A Thing After Realization

850 91 71
                                    

Februari 2018

Setelah dia menghilang

Ini hanya lelucon.

Ini pasti hanya lelucon.

Ketika Elna tiba di kantor, Oscar pasti ada di kursinya, menyeringai seolah tak punya salah.

Semua ini pasti hanya akal-akalan Oscar. Tidak ada yang mencelakainya. Dia hanya pura-pura berada di antah berantah. Dia mematikan ponselnya. Jejaknya tak terlihat.

Dia pasti baik-baik saja.

Oscar pasti baik-baik saja.

Elna begitu gugup saat menaiki tangga dan menuju area kerja divisi Account Executive. Dia meletakkan tas, lalu naik lagi ke lantai 3.

Dia berjalan seolah ingin ke toilet. Lambat-lambat. Ketika dekat meja para user interface designer, perempuan itu berhenti sesaat.

Nggak ada.

Oscar tidak ada di sana.

Mungkin dia hanya belum datang. Mungkin dia akan sedikit terlambat. Mungkin dia tidur terlalu larut karena terlalu senang membayangkan wajah penuh kecemasan Elna.

Oscar bakal datang.

Dia akan menyeringai, menjentik dahiku, dan bilang, 'Lo ngekhawatirin gue? Benar, lo masih peduli. Jangan menghindar lagi.'

Oscar pasti baik-baik saja.

***

Nyatanya, berusaha berpegang pada keyakinan yang tidak memiliki apa pun yang meyakinkan begitu sulit. Selama bekerja, Elna sesekali naik ke lantai 3, menuju toiletnya. Namun, Oscar tak kunjung datang. Dia mencoba menghubungi juga, tetapi tetap tak tersambung.

Pada satu titik, Elna mengetik pesan sambil kembali ke mejanya.

Car, lo di mana? Kenapa gue bangun di kosan lo dan lo nggak di sana? Lo baik-baik aja, kan?

Cengkeraman itu terasa menguat. Setiap kali Elna menemukan titik buntu, merasakan semakin jelas bahwa Oscar menghilang, dengan kemungkinan yang tak akan baik, membuat jantung Elna tercengkeram. Makin kuat. Makin kuat.

Ketegangannya ditambahi paru-paru yang melupakan cara bernapas teratur. Napasnya pendek-pendek. Seolah dia berada di ruangan penuh orang dan sulit mendapatkan udara. Sesak. Cengkeraman itu makin kuat. Makin kuat.

Sebelum mencapai mejanya, Elna melewati meja para developer dan bertemu pandang dengan Prama.

Prama.

Yang jelas tidak suka pada Oscar.

Dan sepertinya pernah dirugikan.

Elna cepat-cepat menuju mejanya. Selama beberapa minggu ini,dia lebih banyak mengobrol bersama Prama, dibandingkan bersama Oscar. Tentu saja, itu karena Elna menghindari Oscar dan berulang kali menolak diajak bicara. Namun, itu juga karena Prama merupakan teman yang menyenangkan.

Lelaki itu asyik diajak diskusi dan menceritakan banyak hal yang perlu diketahui Elna tentang Fraweb Indonesia. Sebetulnya, termasuk hal yang tidak perlu juga, seperti kisah-kisah lucu hingga cerita horor Fraweb. Prama juga terbuka soal kehidupan pribadinya. Dia sering mengisahkan adik serta kakaknya. Kelihatan memang dekat dengan keluarga.

Bersama Prama, Elna merasa nyaman.

Dan jelas, memikirkan bahwa Prama yang melakukan hal buruk pada Oscar, bahwa Prama satu-satunya yang tahu di mana Oscar, bahwa Prama yang bisa saja mencederai Oscar separah yang bisa dibayangkan Elna dengan nyeri....

Itu terasa bukan kemungkinan.

Sosok Prama tidak pas melakukan hal-hal itu.

Elna menolaknya. Setengah bagian dirinya menolak hal itu.

Setengah lagi, masih berpijak pada logika. Tentu saja bukan tidak mungkin Prama melakukan itu.

***

"Elna."

Elna agak kaget menerima tepukan di bahu. Dia tadi menatapi layar komputer kantor, tetapi pikirannya sudah meninggalkan dokumen tersebut beberapa menit lalu. Dia melihat Veve sudah berdiri dan beberapa orang-orang di meja lain juga sudah keluar kursi. Waktu istirahat, rupanya.

"Gue sama Audrey pengin cari makan di luar. Mau ikut?" ajak Veve.

Elna sedang malas keluar karena dia sedang tidak bisa berjalan agak lama. Karena dia sedang sedikit-sedikit melamun. Sedikit-sedikit tenggelam dalam pemikirannya.

"Nggak, deh," sahut Elna.

Audrey yang baru turun dari atas, melambai pada Veve dan Elna. Mereka turun bersama dan berpisah di pintu depan. Elna menuju kafetaria Fraweb, sementara dua temannya ke luar. Tempat makan kantor tidak menutup diri dari kantor lain. Satpam tidak mencegah orang luar ke sana. Satpam hanya mengamankan pintu depan Fraweb dan mengawasi orang yang akan masuk. Meskipun banyak tim Fraweb yang mencari makan di luar, suasana kafetarianya tetap ramai.

Elna merasa nyaman-nyaman saja duduk sendiri karena tak hanya dirinya yang kini makan sendiri. Dia memesan nasi ayam, terdekat dari tempat kosong yang dipilihnya. Dia mengeluarkan ponsel, tapi urung melihat-lihat.

Prama melambai dan berjalan ke arahnya.

"Hai," sapa Elna agak tak enak hati. Tentu saja Prama masuk salah satu orang yang dia curigai. Namun, itu terasa tak benar.

"Sesuatu mengganggu pikiran lo?"

Apakah tindak-tindakku sejelas itu? Ataukah Prama pintar membaca orang? Atau ... Prama tahu?

Tidak ada ruginya mengetes lelaki itu. Elna akan memberitahu dan berusaha menilai reaksinya. Jika dia bersalah, Elna akan tahu. Jika dia tidak bersalah, dia bisa bantu.

"Oscar hilang," tes Elna.

Mulut Prama terbuka, tidak terlalu besar, tidak terlalu kecil. Respons kagetnya tidak terlalu cepat, tidak terlalu lambat.

"Dia nggak ada dan ponselnya nggak bisa dihubungi, Prama," cetus Elna lagi saat melihat Prama seperti belum memahaminya.

"Mungkin ... sakit? Jadi nggak masuk kantor?"

"Bukan soal nggak masuk kantor," kata Elna cepat, tapi tidak memberitahukan tentang dia yang terbangun di kamar Oscar, tak mengingat apa-apa, dan terkunci.

"Mungkin ... dia pura-pura? Lo tahu, kan? Well, gue tahu dia kayaknya punya masa lalu dengan lo. Dan kelihatannya lo keberatan mengungkit itu. Dan mungkin aja dia ingin menarik perhatian lo."

"Dengan membuat posisi gue dalam situasi aneh juga? Dengan mengunci gue dan bikin gue ketakutan?" Elna menggeleng. "Dia bukan orang seperti itu."

"Mengunci lo?" Sesuatu seperti rasa marah atau cemas melintas di mata cerah Prama. Memiliki mata seperti itu membuat Elna bertanya-tanya mengenai sorot yang dia lihat. Apakah ada kemungkinan sorot tersebut tidak tulus karena kecerahan mentari matanya masih terlihat. "Bisa lo ceritakan lebih jelas, Elna?"

"Nggak," sahut Elna. "Belum."

Tangan Prama bergerak ke tengkuk, frustrasi. Namun, ya, matanya masih cerah.

Elna mengetukkan pelan jemari ke meja kafetaria. Dirinya yang kehilangan potongan ingatan juga membuatnya cemas. Apa yang dia lakukan? []

[URBAN THRILLER] Jacq - Every Wrong Thing (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang