-baik saja? Apakah anda sedih berpisah dengan teman sekolah anda yang lama?"
"Menurutmu?"
"Maafkan saya."
"Tidak masalah, kau tidak salah," ucap perempuan itu sambil melihat ke arah luar jendela kembali. "Terimakasih sudah mengkhawatirkanku. Tapi... sebenarnya aku tidak begitu sedih ataupun cemas. Aku juga bingung dengan apa yang kurasakan ini. Jadi, aku benar-benar tidak bisa menjawab pertanyaanmu."
"Tidak masalah, Nona."
"Mudah-mudahan, di sekolah baru itu, aku bisa tenang," ujar perempuan itu menghela napas.
"Pasti anda akan punya banyak teman. Anda akan terkenal karena keluarga anda yang kaya," balas sopir itu.
"Aku tidak butuh teman seperti itu, teman yang hanya melihat sisi terangnya saja. Mereka pasti akan meninggalkannya ketika melihat sisi gelapnya. Sungguh orang yang tidak berguna."
"Berpikirlah positif, Nona."
"Bisakah aku seperti itu, pak sopir? Atas semua yang telah aku lalui? Yang bahkan bapak sendiri tidak tahu?"
"Maafkan aku, Nona."
Perempuan itu kembali menghela napasnya, "Maaf, aku begitu sensitif saat ini."
"Tidak masalah, Nona."
"Aku hanya butuh satu orang saja, hanya satu orang, yang mengerti diriku yang sulit ini. Seseorang yang dapat aku percaya, seseorang yang tidak akan pergi seperti sebelum-sebelumnya."
"Saya berharap, di sekolah baru ini, anda akan menemukannya, Nona."
"Semoga saja."
Setelah itu, mereka hanya diam dan menikmati jalanan di kota pada malam yang indah itu.

Behind The WallsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang