A Thing That is Still Wrong

570 67 15
                                    

Februari 2018

Motor berlalu-lalang, mobil pribadi berlalu-lalang, angkutan kota berlalu-lalang, dan berbagai hal berlalu-lalang di pikiran Elna.

Yang benar aja.

Surat cuti.

Oscar cuti.

Lelaki itu tidak masuk kerja dan tidak mengabarinya sama sekali. Padahal, sebelumnya lelaki itu ngotot sekali untuk bicara dengan Elna hingga Elna yang awalnya menghindar akhirnya setuju untuk bertemu di luar dan bicara.

Tetapi, perihal cuti ini, Oscar tak bilang apa-apa.

Kita, kan, satu proyek, Car! Lo diam-diam begini ngaruh di gue yang account executive proyek Sukualas!

Elna mengeluarkan ponsel, menghubungi nomor Oscar.

The number you are trying to call is not reachable....

Lagi-lagi. Ini membuat Elna kesal. Dia sudah mengkhawatirkan Oscar hingga serupa orang sakit, tapi ternyata Oscar hanya cuti.

"Elna?" Elna sudah tahu itu siapa. Selain dari suaranya, orang yang akan memberhentikan kendaraannya di parkiran kantor guna menyapa Elna hanya seorang. Dia mendapati Prama tersenyum cerah di atas motor bebeknya. "Bareng, yuk?"

Elna tidak peduli lagi pada Oscar. Masa bodoh dia cuti kenapa. Masa bodoh mereka pernah dekat. Masa bodoh pada bekas pertemanan yang mereka miliki.

Elna membutuhkan orang lain guna membuat dirinya teralihkan.

Orang yang cocok, sedang menawari tumpangan atas dasar arah tempat tinggal mereka yang sama.

Kali ini, Elna menerima ajakan Prama.

***

"Udah, di sini aja," kata Elna ketika mereka mendekati gerbang apartemen.

Prama menoleh. "Nggak apa-apa, gue masuk aja."

Elna menekankan tombol tiket parkir, kemudian Prama kembali melajukan motornya. Dia melewati satu tower tanpa bertanya pada Elna. Kemudian, melewati satu lagi. Baru berhenti.

Kenapa dia berhenti di sini?

"Lo pernah ke sini?" tanya Elna setelah turun dari motor. Dia berusaha membuka pengait helm milik Prama yang dia pinjam. Prama memang membawa dua helm. Entah sejak kapan. Entah demi apa. Demi siapa.

"Pernah." Prama tersenyum seperti biasa; cerah bak Sang Surya. Dia memperhatikan tangan Elna yang belum berhasil membuka helm. "Cari makan, waktu itu."

Kenapa dia berhenti di tower yang ini?

"Lo ... nggak tahu, kan, tower gue yang mana?"

Lelaki itu terlihat agak kaget dengan pertanyaan aneh tersebut. Tetapi, dia lebih aneh. Menghentikan motor tanpa menanyai di mana Elna tinggal. Seolah dia tahu unit apartemen Elna di tower mana.

"Enggaklah," jawab Prama. Senyumnya sudah hilang.

Lalu, cuma kebetulankah?

Ya, mungkin aja.

Mungkin Prama hanya asal menghentikan motornya karena Elna tadi belum juga mengatakan dia tinggal di bagian mana, sementara pintu keluar motor sudah dekat dari pandangan Prama.

"Sorry," ucap Elna sambil tersenyum tipis. "Gue agak...." Parno. Elna tidak menyuarakan itu.

Prama diam saja, lalu tangannya bergerak untuk membuka pengait helm yang sedari tadi tak kunjung bisa Elna buka. Karena masih sulit, Prama menstandar motornya lalu berdiri mendekati Elna. Mereka berpandangan sejenak, sebelum Prama mencoba lagi. Akhirnya, pengait itu terlepas. Prama menarik helm ke atas pelan-pelan.

"Nah, udah," ujar Prama sambil tersenyum lebar.

"Thanks," sahut Elna. "Thanks udah diantar."

"Kan, searah," kata lelaki itu dengan riang. Lalu, dia diam. Seolah menilai ekspresi Elna yang sedang tidak penuh antusiasme. "Ada yang mengganggu pikiran lo?"

"Kata HR, Oscar cuti," jawab Elna langsung.

"Tuh, kan, dia baik-baik aja," respons Prama. "Lo kesal?"

"Ya iyalah. Dia bikin gue khawatir sampai segitunya terus tahunya...." Elna menghentikan ucapannya. Prama tidak perlu mendengar seberapa besar hilangnya Oscar mengganggu dirinya.

"Tapi, lo lega, kan, dia baik-baik aja?"

Elna terdiam. Dia menyadari, perkataan Prama ada benarnya. Dia memang kesal karena mengkhawatirkan Oscar padahal tidak terjadi apa-apa. Dia memang kesal karena Oscar tidak memberitahunya apapun. Dia memang kesal karena ketiadaan Oscar membuatnya semakin mengerti akan perasaannya terhadap lelaki itu. Itu juga berarti akan perasaan menyakitkan atas hubungan mereka.

Prama benar.

Di samping itu, dia juga lega. Dia lega karena Oscar ternyata baik-baik saja.

Elna tersenyum. "Thank you. Gue masuk, ya."

Lelaki itu mengangguk. "Next time pulang bareng lagi, oke?"

Kini, Elna yang mengangguk. Itu membuat Prama tersenyum lebar.

***

Elna sedang membuka kunci unit apartemennya, ketika dia merasakan ada yang memperhatikan. Dia berbalik, tapi tak ada siapa-siapa. Ketika sudah masuk, dia memastikan mengunci pintu dengan benar, lalu memandang sekeliling, baru kemudian menghidupkan lampu.

Dia tahu. Rasa waswasnya belum akan segera hilang.

Elna mengeluarkan ponsel dari tas dan mengecasnya. Dia baru menyadari ada satu panggilan tak terjawab. Sepuluh menit lalu.

Dari Oscar.

Dia menekan tombol telepon balik. Dia sudah siap untuk menyembur Oscar dengan kata-kata yang tak enak didengar.

The number you are trying to call is not reachable.

Eh? []


[URBAN THRILLER] Jacq - Every Wrong Thing (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang