Chapter 22

14.8K 2.1K 272
                                    

The Truth Untold

Pernahkah kalian berada di suatu titik yang sulit? Titik di mana kalian sulit menerima kenyataan. Sekeras apa pun untuk menolak, selalu ada satu alasan yang memaksa untuk menelan kenyataan pahit tersebut.

Jimin menjatuhkan bokongnya di kursi, tangannya terulur berusaha menggenggam tangan Nara yang tertancap jarum infus.

Waktu sudah nyaris menunjukkan pukul sembilan malam, tapi Nara belum juga terjaga dari tidurnya. Jimin sendiri masih terus berada di sisi wanita itu, terkadang ia mengusap lembut rambut Nara sembari berbicara-berharap wanita itu akan menjawab.

Pergerakan tangan Nara yang secara tiba-tiba, membuat Jimin tersentak. Ia buru-buru bangkit, memandang lurus ke arah mata Nara yang perlahan membuka.

"Ji," panggil Nara lirih. "Aku di mana?"

"Kau ada di rumah sakit. Sewaktu makan malam kau pingsan, ingat?"

Nara nampak terlihat tengah berpikir. Kemudian kedua bola matanya bergerak menatap lurus ke arah Jimin. "Ji, kau menangis?"

Jimin langsung mengerjapkan matanya secara cepat, kepalanya menunduk berusaha memalingkan pandangan. "Tidak, sama sekali tidak."

"Ayolah, Ji, katakan padaku. Apa ada sesuatu yang terjadi?"

Jimin bersikeras mengelak. Ia menggelengkan kepala sembari membantu Nara mengangkat punggungnya. "Kau baru sadar, sebaiknya kau makan dulu. Perutmu harus diisi sesuatu, kan?"

Nara menahan lengan Jimin ketika pria itu hendak meraih mangkuk bubur yang berada di atas nakas.

"Jangan berbohong padaku. Kau tau kalau aku mengenalmu sudah sangat lama."

Jimin termenung untuk beberapa saat. Salah satu sudut bibirnya terangkat, membentuk senyum miring. "Kau benar. Aku juga sudah mengenalmu sangat lama, tapi kenapa-kenapa aku seperti tidak tau apa pun tentangmu?"

Dahi Nara berkerut bingung. "Apa maksudnya?"

"Kau hamil, Nara."

Jantung Nara seperti berhenti berdetak untuk beberapa saat, bahkan ia tidak sanggup melakukan pergerakan apa pun ketika mendengar ucapan Jimin.

"Bohong. Kau bohong, Ji."

"Apa aku terlihat sedang membohongi atau mempermainkanmu?" rahang Jimin terlihat mengeras, berusaha menahan agar nada bicaranya tidak meninggi.

Air mata Nara jatuh begitu saja ketika ia menundukkan kepala. Mendadak kepalanya seperti dihantam oleh balok kayu, terasa pening dan menyesakkan. Sampai-sampai rasanya ia sulit untuk berpikir dengan baik.

"Katakan padaku," Jimin meraih kedua bahu Nara dan mencengkramnya dengan erat. "Siapa yang sudah melakukan ini semua?"

"Jawab aku, Jung Nara! Kau harus mengatakan semuanya padaku!"

Jimin kalap. Ia tidak bisa lagi menahan desakan amarah dan kekecewaan yang ia pendam. Perasaannya semakin terluka ketika melihat Nara hanya membungkam dan terus menangis.

"Ji, kumohon maafkan aku."

"Bukan itu yang aku inginkan!" sentak Jimin dengan nada bicara yang meninggi."Aku ingin kau mengatakan semuanya padaku, katakan sudah sejauh mana kau membohongiku!"

"Jimin, hentikan!"

Namjoon mendadak datang dan berusaha menenangkan Jimin. Ia mendorong pelan bahu Jimin, menjauhkan pria itu dari Nara yang masih terus menangis.

FELT LIKE HOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang