Chapter 21

23 6 0
                                    

Entah ini hari keberapa, aku tidak menghitungnya. yang pasti sudah cukup lama Aku disini. Bahkan, Kertas-kertas gambarku saja sudah hampir habis terpakai olehku. Aku berharap waktu cepat berlalu agar aku bisa menghirup udara segar lagi diluar sana.

Ketika aku sedang menggambar, aku mendengar suara-suara langkah kaki yang aku yakini berasal dari ujung lorong sana, tempat para narapidana laki-laki berada. Semakin lama langkah-langkah kaki itu terdengar lebih jelas dan nyaring, aku yakin mereka sudah memasuki lorong penjara narapidana khusus perempuan, ditempatku berada.  Semakin lama, suara langkah-langkah kaki itu semakin memekakan telinganku. Aku yakin disana terdapat lebih dari 6 polisi yang berjalan bersamaan dilorong ini. Saat suara itu terdengar sangat dekat denganku, aku mengangkat kepalaku yang sedari tadi menunduk memfokuskan mataku pada kertas gambarku, untuk melihat siapa sebenarnya mereka. Ya, sudah aku duga, disana terdapat 6 polisi yang berjalan bersamaan. Setelah mereka berada didepan sel yang mengurungku itu, serentak mereka menghentikan langkahnya. Dari kumpulan polisi itu, keluarlah seorang laki-laki yang mengenakan Pakaian yang cukup formal, hanya saja jas lengan panjangnya itu ia gulung hingga ke atas sikunya hingga terlihat jelas tangan besarnya yang berurat itu, rambutnya dipotong sangat rapih kecuali poninya yang cukup panjang hingga dapat menutup matanya yang tajam seperti seekor harimau yang sudah bersiap-siap membidik mangsanya, Dia berdiri didepan jeruji besi itu, menatapku dengan senyumannya yang penuh kepuasan. Dia menaruh kedua tangannya dibelakang, dan tidak pernah melepas tatapannya itu padaku.

Seorang polisi membuka pintu jeruji yang mengurungku, dia polisi yang selalu menghinaku. Baru saja dia masuk kedalam, laki-laki yang memandangku terus, kini mengalihkan pandangannya dan menghentikan langkah polisi yang baru saja dua langkan memasuki ruangan.

"Jangan. biar saya saja yang masuk." Ucapannya membuat semua orang terdiam. Setelah dia berjalan menuju pintu jeruji, tanpa sengaja mataku memandang wanita narapidana yang berada disebrang, dia terlihat ketakutan dan memilih untuk bersandar diujung ruangannya. Bibirnya seakan sedang berdoa dan tidak ada hentinya. ada apa dengan wanita itu?

"Kamu melihat apa?" Aku terkejut karna mendapati laki-laki itu sudah berada didepanku, bertanya dengan nada yang tenang dan ramah.

"Tidak, tidak ada apa-apa. A-anda siapa?" Ucapku kepada orang itu.

"Kamu tidak tau? Padahal dulu kita pernah bernyanyi disatu panggung yang sama." Laki-laki itu kini duduk disebelahku dan mengambil buku gambarku yang sudah terpakai.

"Maaf, tapi Aku benar-benar tidak mengenalimu." Aku memiringkan tubuhku, dan menatap laki-laki yang kini sedang asik melihat-lihat hasil karyaku.

"Aku Matthew Pearson, kamu tidak ingat? Dulu kita pernah bernyanyi satu panggung, aku, kau, dan dua orang lainnya dengan suara khasnya masing-masing." Jawabnya dengan santai, sambil membalik-balik kertas yang dia genggam.

"Oh, aku ingat. Kamu si penyanyi dengan nada Clean Vocal itu bukan?"

"Tepat sekali, sayang." Kini wajahnya diputar dengan cepat mengarah kepadaku dan berhasil membuatku terkejut.

"Ada apa kau disini?"

"Aku hanya ingin menjemputmu pulang. Bukankah kamu sangat bosan berada disini. Lihat, disetiap lukisanmu lebih banyak pemandangan indah diluar sana, aku tau kamu sudah sangat bosan." Laki-laki yang bernama Matthew Pearson itu melambai-lambaikan beberapa lembar karyaku yang bertema pemandangan. "Ngomong-ngomong, apakah polisi disini ada yang menjengkelkan?" Tatapannya kini berubah seperti seorang anak kecil yang ingin tau segala hal yang belum diketahui.

Aku memalingkan pandanganku kepada salah satu polisi yang selalu mencaci-makiku, hanya polisi itu yang selalu menghujatku selama aku berada disini, setelah itu aku kembali memutarkan pandanganku kearah Matthew dengan ekspresi kesal.

"Dia?" Matthew menunjukan telunjuknya kepada polisi itu, lalu menyuruh polisi itu berjalan mendekati kami berdua. Matthew berdiri dari duduknya lalu merangkul Polisi itu sambil mencengkram erat bahunya. "Jadi, apa yang dia lakukan padamu?"

"Dia selalu menghujatku. Hampir setiap dia berpatroli. Ucapannya sangat kejam. Aku masih sangat ingat ucapannya yang menusuk dan perilaku kasarnya setelah aku bertemu dengan Thomas." Aku menjawab pertanyaan Matthew dengan nada datar.

"Oh, jadi kamu ingin dipecat ternyata." Alis Matthew kini menaik saat berbicara dengan polisi itu. Sedangkan polisi itu terlihat sangat pucat.

"J-jangan Tuan, Sa-Saya masih harus menafkahi anak dan istri saya dirumah. L-lagi pula, ak-aku tidak terlalu serius mengatakan itu semua." Polisi itu menatapku dan Matthew meyakinkan kami berdua, "Ak-Aku bersungguh-sungguh."

Kami semua terdiam setelah polisi itu berhenti memohon. Matthew terlihat kebingungan saat itu, tetapi beberapa detik kemudian senyum dibibirnya mengembang lalu mengeluarkan tawanya yang berhasil memecahkan keheningan itu. "Kamu kira aku kepala polisi yang bisa memecat kalian? Sudah sana pergi, kamu berjaga diluar saja, aku tidak ingin Kareena merasa terganggu melihat polisi sepertimu." Matthew mendorong polisi itu dengan halus.

"A-ampuni saya Tuan, aku benar-benar tidak bermaksud." Polisi itu kembali memohon kepada Matthew. sedangkan Matthew hanya bilang kalau dia tidak memiliki hak untuk memecat dan lainnya. Setelah itu polisi itu berterima kasih karna sudah mengampuni polisi itu, lalu polisi itu berjalan perlahan-lahan menuju pintu jeruji disana.

"Kareena, perhatikan dia." Matthew memberi intruksi kepadaku, dan aku hanya bisa menurutinya. Aku melihat polisi itu berjalan terhuyung-huyung sambil menggenggam dadanya saat baru saja melangkah keluar beberapa langkah dari ruangan yang mengurungku. Batuknya tidak berhenti-henti hingga membuat tubuhnya membungkuk karna terasa sangat sakit. Dia menutup mulutnya terus saat batuk, dan setelah dia melihat tangannya, terlihat genangan darah yang berasal dari tenggorokannya itu, matanya melebar karna terkejut, lalu mengalir genangan darah dari kuping, hidung, dan matanya yang berhasil membuatnya sangat ketakutan dan tubuhnya bergetar hebat. Lalu dia kembali terbatuk-batuk dan mengeluarkan darah yang cukup banyak, batuknya semakin menjadi-jadi setelah itu, hingga tubuhnya terasa tidak kuat menopang beban tubuhnya. Dia berlutut dan lalu setengah bersujud sambil memuntahkan darah yang sangat banyak, semakin banyak, dan bahkan sangat banyak seperti keran yang baru saja dibuka. Kini tubuhnya tergeletak tidak berdaya diatas genangan darahnya itu, masih bergerak dan terbatuk-batuk. Beberapa detik kemudian, tubuhnya tidak bergerak sama sekali.

"Ke-kenapa dia?" Mataku tidak bisa lepas dari pemandangan yang berada didepanku. Aku terkejut melihat polisi itu mendadak sakit seperti itu.

"Ah, dia hanya menerima karmanya saja." Jawab Matthew dengan santai, "tolong kalian berdua urus mayat itu. Tenang saja, penyakitnya tidak menular." Perintahnya membuat polisi itu dengan cepat membawa mayat kawannya itu. "Ayo kita pulang sekarang."

"Ti-tidak." Aku menggelengkan kepalaku tidak setuju.

"Kenapa?"

"Aku sudah berjanji akak menunggu seseorang disini."

"Seseorang? Siapa? Corey?" Matthew mencondongkan tubuhnya kepadaku, wajahnya menjadi lebih dekat denganku.

"Tidak."

"Lalu?"

"Aku menunggu suamiku datang."

"Suami? Tepatnya mantan suami. Bukankah begitu?"

"Diam kau."

"Ayolah, sebentar lagi makan malam akan siap, aku tidak ingin makananku mendingin." Matthew kembali menegapkan tubuhnya.

"Pulanglah. Aku tetap menunggu Roman disini."

"Inilah mengapa aku sangat terkagum-kagum padamu. Kamu sangat keras kepala. Tetapi, kali ini aku tidak memiliki waktu banyak."

"Apa maksudmu?"

"Kamu lihat telapak tanganku yang mulus ini. Coba lihat, sepertinya ada sesuatu." Matthew merentangkan telapak tangannya, aku benar-benar tidak melihat apapun disana. Apa dia ingin membodohiku? "Lihatlah, dan. Tidurlah." Telapak tangannya menutup kedua mataku, dalam hitungan detik tubuhku terasa lemas dan kemudian aku tidak sadarkan diri.

Calamity CircleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang