Chapter 34

33 4 0
                                    

Aku sangat yakin aku pasti kalah taruhan, dan pada kenyataannya memang begitu adanya. Matty sangat terlihat menawan dan semakin elegan dengan tampilan barunya, setiap wanita pasti mendadak lupa cara menggerakkan badan, bahkan sampai lupa cara berdiri saat melihat penampilan Matty yang sekarang.

Saat Matty mendapatkan penampilan barunya, dia pergi keluar dan menghampiri ruang depan yang penuh dengan wanita yang sedang bersandar santai dikursinya masing-masing dengan satu atau bahkan dua juru permak rambut disetiap satu kursi. Didampingi pemilik salon terbesar dikota ini, Matty berdiri ditengah-tengah antara wanita-wanita disana dan berbicara dengan suaranya yang cukup menarik perhatian semua wanita disana dengan mudah.

"Permisi Wanita-wanita cantik yang ada disini, saya harap saya tidak mengganggu ketenangan kalian. Tapi saya ingin menanyakan sesuatu, sekaligus meminta pendapat kalian," ucap Matty yang berhasil membuat setiap pasang mata menatap Matty dengan tangan gemetar dan bahkan ada yang tidak kuat berdiri lalu terduduk dikursinya lagi yang menghadap kearah Matty. "Jadi, saya sedang bertaruhan dengan kekasih baru saya, iya yang dipojok sana," Matty menunjuk kearahku, dan seketika setiap pasang mata melihatku dengan tatapan yang mengerikan, rasanya seperti ditatap oleh beberapa musuh yang ingin sekali membunuhku saat itu juga, beberapa detik setelah mereka menatapku, mereka kembali menatap Matty dengan tatapan penuh cinta, wanita memang mengerikan. "saya sedang bertaruh dengannya. Jika tampilan baruku ini terlihat jelek, bahkan terlihat seperti pria tua, dia akan menang. Tetapi sebaliknya, jika saya terlihat lebih bagus dengan tampilan baru saya, kekasihku yang akan kalah dalam taruhan ini. Jadi agar semuanya adil, saya meminta pendapat kalian seperti apa penampilan baru saya yang sekarang?"

Yah, tanpa perlu dijawabpun aku sudah tau kalau semua wanita itu akan bilang kalau Matty terlihat lebih luar biasa tampan dan semakin menawan. Sial.

Saat kekalahanku yang mutlak itu sudah menampar wajahku bertubi-tubi, Matty melirik ke arahku dan tersenyum dan tatapannya seperti malaikat pencabut nyawa yang sudah siap mengambil nyawa seseorang. Tubuhku mendadak dingin dan menggigil, ditambah bulu kuduk yang berdiri, sudah sangat jelas kalau aku sudah ketakutan dengan apa yang akan terjadi denganku nanti malam.

Saat semua wanita disana meminta foto dengan Matty, terlintas dari pikiranku untuk melarikan diri, tapi kesialan kembali menimpa pada diriku karna si pemilik salon itu menghampiriku dan berdiri disebelah kiriku, ditambah lelaki yang bernama Justin yang juga menghampiriku dan berdiri disebelah kanan, kini mereka berdua bagaikan sepasang pengawal, atau bahkan lebih cocok disebut Bodyguard yang sedang menjaga seorang Putri Rapunzel agar tidak bisa pergi kemana-mana.

"Tuan Pearson memang sangat menawan dengan penampilan apapun, benar kan?" Tanyanya padaku sembari menatap Matty dengan tatapan puas dan bangga.

"Siapapun tidak akan bisa menandinginya. Dan kamu sangat beruntung bisa memilikinya." Tambah Justin sembari menatap Matty seperti yang dilakukan pemilik salon itu.

Aku yang terpojokkan hanya bisa menutup mulut dengan pikiranku yang melayang-layang diudara dan menerawang apa yang akan terjadi nanti malam.

***

Selama perjalanan pulang aku hanya bisa meremas-remas gulungan koran yang dibeli tadi pagi oleh Matty. Disisi lain koran ini cukup penting karna koran ini memiliki kunci keluar dari masalah ini, dan disisi lain aku merasa kesal dan ingin marah karna aku terlalu bodoh karna sudah berpikir hal yang aneh-aneh terhadap Matty yang akan berdampak sangat buruk padaku.

"Nasib koran yang kamu genggam ini sebelas dua belas denganmu ya. Dan tanganmu itu adalah aku yang tidak akan pernah melepasmu. Jadi untuk sekarang dan seterusnya jangan pernah berpikir untuk pergi meninggalkanku, karna kamu akan tau akibatnya. Genggaman yang erat itu bagaikan rasa sakit yang teramat sangat sakit, dan itu akan terjadi jika kamu berusaha untuk pergi." Ucap Matty tanpa melirik ke arahku, mata Matty menatap ke jalan yang dibatasi oleh kaca mobil transparan yang sangat bersih. Saat mendengar ucapannya, satu pertanyaan melayang dikepalaku;

'Jadi, ini sebuah Rayuan? Atau sebuah ancaman?'

Setelah mendengar ucapannya itu, aku sama sekali tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Lidahku terasa kaku karna kekalahan yang sedang menimpaku, bagaikan sebuah batu super besar yang mendadak terjatuh diatas kepala.
Aku tetap menggenggam gulungan koranku ditangan dan tidak menggubris apa yang dikatakan Matty, dan aku melayangkan tatapanku keberbagai pemandangan yang berjalan mundur.

"Aku harap kamu siap menerima hukumanmu nanti." Seringai Matty kembali tumbuh disudut bibirnya. Aku yakin beberapa detik lagi binatang buas apapun bisa saja  berlari terbirit-birit saat melihatnya.

Sekali lagi, aku sama sekali tidak menjawab pertanyaannya, dan kembali menatap pemandangan yang berada disampingku.

"Okay, itu berarti kamu sudah siap. Aku harap malam ini kamu berdandan menjadi wanita yang super cantik." Tangannya membelai lembut daguku lalu menarik dengan paksa wajahku dan dalam sedetik mataku sudah berada tepat didepan matanya yang merah terang. Merah terang? Sejak kapan?

Dan untuk kesekian kalinya, lidahku kaku dan tidak bisa bergerak sedikit pun. Dan aku tidak bisa membalas ucapannya yang berhasil membuatku membayangkan berbagai macam tinju dan tendangan untuk menyerangnya, tapi aku tau itu mustahil.

Setelah Matty menarik tangannya dari daguku, keheningan kembali tercipta. Keheningan yang membuatku lebih tenang dan berpikir jernih.

***

Ya, seperti yang pertama kali aku datang kerumah itu, berjalan memasuki perumahan luas dengan berbagai rumah yang megah, dan disusul oleh dua dinding penuh dedaunan yang dipangkas serapih mungkin yang menjadi pemandu jalan kami menuju rumah yang sekarang telah resmi aku sebut dengan neraka.

Jantungku mulai berdebar saat gerbang besi yang tinggi itu terbuka lebar, dibalik gerbang itu terlihat pemandangan indah sebuah taman yang cukup luas bagi taman rumahan yang ditengahnya terdapat jalan aspal berbatu, jalan itu dibuat sehalus mungkin agar bisa dilintasi oleh berbagai macam kendaraan.

Setelah mesin mobil dimatikan, Matty keluar dari mobil dan menghampiriku dengan membukakan Pintu dan mulai berpose seperti seorang pelayan yang segera membantu tuan putrinya menuruni kendaraan. Tangannya yang putih itu siap meraih tanganku untuk keluar dari mobil.
Kalian kira aku akan meraih tangannya? Tentu saja tidak! Aku menepis tangannya itu dengan kasar, memangnya dia kira aku tidak bisa berdiri sendiri?
Setelah menepis tangannya itu, aku mulai berjalan menghampiri pintu rumah itu, ya, aku tidak memiliki tujuan untuk pergi selain ke rumah yang akan menjadi saksi atas kekalahanku. Setelah berada didepan pintu, aku hanya bisa berdiri dan menatap betapa putihnya pintu itu. Lalu aku terkejut dengan sentuhan lembut yang berada dibahu kiriku, dan hembusan hangat yang aku rasakan di wajahku dibagian kanan, lalu terdengar bisikan lembut yang membuat seluruh tubuhku menjadi kaku.

"Ternyata kamu sudah tidak sabar ya, aku pastikan kamu akan mendapatkan kenikmatan yang tak akan kamu lupakan." Bisiknya dengan lembut, setelah itu bibirnya mendarat di pipiku.

Bersamaan dengan kecupannya, pintu rumah terbuka dan disambut oleh seorang pelayan yang tidak kalah tampan dari majikannya. Tapi, sebentar, sepertinya aku belum pernah melihatnya.

"Selamat datang Tuan Pearson, dan Nyonya cantik disana." Ucap pelayan itu dengan suara yang cukup formal.

Seketika tatapan Matty berubah seperti orang yang sangat terkejut, dan kemudian dia membenarkan tubuhnya agar lebih tegap.

"Lama tidak berjumpa Tuan, bagaimana dengan hari-hari anda selama saya tidak disini? Saya harap semuanya baik-baik saja." Pelayan itu kembali berbicara, tatapan mereka sangat erat. Sedangkan aku hanya kebingungan dengan sikap mereka berdua.

"Michaelis! Ya, hari-hariku tidak ada yang berubah, semuanya sama seperti biasanya. Tapi, untuk hari ini aku harap kamu menyiapkan segalanya dengan sangat spesial, karna ini adalah hari spesial bagi kami berdua. Ngomong-ngomong, bagaimana dengan tugasmu?" Matty terlihat sangat bersemangat saat itu, Matty menarik tubuhku untuk masuk, sedangkan mereka berdua asik berbincang selama kami memasuki rumah nan istana itu.

"Semuanya berjalan dengan lancar Tuanku, karna itu saya kembali." Jawabnya dengan santai setelah menutup pintu.

Dan seterusnya aku tidak begitu paham dengan pembicaraan mereka, dan belum sempat memahami pembicaraan mereka, Matty sudah memanggil pelayannya yang lain untuk mengantarku kekamar. Sedangkan mereka masih asik berbincang diruang tengah.

Calamity CircleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang