Malam itu aku sendiri di kamar pribadiku – hadiah ulang tahun – yang ada di lantai dua. Tampaknya tidak ada yang bertanya lebih jauh setelah pesta ulang tahun selesai. Yah..., jenius memang hanya bisa membuat orang terbelalak tanpa bisa berpikir banyak.
Hanya saja di lantai satu aku masih bisa mendengar sayup-sayup pembicaraan antara bunda, kakek dan nenek.
"Corinne, apa kamu yakin tidak pernah mengajarkan Eiwa membaca teks kuno?"
"Memang kamu pikir mengajari membaca teks kuno semudah membuat segelas susu untuk Eiwa? Bahkan aku pun menghabiskan setahun penuh untuk bisa menghafal aksara kuno itu satu per satu. Baru kemudian bisa membaca dalam lima tahun berikutnya setelah menghabiskan waktu siang dan malam."
"Benar kata Ibu, bahkan sampai saat ini, walau pun aku sendiri belajar langsung dari Ibu – aku belum bisa membaca lancar seperti yang Eiwa lakukan tadi, apalagi itu bukan sekadar teks kuno kurasa."
"Hmm..."
"Albert, apa yang dilakukan Eiwa hanya bisa dicapai dengan latihan dan belajar selama bertahun-tahun."
"Ini benar-benar tidak masuk akal. Apakah ini berarti Eiwa memiliki bakat bawaan dalam membaca teks kuno?"
Setelah pembicaraan tersebut, ruang bawah menjadi hening sejenak. Aku tidak mengikuti lagi pembicaraan mereka. Aku sendiri tidak tahu bagaimana aku bisa membaca teks kuno, aku hanya melihat-lihat isi buku milik kakek dan nenek, dan setelah beberapa saat mencoba membaca tulisan asing itu, aku lalu tiba-tiba bisa membacanya. Apakah memang benar sesulit itu membaca teks kuno? Ah sudahlah, aku memang jenius yang kadang saking jeniusnya, aku sendiri tak memahaminya. Mungkin inilah yang dimaksud paradoks bagi orang jenius.
Pandanganku teralih pada sebuah buku lusuh dengan judul 'Setapak Pono di Langit Akua dan Bumi 'Aina'.
Aku membuka halaman pertamanya, hanya terdapat beberapa baris di situ.
Pono seperti sebuah jalan, tapi juga di saat yang bersamaan bukan jalan. Anggap saja jika seseorang ingin berjalan dari bumi ke langit, atau sebaliknya, maka setapak yang ditempuh adalah Pono, di saat yang bersamaan – setapak tersebut tidak ada. Maka, itulah Pono, perangkai Akua dan 'Aina.
Bagi mereka yang hendak mengenal mengenal mana, sihir, dan kekuatan yang hakiki dalam balutan aturan semesta – maka mereka tidak memiliki pilihan lain selain berjalan di setapak Pono. Hanya ketika mereka sampai di ujung akhir, maka mereka akan memahami awalnya.
Beberapa kali aku membaca tulisan tersebut, namun aku sama sekali tidak bisa mencernanya. Tentu aku pernah membaca tentang leksikalitas Pono, Akua dan 'Aina. Namun tulisan pembukaan ini tidak ada sambungannya sama sekali, atau mungkin aku belum melihatnya.
Pono bermakna 'kebenaran', 'jalan yang benar', atau nilai-nilai yang dipegang oleh setiap kesatria dan penyihir di negeri ini. Akua melambangkan langit yang terbatas, penuh misteri, sesuatu yang tak tercapai oleh manusia biasa. Sedangkan 'Aina melambangkan bumi di mana lingkaran kehidupan dan kematian selalu berputar.
Mungkin suatu saat aku akan paham.
Aku lanjutkan membaca halaman berikutnya yang berisi penjelasan panjang.
Bagaimana menemukan Pono ketika dia tidak ada? Tapi jawaban dari pertanyaan itu tidak pernah ada ketika kita hanya melihat dalam kerangka pandang manusia. Manusia selalu melihat dengan mata, mendengar dengan telinga, mengecap dengan lidah, dan meraba dengan kulit – tapi bagaimana melihat, mendengar, mengecap, meraba sesuatu yang tidak ada?
Itu bermakna, secara wajarnya Pono tidak dapat dirasakan menggunakan pengindra tersebut.
Para ksatria dan penyihir dari generasi ke generasi memegang kunci pertanyaan ini. Ada sesuatu yang bisa ditangkap oleh bukan pengindraan mereka, yaitu mana! Lalu bagaimana mereka bisa merasakan mana?
KAMU SEDANG MEMBACA
Legenda Eiwa
FantasiAda anak manusia yang dilahirkan dengan kecerdasan yang tidak biasa. Ketika orang lain mungkin berkata bahwa takdir tidak adil. Maka dia justru melangkah jauh dalam intrik yang tidak dilalui oleh anak-anak lainnya. Mimpinya adalah menjadi seorang Ke...