Februari 2018
Benar. Masih ada hal-hal yang mengganjal.
Seharusnya Oscar tidak mendapatkan cuti begitu mudah. Kecuali, itu sudah diminta sejak lama dan telah ada perjanjian Oscar tetap menyetorkan bagian kerja proyeknya untuk Sukualas. Namun, bila begitu, Oscar sudah menghubungi Elna.
Perempuan itu terenyak. Oscar memang sudah menghubungi dirinya, tetapi tak terangkat. Ketika dikejar, malah tak tersambung. Itu juga ganjil.
Elna berputar sedikit di depan cermin, memperhatikan terusan selututnya yang bergerak ringan di atas celana jegging-nya. Dia tersenyum melihat bibirnya yang dipulas ombre dengan lip tint warna ceri dan lipstik nude. Diambilnya tas dan melangkah keluar.
Dibanding merasa cemas terhadap Oscar, dia lebih memilih kesal pada lelaki itu.
Dibanding merasa kesal terhadap Oscar, dia lebih memilih melupakan semua perasaan yang mengganggu itu. Meskipun hanya akan berhasil sesaat.
***
Prama tadi menjemputnya di apartemen dan seketika tersenyum cerah begitu melihat dirinya. Mereka langsung ke Paris van Java di jalan Setiabudhi, naik ke CGV Cinemas dan memesan dua tiket untuk menonton Peter Rabbit.
Kini, sembari menunggu film tayang, mereka menikmati makan siang di Ebira.
"Proyek Sukualas lancar?" tanya Prama sambil mengambil sepotong piza dan menaruhnya di piring Elna.
Elna tersenyum kecil melihat perlakuan Prama. "Ya. Hanya, bagian kecil kerjaan Oscar memang masih belum kelar." Dia mencoba piza dengan potongan salami besar-besar itu.
"Gue aja yang bikin."
"Eh?" Tentu saja itu mengejutkan Elna. Namun, memang agar proyek ini tetap lancar, salah satu pilihannya adalah Prama yang melanjutkan bagian Oscar.
"Nggak apa-apa," kata Prama sambil senyum. "Di Sukualas, kan, kerjaan gue yang paling dekat sama kerjaan dia."
"Dan," Elna mengatupkan bibir sejenak, "masuk kredit Oscar?"
Mata Prama berkilat cerah. Kemudian, dia kembali normal. "Nggak." Suaranya tetap terdengar cukup ketus. "Nama gue nggak apa, kan?" Kini, cara bicaranya sudah lebih lembut.
Ya, bagaimanapun, itu memang hasil kerja Prama. Meskipun tak banyak, tetap perlu diberi keterangan bahwa itu dari Prama. Bukan Oscar, yang seharusnya bertanggung jawab penuh.
Elna teringat Prama juga pernah menjadi Prama yang tak biasa dia kenal. Prama sehari-hari tak jauh dari cahaya matahari. Menyinari, menghangatkan hari-hari. Prama pernah marah pada Oscar dan Elna tidak sengaja mendengar potongan pembicaraan mereka. Mengenai Oscar yang bekerja tak becus dan Prama bicara keras di toilet lantai 3 kantor Fraweb.
"Lo...," mulai Elna, "ada masalah apa dengan Oscar?"
Tubuh lelaki itu mundur pelan-pelan, bersandar ke kursi. Dia tidak tertarik dengan pembicaraan ini, Elna bisa melihat itu. Sejenak telapak tangannya menutupi mulut, lalu kembali ke samping piring. Dia menahannya. Dia menahan dirinya bicara.
"Dia pernah," Prama memulai, "sering," ralatnya, "lambat mengerjakan tugas bagian dia." Prama bersedekap, tapi lalu menurunkan lengan kembali. "Dilambat-lambatkan. Gue tahu dia bisa aja menyelesaikannya secepat yang gue perlukan, tapi dia nggak melakukannya. Dia nggak mau."
Mendengarkan, Elna mengulum bibir. Dia tahu ada baiknya menunjukkan bahwa dia berada di pihak Prama, bahwa dia sepenuhnya setuju dengan pemikiran Prama, tetapi sebagian dirinya yang lain menolak. Ini kata-kata Prama, bukan kata-kata kedua belah pihak.
"Pernah, satu waktu," lanjut lelaki itu, "tingkah Oscar yang nggak diendus siapa-siapa itu membuat gue kena getahnya." Mata Prama berkilat dan nadanya sedikit meninggi. "Pekerjaan gue diburu waktu karena basically gue melanjutkan bagian orang itu dan banyak masalah di sana, sampai gue," Prama menarik napas terlalu keras, "dipanggil manajer."
Jadi ini yang terjadi.
Pantas Prama begitu nggak suka sama Oscar.
"Gue hampir dikeluarin," terang Prama lebih lanjut. Suara itu kaku. Sarat akan kekesalan. Lelaki itu memejam sebentar dan saat membuka mata kembali, sorot itu tak lagi penuh kilat. Hanya nyaris cerah seperti mentari, seperti biasa.
Tangan Elna melintasi meja, tapi kemudian dia menghentikannya sendiri. Dia mengerti.
Rasa benci Prama.
Rasa benci yang kuat. Rasa benci yang belum usai. Rasa benci yang tak bisa selesai dengan hanya bicara keras.
Rasa benci yang berbahaya. []
KAMU SEDANG MEMBACA
[URBAN THRILLER] Jacq - Every Wrong Thing (SUDAH TERBIT)
Misterio / SuspensoElna mendadak bangun di ruangan Oscar, lelaki yang dahulu disukainya. Ruangan gelap, sunyi, dan semua pintu terkunci. Elna tidak ingat, bagaimana dia bisa sampai di sana. Apa yang sebenarnya terjadi?