Para Pilar Rokus

301 32 0
                                    

Bunga-bunga cermin tertanam rapi mengelilingi areal menara dalam bentuk heksagramagi. Bunga dengan seribu kelopak menyerupai cermin ini merupakan pondasi bagi sihir kamuflase. Formasi sihir juga bisa kurasakan tertata rapi di bawah permukaan tanah, persis seperti teori dalam buku-buku sihir tingkat lanjut.

Kami berjalan menuju ke anak tangga yang terbuat dari susunan rapi bata merah. Pintu masuk menara tersusun dari dua daun pintu yang masing-masing gagangnya berupa ornamen kepala singa dengan cincin pengetuk. Relief Pegunungan Glyndwr dengan awan-awan rendah dan pemandangan Kota Rokus menghiasi kedua daun pintu.

Kapten Ning mengetuk pintu beberapa kali. "Kami sudah tiba!" Sahutnya agak keras.

Pintu dibuka dengan pelan, tampak seorang laki-laki paruh baya berpakaian pelayan menyambut Kapten Ning. Dan sejenak setelah mereka berbincang pendek, laki-laki yang ternyata bernama Hossam itu mempersilakan kami ikut masuk.

Di dalam menara, pada lantai pertama, suasana cukup terang oleh karena tiga jendela utama yang cukup besar memberikan penyinaran dengan penuh. Di sekitar dinding menempel sejumlah rak buku yang tampaknya baru saja dibersihkan dari debu-debu yang mengumpul selama bertahun-tahun.

Sebuah meja bundar berada di tengah-tengah ruangan dengan delapan kursi, beberapa orang sudah duduk di sana.

Salah satu dari mereka berdiri, rambutnya sudah hampir beruban separuh, tubuhnya agak gemuk tersembunyi di balik jubah resmi pemerintahan. Melihat simbol dan bintang yang tersemat di bagian dada kirinya, aku bisa menduga siapa orang ini.

"Putri Eileen, saya sungguh senang melihat Putri baik-baik saja." Dia melangkah maju dan memeluk Eileen dengan kuat, "Maafkan saya membuat tidak menyadari bahwa Putri dalam keadaan bahaya di kota yang saya pimpin sendiri."

Eileen juga memeluk sang mayor dengan erat, "Paman Edmé, lama tidak berjumpa. Tidak apa-apa, Eileen baik-baik saja."

Aku bisa melihat dari reaksi Eileen bahwa mayor Edmé Bram bisa dipercaya. Dan reaksi sang mayor benar-benar tampak seperti orang yang mengkhawatirkan darah dagingnya sendiri. Juga sepertinya, Eileen menjadi dewasa terlalu cepat, anak lain mungkin sudah menangis dalam situasi seperti ini.

Lalu Mayor Bram memandang ke arah kami bertiga.

"Nyonya Cyril, kami sangat senang Anda bisa berada di sini. Kabar yang baru saja kami terima sungguh di luar dugaan kami. Sampai saat ini kami berusaha menyiagakan sebaik mungkin seluruh kemampuan militer Kota Rokus, tentu tanpa menimbulkan kegaduhan guna mencegah kemungkinan masih ada mata-mata lain di kota ini." Mayor Bram menggelengkan kepalanya. "Dengan adanya Anda di sini, kami setidaknya memiliki sedikit harapan."

"Anda terlalu memuji Mayor." Bunda tersenyum ramah. "Mari kuperkenalkan, ini adalah putraku, Eiwa Cyril." Bunda memanggilku ke sampingnya. "Dan yang ini adalah Nona Snotra, dia-lah yang berjasa menjaga Putri Eileen dan putraku Eiwa selama ini."

"Salam kenal Eiwa." Mayor Bram menepuk pundakku sambil setengah berjongkok, ia tampak tidak terlalu memedulikan formalitas. "Kamu sungguh seperti ayahmu, Aloys, sungguh sepasang mata yang jernih."

Lalu Mayor Bram menyalami Nona Snotra, "Terima kasih karena telah menjaga Tuan Putri dan Eiwa, Nona. Kami sungguh tidak tahu bagaimana harus membalas budi baik Nona."

"Tidak masalah Mayor, Eiwa dan Eileen sudah seperti adik-adik saya sendiri. Tentu saja sebagai kakak saya harus menjaga mereka."

Eh..., Nona Snotra, Anda sudah hidup melewati beberapa milenia, tapi aku dan Eileen baru lahir kemarin, bagaimana bisa kami jadi...

Tiba-tiba aku merasakan pandangan dingin dari Nona Snotra, tampaknya dia bisa membaca isi pikiranku. Niscaya keringat dingin mulai berkumpul di sekitar dahi dan pelipisku, sungguh naluri perempuan itu mengerikan.

Legenda EiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang