A Thing Inside Cave

765 70 60
                                    

SEPTEMBER 2016

Itu dia!

Elna mengulum senyum. Akhirnya, dia bertemu lagi dengan lelaki itu. Terakhir adalah sekitar satu tahun lalu. Mereka janjian di tempat yang sama. Kala itu, Elna mendahului dengan datang beberapa jam sebelumnya dan sekalian mengerjakan tugas kuliah. Kini, Oscar yang mendahului karena keberangkatan Elna dari kosan di Tubagus Ismail tertunda akibat hujan deras.

Perempuan itu merapikan payungnya lagi sambil berjalan ke meja yang ditempati lelaki itu. Dia sedang bermain gim di tablet, rupanya. Lelaki itu mendongak ketika Elna menarik kursi di hadapannya.

"Hai," kata Elna.

"Hai." Mereka berpandangan dan akhirnya sama-sama tertawa. "Masih hujan?"

"Cuma rintik."

Lelaki itu menoleh ke arah luar restoran. "Jadi?"

Setengah bingung, Elna mengangguk. "Tentu." Tentu saja mereka hari ini jadi ke Taman Hutan Raya Djuandaatau Tahura Djuanda di Dago Pakar. Hingga Elna mengabaikan apa yang dikatakan lelaki itu satu minggu sebelumnya.

Benar, kosan mereka dekat. Kampus mereka dekat. Namun, Elna jarang bertemu dengannya. Mereka jarang janjian dan lebih sering sekadar berkirim pesan. Meskipun begitu, banyak waktu yang membuat Elna merasa dekat dengan lelaki itu. Elna bisa melihat perhatian lelaki itu. Elna bisa merasakan kepedulian lelaki itu.

Di atas segalanya, lelaki itu selalu ada bila dia membutuhkan seseorang. Lelaki itu bisa menjadi apa saja. Pendengar yang baik. Pemberi saran yang jitu. Pemberi gambaran sudut pandang baru. Penghibur kala harinya muram.

"Kenapa?"

"Eh?" Elna mengibaskan tangan dan sedikit tersipu. "Kamu potong rambut."

Lelaki itu tertawa kecil. "Ya."

Elna jadi ikut tertawa. Bagaimanapun, mereka memang sudah cukup lama tidak bertemu. Tentu saja tak aneh bila panjang rambut lelaki itu berbeda.

"Yuk." Mereka melangkah keluar bersisian.

Elna membuka payung dan menuju angkutan umum yang biasa mengetem dekat McD Simpang Dago. Sebelumnya, lelaki yang bersamanya ini telah mengabari tidak akan membawa kendaraan sendiri karena hari hujan. Untunglah kini hujan telah reda.

Perjalanan ke Dago Pakar ditempuh beberapa menit dalam keadaan angkot penuh. Sopir angkot memberitahukan salah satu jalan masuk menuju Tahura. Mereka perlu berjalan kaki dahulu hingga menemui gerbangnya. Tempat itu sangat besar. Dari Dago Pakar tembus hingga Maribaya. Sekitar 500 hektar, kata informasi yang Elna temukan di internet.

Baru masuk saja Elna bisa membayangkan betapa luasnya hutan ini. Pohon-pohon besar berbaris di hadapannya. Bagian bukit tinggi mengelilinginya. Udara cukup dingin karena baru hujan. Elna perhatikan, jalan berbatu itu banyak yang rusak sehingga bagian tanahnya terlihat dan becek di beberapa tempat.

Elna menggeser tangannya mendekati bahu lelaki itu agar tubuhnya juga terlindungi dari hujan yang sedikit membesar. Lelaki itu menoleh. Matanya memang tajam. Namun, dalam banyak waktu, salah satunya saat ini, sorot matanya terlihat lembut. Dia mengambil payung dari tangan Elna dan memayungi mereka berdua.

Elna tersenyum. Kemudian, tebersit beragam rasa di benaknya.

Aku bisa mengabaikan yang kamu katakan seminggu lalu.

Aku bisa.

Aku bisa.

Kuharap aku bisa, Car.

***

Gua Jepang ternyata sangat gelap dan bagian dalamnya cukup membingungkan. Tak heran ada beberapa orang yang menyewakan senter. Oscar sudah menanyai Elna apakah ingin pakai senter, tapi Elna sok mau merasakan sensasi sebenar-benarnya ketika berada di sana. Alhasil, di dalam tadi dia menjaga jaraknya agar cukup dekat dengan Oscar.

Bukan apa-apa. Tidak lucu kalau dia tersesat dan Oscar kelabakan mencarinya.

Selain gelap, di dalam Gua Jepang juga terasa dingin menusuk. Seolah berada di tempat ajang uji nyali. Elna kemudian ingat, tempat ini memang pernah muncul di acara semacam itu di televisi.

Sebetulnya, selain jadi merasakan sensasi di tempat yang mencekam begitu, Elna juga jadi mengagumi nuansanya. Bukannya dia suka setiap melihat ceruk ganjil di sana. Bukannya dia suka ketika melihat sisa besi yang penuh sejarah kelam. Namun, hal-hal tersebut mengenalkannya pada sejarah secara langsung.

Elna menghirup napas banyak-banyak ketika akhirnya keluar dari gua tersebut.

"Jadi," Oscar menghentikan langkahnya, "ingin cerita apa, Na?"

Elna nyaris terkejut ditodong seperti itu. Namun, memang itulah yang mendasari kencan mereka kali ini. Itulah yang Elna katakan hingga Oscar mengajaknya bertemu.

Gimana kabar kamu, Na?

Lagi ada masalah.

Masalah apa? Aku ingin tahu. Kalau kamu nggak keberatan.

Nggak enak kalau nggak ngomong langsung.

"Nanti," jawab Elna. Bisa jadi, sebagian dirinya masih menghindar untuk menceritakan hal tersebut. Bagaimanapun, dia belum cerita soal ini ke siapa-siapa. Ini bukan hal mudah.

Dan hanya Oscar. Hanya kepada Oscar dia bisa menceritakannya. []

[URBAN THRILLER] Jacq - Every Wrong Thing (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang