Chapter 3

84 9 0
                                    

Saat mengepack barang-barang, sesaat Aku melihat sekeliling kamar ini, dan selalu berkata 'apakah aku akan merasakan kamar mewah ini lagi nanti?' Berkali-kali, aku rindu saat-saat dimana Roman datang ke kamar ini melewati jendela, dan berdiri seperti patung melihatku yang sedang tertidur. Dan dia baru mau bergerak saat aku mulai terbangun. Aku rindu saat-saat aku dan Roman duduk bersampingan di kasur ini, terkadang ada beberapa percakapan yang berujung pada nafsu yang menguasai pikiran dan tubuh kami berdua, dan berakhir dengan kenikmatan yang tiada duanya. 

Sebenarnya Aku takut meninggalkan kamar ini, karna Aku selalu yakin kalau Roman akan datang. Tetapi pada kenyataannya Roman tidak pernah datang lagi, dan dia hanya menginginkan Aku untuk melupakannya dan menjalin hubungan dengan orang lain. Apa segampang itu?

Tring~ Tring~

Ringtone Handphoneku berbunyi, Aku mengambil Handphoneku yang berada di meja kamarku lalu aku melihat Nama Thomas terpampang disana, Aku mengangkat telepon itu dan mulai terdengar suara-nya yang penuh semangat mengejutkanku.

"Hai Kareenaaa~ bagaimana kabarmu?" Sapa Thomas dengan semangat, suaranya terdengar melengking saat dia begitu riang.

"Tidak terlalu baik, bagaimana denganmu?" Jawabku dengan nada rendah.

"Ada apa denganmu? Apa kamu baik-baik saja disana? Apa perlu aku datang ke sana menemanimu?" Suara Thomas terdengar lebih rendah dari sebelumnya setelah mendengar jawabanku.

"Anu.. Aku akan pindah dari rumah ini. Ah.. maksudku, aku sudah tidak menjadi Ex-personil di bandku, jadi, aku harus pulang. Lagi pula, aku sudah sangat rindu dengan keluargaku di kampung halaman."

"Apa? Yang benar? Te.. terus? Se.. sekarang bagaimana?"

"Ya, sekarang aku sedang mengepack barang-barangku saja sih, tinggal menunggu yang lain pulang, sehabis itu aku ke bandara."

"Apa? Oh Kareena, kalau begitu, A.. aku datang ke sana ya. Aku antar kamu ke bandara, A.. Atau aku antar sampai ke kampung halamanmu. Astaga Karen! Kau tau? Aku tidak bisa hidup tanpamu."

"Tidak perlu repot-repot Thomas, dan tidak perlu sekhawatir itu, aku akan selalu mengabarimu kok. Tenang saja. Aku tau kamu sedang sibuk dengan project film terbaru kamu, jadi, jangan terlalu dipaksakan. Aku bisa pulang sendiri kok, aku sudah terbiasa." Jawabku dengan tawa kecil.

"Yakin?"

"Iyaa Thomaas, astaga kamu ini ya, aku sudah biasa kok pulang pergi naik pesawat sendirian."

"Tapi, kalau kamu sudah sampai di kampung halamanmu. Janji! Kamu harus mengabariku. Okay?"

Knock knock
Terdengar suara ketukan pintu kamarku yang terbuka, dan disana Ayah dan yang lainnya sudah berdiri didepan pintu kamar dengan wajah mereka yang pucat pasi tanpa ekspresi.

"Iya Thomas, aku janji. Oh iya Thomas, aku tutup dulu ya teleponnya. Ayah dan yang lain sudah pulang."

"Oh okay, Love you Kareen"

"Ya.. Hmm. Love you too" dengan gugup aku membalas ucapannya lalu menutup teleponnya dan kembali memandang ayah dan yang lainnya.

"Karen, ada yang ingin Ayah bicarakan." Saat ayah berbicara, nada-nya seperti sangat terpaksa, dan ekspresinya sangat kaku dan datar.

"Ada apa Ayah?"

"Ini kesempatan terakhir. Apa kamu tetap berpegang teguh dengan keyakinan kamu? Atau ikut bersama kami, dan menyembah apa yang kami sembah sekarang dan seterusnya?"

Suasana disini jadi sangat mencekam, tekanan ini membuat-ku merasa takut. Sebenarnya ada apa ini?

"Aku.. Aku tetap yakin dengan kepercayaanku Ayah. Bukankan ini yang ayah mau juga bukan? Ayah tidak mau melihatku menyembah setan sepeti apa yang ayah sembah sekarang."

"Apa kamu yakin? Apa kamu siap menerima konsekuensinya?"

"Aku lebih baik mati dalam pelukan agamaku daripada hidup senang dalam pelukan setan. Aku akan menerima apapun itu konsekuensinya." Jantungku mulai berdetak lebih kencang, tubuhku mulai mendingin. Hawa disini jadi sangat tidak enak.

"Maafkan kami nak. Kami harus melakukan ini padamu." Ayah mengeluarkan pisau lipat dari kantong celananya, tangannya sangat bergetar sampai pisaunya pun ikut bergetar.

Lalu yang lainnya mulai mengeluarkan alat-alat pemukul dan beberapa senjata tajam. Aku sangat terkejut, apa yang akan mereka lakukan? Aku melangkat mundur saat mereka melangkah maju kearahku.

"Se.. sebenarnya ada apa ini?"

"Maafkan kami nak, kami harus melakukan ini. Kami tidak membunuhmu, tenang saja. Inilah jalan satu-satunya agar kamu bisa keluar dari permasalahan ini."

Jadi? Apakah ini yang harus aku hadapi? Demi keyakinanku aku rela menerima apapun. Siap atau tidak, suatu saat aku akan menghadapinya juga.

"Baiklah kalau memang ini jalan satu-satunya. Silakan."

Setelah itu mereka berjalan ke arahku, mataku terbuka lebar saat aku mulai melihat berbagai senjata yang haus darah mulai menghampiri diriku, dan pada akhirnya mereka mulai menyiksaku tanpa ampun. Pada awalnya, aku berteriak sangat kencang karna rasa sakit yang ditimbulkan oleh sayatan pisau tajam itu dan senjata senjata tumpul yang menyentuh tubuhku. Kaki-kakiku dipatahkan oleh tangan mereka yang besar dan kuat yang membuatku berteriak dan menangis. Goresan-goresan pisau yang menyayat tubuhku benar-benar terasa sangat menyakitkan, aku yakin goresan-goresan pisau ini tidak hanya menyentuk kulitku, tetapi daging-daging juga tersayat olehnya. Semakin lama, aku merasa semakin terbiasa. Aku tidak berteriak lagi, aku hanya bisa menangis kesakitan, aku tidak memiliki kekuatan untuk berteriak lagi. Aku tidak bisa merasakan kakiku, bahu kiriku, dan tangan kananku. Aku bisa merasakan tubuhku sudah dibaluri oleh darah segar dari tubuhku. Goresan terakhir berada di wajahku, terutama pada pipi dan keningku. Aku menatap mata ayahku yang sedang menyatai pipiku, air matanya menetes pada luka di pipiku, rasanya sangat perih. Setelah itu aku hanya memejamkan mata.

"Sudah! Sudah! Cukup! Kita harus bawa Karen ke rumah sakit segera!" Aku mendengar suara teriakan Ayah disana, setelah itu tubuhku diangkat perlahan-lahan dan hati-hati. Rasanya sangat sakit saat tubuhku disentuh oleh tangannya. Tetapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa terdiam menatap wajah ayah-ku yang menangis menggendong-mu samar-samar.

Kini sinar matahari menyengat dan menusuk mataku, wajah Ayah tertutup oleh sinar matahari. Setelah itu Aku mendengar suara Alarm Mobil berbunyi, lalu suara pintu terbuka dan suara mesin mobil menyala.

"Sid! Kamu disini, bersihkan barang bukti" itu suara Kakek Crahan.

Lalu sekejap sinar matahari menghilang, aku yakin kalau aku sudah berada di dalam mobil. dan aku bisa melihat wajah Ayah dengan jelas lagi, air matanya semakin deras mengalir di pipinya.

"Cepat! Dasar bodoh! Cepat! Kita harus segera membawanya kerumah sakit! Maafkan aku nak! Maafkan aku nak! Maafkan ayahmu yang sangat bodoh ini. Maafkan ayah." Ayah menatap mataku, air matanya terjatuh dan menyentuh pipiku yang terdapat goresan pisau. Bahkan, aku yakin goresan ini sudah menembus gigiku, aku yakin wajahku sekarang terlihat seperti Jeff The Killer walau hanya setengah.

Disetiap detiknya tubuhku semakin melemah, semakin lama aku semakin tidak kuat untuk membuka mataku. Pada akhirnya pandanganku menjadi buram lalu semuanya menjadi gelap.

Tubuhku masih sangat lemah, sangat sangat sangat lemah. Saat aku memaksakan dirimu untuk membuka mataku, aku hanya biaa melihat silaunya cahaya yang berada didepanku, dan aku mendengar suara bising disekitarku.

"Suster, tolong ambilkan kapas lagi."

Hah.. Aku tidak peduli. Aku tidak kuat melihat cahaya yang menyengat itu, lebih baik aku kembali menutup mata-ku, lalu aku terlelap dalam gelap lagi.

Calamity CircleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang