Mei 2012
Hari ini, kelas bubar lebih awal. Elna belum ingin pulang dan sedikit rindu pada sekretariat ekskul Jepang. Sudah lebih dari seminggu dia tidak ke sana dan menemui teman-temannya. Terkhusus, dia sedikit rindu pada satu orang tertentu.
Sekretariat berada di dekat kantin, di sudut outdoor dekat bangunan laboratorium. Selama beberapa hari ini, Elna hanya melintasi area itu ke laboratorium fisika, kimia, maupun biologi, sesuai jam pelajarannya. Sesekali, dia bertemu temannya atau senior yang sudah lulus tapi masih suka ke sekretariat. Namun, tidak sekali pun dia melihat lelaki yang dia ingin lihat.
Panjang umur, dia melihat lelaki itu. Di sekretariat hanya ada dua orang. Lelaki itu dan salah satu anak ekskul Jepang juga. Elna buru-buru mundur ketika menangkap suara bernada tinggi dari mereka.
Dia berdiri di balik dinding tak jauh dari area depan sekretariat. Dia tak tahu apakah lelaki yang ingin dia lihat itu sudah melihatnya atau belum. Orang itu memang tadi menghadap jalan, sementara lawan bicaranya yang sedang marah-marah itu membelakangi jalan.
"Urang nggak setuju!" Rekky berteriak lagi. Saat Elna mengintip, lelaki itu sedang melepas kacamatanya keras-keras, lalu memasangnya lagi, seolah berharap itu bisa menenangkannya. "Kerja urang di game ini, kan, lebih banyak! Ngodingnya banyakan urang! Urang juga yang ngide plotnya! Musik juga!"
Elna mengintip lagi dan kelihatannya Oscar masih tenang, sementara Rekky yang biasa selaw itu sudah naik pitam. Elna melihat Oscar tersenyum sendiri sambil menurunkan ponsel.
"Maneh ngapain, sih? Urang lagi ngomong!" kata Rekky lagi.
"Itu, kan, pendapat maneh. Porsi urang di game ini sama banyak sama maneh," sahut Oscar dengan suara tenang. "Ribut banget masalah gini doang. Kayak nggak punya duit aja."
"Argh!" Teriakan Rekky. Elna cepat-cepat melongok. Tinju Rekky melayang, tapi Oscar menghindar. Barangkali geram sendiri, Rekky berbalik dan meninggalkan Oscar.
Elna memutar tubuh. Dia berharap saja Rekky tidak mengenali posturnya dari belakang. Toh mereka tidak kenal dekat juga. Agar tidak mencurigakan, Elna berjalan ke kantin dulu. Dia jadi ingin makan batagor kering. Lagipula, entah apakah akan kikuk atau tidak bila duduk berdua saja dengan Oscar di depan sekretariat.
"Mang, tiga ribuan, ya. Kuah kacang, nggak pakai kecap," pesan Elna ke penjual batagor di kantin.
"Pakai pedas, nggak, Neng?"
"Sedikit."
"Jajan batagor?"
Elna terlonjak. Dia berbalik dan mendapati Oscar di belakangnya. "Hehe," eja Elna, "iya."
"Udah mau pulang?" Lelaki itu mengedik ke arah tas ransel di punggung Elna.
"Enggak, mau ke sekre dulu."
"Oh, hehe." Kali ini, Oscar yang mengeja tawanya. "Ditunggu, ya." Tanpa menunggu sahutan, dia sudah pergi lagi ke arah sekretariat. Terlihat oleh Elna, Oscar tersenyum kecil sendiri sambil berjalan.
"Ini, Neng." Penjual batagor menyerahkan satu bungkus pangsit serta tahu goreng isi adonan ikan tersebut.
Elna menyerahkan lembaran uang. "Makasih, Mang!"
"Sama-sama, Neng!"
Dengan langkah ringan, dia kembali ke depan sekretariat. Oscar masih di sana, memang. Namun, wajahnya mengguratkan sedikit kesal. Kalau Elna boleh menebak, alasan Oscar terlihat seperti ini adalah....
"Glenna!!!" Alumni yang suka mencandainya, telah ada di sana. Seperti biasa, dia menyapa Elna dengan semangat berlebihan. Lelaki yang baru masuk kuliah itu berdiri dan menyambutnya, seolah betulan senang akan kehadiran Elna. "Udah lama, deh, nggak lihat kamu."
"He. He," sahut Elna agak dipaksa. Lelaki ini memang menyenangkan. Tapi, dia ingin mengobrol dengan Oscar. Dan sepertinya, niat Oscar sudah luntur begitu kedatangan orang lain.
***
Pada akhir minggu berikutnya, di SMAN 3 Bandung sedang dilangsungkan acara kebudayaan. Setiap kelas diberi stan dan sebelumnya harus memilih tema daerah untuk diusung. Kelas Elna memilih tema Bali dan telah menghiasi stan kelas dengan nuansa Bali. Berbagai kain Bali dan kaus Barongsai digantung, juga ada bebungaan di meja. Mereka menjual pai susu yang sudah jadi, juga memasak kue basah di tempat.
Kue yang mereka pilih adalah jaje laklak atau bila di Bandung lebih dikenal dengan serabi kuah kinca. Serabi ini berbentuk bulat dan diwarnai hijau serta kuahnya dari gula merah.
Tadi Elna sudah ke stan kelasnya sebentar untuk ikut menyiapkan pensuasanaan. Dia tak bisa lama di sana karena ekskul Jepangnya juga membuka stan sebagai bagian dari festival kebudayaan ini.
Elna kini di sekretariat ekskul. Orang-orang sudah berkumpul, sibuk membuat hiasan kertas. Lebih banyak lagi yang menyiapkan onigiri atau nasi kepal untuk dijual. Beberapa mengisi ayam atau crab stick yang telah dipotong ke nasi, lalu mengepal-ngepalnya hingga berbentuk segitiga. Orang-orang pada tahap berikutnya membungkus onigiri dengan plastic wrap satu per satu.
Sementara beberapa perempuan berganti pakaian jadi yukata dan beberapa lainnya membantu mengikat obi. Elna kebagian jadi salah satu yang memakai yukata. Ini pertama kali baginya dan tentu saja dia tak menolak kesempatan ini. Kapan lagi bisa seharian pakai pakaian tradisional cantik khas Jepang.
Dia memilih yukata warna biru muda bercorak bunga sakura besar-besar. Memakainya tidak begitu sulit, tetapi perlu dipastikan diikat erat agar terjaga kerapiannya. Sementara untuk rambut, dia mencepol rambut ke atas dengan jepitan besar serta menyisakan sedikit rambut menjuntai dekat telinga.
Elna keluar dari sekretariat, ke area duduk di depan. "Kawaii," kata salah satu teman. Dan saat itu, kepala Oscar berputar, ke arahnya. Oscar memperhatikan ujung rambut, wajah, yukata, hingga kembali lagi ke mata Elna. Yang diperhatikan melempar senyum tipis.
Dia merasa beruntung mendapat kesempatan ini. Dia merasa beruntung bisa tampil manis ala gadis Jepang. Tidak dipungkiri, dia tersipu ketika Oscar melihatnya dengan ekspresi seolah mengatakan dia menyukai yang dia lihat.
***
Secara bergantian, anggota ekskul Jepang berjaga di stan. Selain menjual onigiri, mereka juga membuka jasa mensketsa wajah. Juga, berfoto ala Jepang. Oscar juga kerap ke stan dan mereka hanya beberapa kali saling tatap, tanpa mengobrol. Namun, tatapan penuh ekspresi Oscar sudah mengatakan banyak hal dan itu cukup bagi Elna.
Ada pula alumni yang datang, salah satunya yang suka bercanda dengan Elna. Ketika melihat Elna, lelaki yang mungkin dua tahun lebih tua itu langsung heboh. Dia mengeluarkan ponsel dan memotreti Elna dari berbagai sudut.
Sementara itu, Elna memperhatikan Oscar yang diam saja, lalu lelaki itu mengeluarkan ponsel juga.[]
KAMU SEDANG MEMBACA
[URBAN THRILLER] Jacq - Every Wrong Thing (SUDAH TERBIT)
Bí ẩn / Giật gânElna mendadak bangun di ruangan Oscar, lelaki yang dahulu disukainya. Ruangan gelap, sunyi, dan semua pintu terkunci. Elna tidak ingat, bagaimana dia bisa sampai di sana. Apa yang sebenarnya terjadi?