Menara Mata tevfik

272 25 0
                                    

Untuk mendapatkan sebuah julukan atau sebutan yang unik di sebuah wilayah kerajaan, seseorang harus memiliki keahlian eksklusif, atau keahlian umum pada tingkatan maestro. Tentu saja seseorang bisa memberi julukan pada dirinya sendiri, tapi siapa yang akan mengakui itu?

"Raja Semesta Strategi?"

"Ya, tidak ada yang bisa menandinginya dalam menelurkan strategi. Bahkan Nenek Corrine sendiri sering tidak mampu menghasilkan strategi sebaik yang dirumuskan Aloys."

Raut wajah Bunda tersenyum tipis, seperti mengenang masa lalu, namun...

"Bunda, maafkan Eiwa, membuat Bunda mengingatkan pada..."

"Eiwa, tidak mengapa. Bunda juga minta maaf karena selama ini tidak banyak berbicara tentang Aloys padamu. Bunda khawatir, Eiwa akan sedih."

Bunda mengusap-usap rambutku dengan gemas.

"Eiwa, Bunda percaya, bahwa ayahmu, Aloys, masih ada di luar sana di suatu tempat. Selama ada harapan, Bunda tidak akan menyerah walau Bunda hanya bisa menantinya kembali."

"Ya..."

Aku mengangguk, tidak ingin lagi meneruskan percakapan ini. Entah mengapa, ada sesuatu yang terasa mengganjal dan berat untuk diucapkan.

Bahkan saat aku berkata bahwa aku cukup jenius dengan pencapaianku saat ini, aku tahu akan banyak hal yang anak-anak lain seusiaku tidak mengetahuinya, namun aku tetap tidak tahu apa-apa tentang ayahku, Aloys Cyril.

Saat aku berjalan pulang dari perpustakaan menuju rumah. Aku sering melihat anak-anak yang menyambut ayah mereka pulang bekerja. Tentu saja aku punya kakek, nenek, dan bunda yang selalu ada di sisiku. Tapi kadang aku menemukan ada sebuah penyangkalan yang muncul dalam hatiku ketika melihat ekspresi anak-anak tersebut. Dan aku biasanya segera mengubur jauh-jauh perasaan tersebut.

Tiba-tiba pikiranku buyar, tanganku ditarik kuat oleh Eileen.

Aku meliriknya.

"Eiwa, jika ingin menangis, menangislah, tidak apa-apa."

Wajahnya polos, namun sungguh-sungguh mengkhawatirkanku. Ah, aku memang tidak bisa sembunyi Eileen yang memiliki mata hati yang peka.

Aku tersenyum padanya. "Pada saatnya nanti... Eileen, pada saatnya nanti, semua ada saatnya."

Di sisi lain, aku juga bisa melihat baik Bunda, Kapten Ning, dan Nona Snotra juga tersenyum, walau tidak langsung melihat ke arahku.

Aku tahu, walau aku masih memiliki penyangkalan, namun aku tidak lari dari kenyataan. Aku masih memiliki mimpi menjadi magi kesatria yang terbaik di bawah langit. Aku akan terus melangkah maju.

Tidak lama kemudian, perjalanan kami mencapai sebuah danau kecil di puncak bukit. Danau tersebut di kelilingi oleh pepohonan cemara yang mungkin sudah berusia ratusan atau ribuan tahun. Akar-akar mereka membesar dan menggelembung menjadi batas danau dan daratan.

Dan ada sebuah setapak kecil yang kira-kira muat dilewati oleh satu kereta kuda, dari tepi danau menuju tengah danau. Setapak ini pun di kiri dan kanannya dipagari oleh cemara-cemara megah. Tapi setidaknya, sinar matahari cukup terang menerangi setapak tersebut, baik dari yang menembus di antara rerimbun cemara, maupun dari yang menari-nari dipantulkan oleh permukaan danau yang jernih.

Kami berjalan pelan di atas setapak tersebut. Aku sendiri menikmati hangatnya sinar mentari, desiran angin dan kicauan burung-burung yang membangun sarangnya di antara keteduhan cemara.

Sekitar satu kilometer kami berjalan, Kapten Ning berhenti dan mengisyaratkan agar kami juga berhenti.

Dia mengambil sebuah medali dari saku jubahnya, dan seakan-akan menempelkan ke udara di hadapannya.

Tiba-tiba aku bisa melihat udara seperti berpilin pelan dan mulai berpendar.

"Oh, sihir kamuflase." Gumamku.

Aku melihat catatan mengenai sihir ini di banyak pustaka. Salah satu sihir yang paling sederhana untuk menyembunyikan bangunan atau struktur. Sihir ini memiliki nilai unggul karena kemampuan kamuflase yang tinggi, dengan kelemahan tidak dapat digunakan untuk obyek bergerak. Formasi heksagramagi yang digunakan merupakan fondasi yang tidak fleksibel untuk digerakkan, dan kelemahan lainnya, jika ada benar-benar dicari, maka kamuflase itu sendiri sangat mudah ditemukan.

Setelah sebagian sihir kamuflase di hadapan kami dibuka. Aku bisa melihat sebuah dasar menara.

Kapten Ning berbalik ke arah kami sambil tersenyum.

"Semuanya, selamat datang di menara rahasia Kota Rokus, Menara Mata Tevfik. Mari, Mayor Edmé Bram sudah menunggu kedatangan kita semua."

Kami melangkah masuk. Dan aku cukup terkagum, bahwa sebuah kota kecil seperti Rokus bisa membangun menara seperti di hadapan kami.

Tinggi setara dengan bangunan tujuh lantai, diameternya cukup untuk menampung empat kereta kuda, menara yang berbentuk silinder sempurna dengan relief ular yang melingkar dari dasar hingga ke atas, di atas kepala ular tampak menantang sebuah arca rajawali yang mengepakkan sayapnya lebar-lebar.

Melihat arah pandang baik ular maupun rajawali, aku tersenyum, dan bisa menduga tujuan keberadaan Menara Mata Tevfik ini.

Legenda EiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang