A Thing Through Blood

477 55 8
                                    

Maret 2018

Sebetulnya, saat ini Elna gambling.

Dia sedang dibonceng Prama, menuju rumah lelaki itu yang berada di daerah sana. Dia sedang dibonceng orang yang bisa dibilang adalah teman terdekatnya di Fraweb. Atau, bisa juga dikatakan, dia sedang dibonceng orang yang mungkin bertanggung jawab atas hilangnya Oscar.

Luka Elna memang tidak parah. Namun, terasa perih dan darah masih sedikit keluar dari sana. Dia belum biisa berjalan senormal biasa. Namun, bila memang Prama pihak jahatnya, Elna rasa lelaki itu tak akan melakukan apa-apa karena ini daerah ramai rumah penduduk.

Ya setidaknya, Elna aman selama dia tidak masuk ke rumah Prama.

Motor Prama belok kiri, menelusuri rumah-rumah warga Gunung Batu. Dia berbelok ke kanan, melewati jalan pendek, lalu kiri, kemudian ke kiri lagi. Terus beberapa saat, hingga berhenti di depan rumah bercat putih dan pagar besi diwarnai tembaga.

Prama turun dari motor, jadi Elna mengikuti. Lelaki itu membuka pagar yang tidak digembok dan memasukkan motornya. "Yuk," katanya.

Elna menunggu motor Prama sudah terparkir sempurna, baru dia masuk. Dia sengaja berlama-lama di luar pagar dan melihat sekeliling. Semua rumah di sekitarnya tampak ada penghuni, tak ada rumah kosong. Selang dua rumah dari rumah Prama, ada seorang ibu sedang menyapu daun di sekitar depan rumah. Tak jauh di seberang, ada seorang bapak sedang mencuci mobil di dalam rumah, dengan pagar dibuka sepenuhnya.

Aman.

"Elna?"

"Iya," sahut Elna. "Gue di sini, ya," lanjutnya, duduk di kursi kayu di teras.

"Oh, oke," balas Prama. "Gue ambil dulu obatnya."

Sepeninggal Prama, Elna memperhatikan bagian depan rumah Prama. Terdapat satu motor, yang dipakai Prama sehari-hari, serta ada tempat kosong untuk satu mobil dan satu motor lagi. Tamannya terawat rapi. Ada bunga-bunga yang ditanam mengelompok. Mungkin diurus ibu atau kakaknya.

"Elna, ya?" Seorang wanita keluar dari bangunan rumah. Senyumnya cerah bak mentari. Kulit wajahnya terlihat mulus seperti Prama; entah awet muda atau memang masih muda. Namun, tidak cukup muda untuk menjadi kakak Prama.

"Iya, Tante." Dia menyalami wanita itu.

"Udah ketemu?" Prama keluar membawa beberapa botol obat dan gelas air minum.

Ibunya tertawa. "Tante tinggal dulu, Elna."

"Iya, Tante," balas Elna dengan rangkaian kata yang sama.

"Itu minumnya, ya," kata Prama dan langsung duduk di lantai, memilah botol alkohol dan obat merah.

Sejenak, Elna hanya memperhatikan gerak-gerik Prama.

Air minum.

Obat.

Ada banyak cara bagi Prama untuk mencelakainya.

Namun, di rumahnya sendiri?

Di depan ibunya?

Mungkin tidak.

"Gue sendiri aja," tawar Elna. Dia mengulurkan tangan meminta kasa dari Prama. Tanpa waktu panjang yang membuat curiga, Prama mengangsurkan kotak kasa serta mendekatkan botol alkohol ke Elna.

Banyak hal dari Prama yang tidak patut dicurigai.

Banyak kebetulan yang terjadi hingga Prama patut dicurigai.

Setidaknya, dengan mengobati lukanya sendiri, Elna bisa melihat apakah alkohol serta obat merah ini bukan yang semestinya. Dia juga bisa memakainya sedikit dahulu agar segera tahu dan bisa menghentikan bila ini memang bukan obat sebenarnya.

"Elna?" Panggilan Prama membuat Elna menatap lelaki yang masih duduk di lantai itu. "Tadi ... gimana kejadiannya?"

"Ada telepon aneh," mulai Elna. "Dan, tiba-tiba aja mobil nabrak gue." Elna berhenti bicara sebentar, menatap Prama tepat di matanya, mengatakan, "Terus, lo datang."

"Kebetulan," sahut Prama. "Kebetulan gue udah jalan ke kantor."

Elna membersihkan luka di lututnya dengan kasa serta alkohol. Dia tahu Prama sedang memandangi lukanya, kemudian mata lelaki itu bergerak ke matanya. Prama mencondongkan tubuh dan bibirnya membuat gerakan akan meniup lutut Elna. Elna menggerakkan kakinya, membuat Prama mundur kembali.

"Na."

"Hm?"

"Gue nggak tahu Oscar di mana."

"Iya."

"Na."

"Hm?"

"Lo nggak percaya?"

Elna menotolkan obat merah pada lukanya. Lalu, membersihkan obat merah yang menetes turun. "Udah, yuk, ke kantor," kata perempuan itu, tidak menjawab pertanyaan tadi.

Prama tidak mendesak. Elna juga tidak bisa membaca ekspresi Prama. Hanya, tak ada senyum cerah di bibirnya. Lelaki itu berdiri dan mengulurkan tangan. Karena ketika Elna mencoba berdiri sendiri dia merasa nyeri, dia meletakkan tangan di genggaman Prama.

"Mau pamit dulu," kata Elna.

"Gue panggil aja."

Elna menumpukan tangan di dinding sementara Prama masuk. Tak lama kemudian, lelaki itu kembali diikuti ibunya.

"Pergi dulu, ya, Tante," ujar Elna.

"Hati-hati." Wanita tersebut memberikan senyum cerah. "Cepat sehat. Tante masuk lagi, ya. Nggak bisa ninggalin gorengan."

Elna mengangguk. Prama sudah menyiapkan tangannya. Bisa dibilang bergandengan, Prama menuntun Elna ke motor. Elna akan ikut ke kantor Fraweb, lalu dia ke kantor polisi.

Lo nggak percaya?

Elna tahu, Prama memberinya rasa nyaman. Meskipun kerap membuat curiga, kecurigaan Elna pada Prama tidak akan bertahan lama. Karena, kehadiran Prama memang membuatnya nyaman. Perasaannya selalu hangat bila di dekat Prama atau bicara dengannya lewat telepon. Dirinya seperti makhluk mungil dinaungi matahari. Matahari yang hangat, matahari yang melindungi.

Gue nggak tahu Oscar di mana.

Elna ingin percaya.

Lagi pula, sebagian dirinya, yang tidak melupakan rasa nyaman bersama Prama, sudah percaya.

Namun, masih ada bagian dirinya yang ingin percaya.

Motif. Apakah Prama punya motif cukup kuat?

Elna jadi teringat percakapan dia dan Oscar pada hari Imlek di kafe Monomyth.[]

[URBAN THRILLER] Jacq - Every Wrong Thing (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang