Perpustakaan Putih

288 29 0
                                    

Enam puluh hari berlalu di Wasswa. Rutinitas yang kulalui menjadi begitu teratur. Berlatih dengan diagram sihir beban langit dari pagi hingga sore. Meditasi melalui teknik Gelombang Sembilan Kesadaran pada malam hari. Ditambah dengan melatih teknik pedang dan bertarung di antaranya.

Dengan tambahan tampaknya kucing putih ini sekarang sering bersamaku, terutama pada saat-saat ikan asap disajikan. Bagusnya, dia mulai membawa ikan tangkapannya sendiri.

Kadang aku masih penasaran, siapa pemilik kucing ini, karena hewan cerdas ini tampaknya bukan hewan biasa dan pemiliknya pasti bukan sosok yang biasa juga. Apalagi kunci kuno yang tergantung di lehernya semakin membuat rasa penasaran menjadi-jadi.

"Sepertinya kamu memang benar-benar suka ikan asap ya?"

Meeooww... - dia mengangguk dengan senyuman lebar.

"Nikmatilah selagi aku masih di sini."

Meeooww...? - tampaknya dia bertanya apakah aku akan pergi.

"Ya, aku akan meninggalkan tempat ini dan kembali pulang setidaknya dalam beberapa hari ke depan. Aku ke sini untuk berlatih, karena rumahku berada dalam ancaman peperangan."

Meooww meee...? - kini dia bertanya, apakah aku akan kembali lagi.

"Aku tidak yakin. Segala sesuatunya bisa terjadi dalam perang. Dunia kami memang demikian. Jika aku selamat, aku mungkin akan kembali – danau ini indah untuk tempat menenangkan diri. Tapi jika aku tidak selamat, kurasa ...." Aku kemudian terdiam. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika seandainya peperangan menghancurkan negeriku. Dengan kemampuanku saat ini, aku yakin bisa menganggu rencana mereka, tapi bukan berarti tidak akan ada korban yang berjatuhan – karena perang selalu menumpahkan darah. Aku tidak pernah melihat perang sebelumnya, tapi aku yakin bahwa aku tidak akan menyukainya.

Meeoowww meee meee....? - dia bertanya, apakah aku tidak bisa tidak ikut berperang.

"Kuharap aku bisa. Tapi aku perlu mengetahui penyebab di balik kesedihan ibu dan nenek, tentang masa lalu, tentang ayahku. Aku yakin, jawabannya bisa kudapatkan melalui perang ini."

Meeeeee...! - dia berkata, jangan pergi!

Aku tertawa lepas, "Ha ha..., aku datang ke sini tidak menyangka dapat bertemu denganmu kucing kecil. Aku tidak tahu siapa pemilikmu, tapi kurasa dia pasti mengkhawatirmu, dan aku juga agak khawatir meninggalkanmu sendiri. Tapi sekarang kamu justru mengkhawatirkanku."

Kucing itu hanya terdiam.

Aku membelai kepalanya, "Kurasa berlatih beberapa waktu lagi tidak akan terlalu bermakna. Kupikir dengan mempelajari semua teks kuno di Glaedwine bisa membuatku menemukan solusi atas masalah ini, tapi kurasa kemampuan satu orang tetap ada batasnya. Tapi bertemu denganmu di sini di saat aku pikir akan menghabiskan waktuku seorang diri bukanlah hal yang buruk."

Aku kembali terdiam, aku merindukan ibu, kakek dan nenek, aku bahkan tidak tahu bagaimana kabar mereka. Jika aku kembali dan memberitahukan mereka informasi mengenai rencana serangan Aelfwine, aku yakin mereka akan dengan segera memaketkanku ke salah satu kenalan mereka di negeri yang jauh. Mereka tidak akan meninggalkan negeri mereka di saat bahaya datang, tapi mereka juga tidak akan membiarkan cucu mereka berada dalam negeri yang terkoyak perang.

Tapi aku tidak ingin pergi ke tempat jauh yang meski aman, dan mungkin tidak akan bertemu dengan mereka lagi.

Hanya saja, jika mereka tidak tahu mengenai rencana Aelfwine, kemungkinan besar Glaedwine akan membayar harga yang mahal dalam peperangan ini.

Aoouhhh....!

Tiba-tiba, rasa sakit menusuk pada jari telunjuk tangan kananku.

Dan ketika aku berpaling, kucing kecil tadi menancapkan taringnya jariku. Ketika hendak kulepaskan, aku melihat sepasang mata yang berkaca-kaca. Eh..., apakah dia begitu tidak inginnya aku pergi dari sini?

Aku bisa melihat darah mengalir dari ujung jariku, lalu menetes dan membasahi bulunya yang seputih salju. Ketika aku hendak mengambilnya ke dalam dekapanku. Aku merasakan gejolak mana yang mengalir dari kucing kecil ini.

Seekor kucing memiliki mana?

Sebelum aku bisa berpikir lebih jauh lagi, seberkas cahaya yang menyilaukan menyerbu kesadaranku. Seakan-akan kesadaranku dipaksa berpindah ke sebuah dimensi yang berbeda.

Saat aku bisa membuka mataku kembali dengan baik. Aku berada di sebuah ruangan putih yang dipenuhi oleh rak buku berjejer sejauh mata memandang, tertata dalam formasi melingkar – setidaknya ada sembilan rak di sekitarku dan aku berada di tengah-tengah lingkaran. Ketika aku memandang ke atas, rak-rak yang melayang juga tidak kalah banyaknya – seakan-akan aku berada di bawah dasar sebuah sumur yang terbuat dari rak-rak buku.

"Oh... rupanya ada pengunjung?"

Sebuah suara mengagetkanku, namun oleh karena kelembutannya maka kekagetanku tidak sampai berubah menjadi ketakutan.

Ketika aku memandang ke arah suara di belakangku, aku melihat seorang gadis remaja berambut putih dan bergaun putih tersenyum ke arahku. Seandainya saja bukan karena aku berada dekat dengannya, mungkin aku tidak akan menemukannya di lautan dimensi yang berwarna putih ini.

"Hmm..., melihat raut wajahmu, kurasa adik kecil ini tidak tahu mengapa dia ada di sini, dan di mana dia berada saat ini." Dia tertawa kecil.

Aku hanya bisa mengangguk – apakah aku baru saja bertemu dengan seorang peri, atau seorang dewi? Dia sangat cantik dan anggun, bahkan lebih cantik dari ibu. Oh, tidak... tidak..., ibu lebih cantik. Aku berupaya meyakinkan diriku.

"Saat ini kita berada di dalam perpustakaan putih, sebuah ruang dimensi yang terpisah dari dunia luar – duniamu, dan untuk bisa masuk ke sini, seseorang harus mendapatkan persetujuan dari penjaga perpustakaan putih." Dia mengeluarkan sebuah pigura kecil dari laci meja terdekat, dan aku melihat gambar kucing putih kecil. Melihat reaksiku, dia tertawa kecil. "Ah, sepertinya kamu memang mengenal penjaga perpustakaan ini."

"Kami berteman." Sahutku singkat.

"Itu bagus." Dia terdiam sejenak, "Entah berapa lama aku sudah meninggalkannya sendiri. Bertemu denganmu, berarti ini jodohnya dan sudah menjadi kehendak langit."

Dia melangkah ke dekatku. "Dan kurasa pertemuan kita mungkin juga adalah kehendak langit. Baiklah adik kecil, kamu boleh memanggilku dengan sebutan Snotra, siapa namamu?"

Eh..., Snotra... tidak mungkin...!

Legenda EiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang