A Thing Over Call

604 67 32
                                    

September 2016

Satu minggu sebelumnya

Mendengar hal tersebut bukan hal mudah, tentu saja. Orang tua Elna sedang mengunjungi kosannya di Tubagus Ismail, waktu itu. Mereka mengobrol di ruang tamu yang kosong dan sungguh kebetulan, sangat disayangkan, Elna keluar dari kamar dan mendengar pembicaraan itu.

Jika bisa, jika tahu, Elna akan urung keluar kamar. Elna akan lebih lama mengurusi ponselnya yang butuh dicas. Tentu, tak butuh waktu lama untuk itu. Jadi, sebaiknya Elna melakukan hal lain. Membereskan meja di kamarnya, misalnya. Atau, merapikan pakaian kering yang belum sempat dia masukkan lemari.

Tapi, Elna tidak melakukannya.

Tanpa tahu apa yang sedang berlangsung, Elna keluar kamar dan menuju ruang tamu.

"Udah saatnya Glenna tahu?"

"Nggak. Belum."

"Kalau kita menundanya, bukankah dia akan lebih...."

"Dia udah dewasa. Dia bisa menerimanya."

"Tapi...."

"Kita udah membicarakan ini. Kita udah menahan ini terlalu lama, demi dia. Tahun ini, dia siap."

"Ya. Dia udah bisa memilih akan tinggal bersama siapa."

"Dia mungkin akan bekerja di Bandung. Jadi, siapa pun yang dipilihnya, tidak berarti dia benar-benar tinggal bersama salah satu dari kita."

Elna duduk bersandar di puncak tangga, menyembunyikan diri. Suara orang tuanya di lantai satu tadi jelas terdengar. Pembicaraan itu tidak berlanjut, jadi Elna mengintip. Dia melihat ibunya tersenyum sedih pada ayahnya.

Sejak kapan?

Sejak kapan mereka ingin berpisah?

Sejak kapan mereka memastikan keputusan itu?

Sejak kapan masalah mereka begitu besar?

Elna kembali ke kamar, tahu dia perlu menghubungi seseorang. Dia tidak bisa membayangkan menceritakan hal ini pada teman lain. Ya, mereka berteman. Namun, Elna tidak merasa nyaman membicarakan soal keluarganya.

Hanya satu orang yang ingin dia hubungi.

Hanya satu orang yang kepadanya dia ingin bercerita.

***

Elna sudah mengirimkan pesan pada Oscar. Dia ingin membicarakan masalahnya, tetapi tidak nyaman bila tidak bertemu langsung. Oscar mengajaknya jalan bersama dan Elna mengusulkan Tahura Djuanda.

Orang tuanya sudah kembali ke Jakarta, tanpa bicara mengenai hal yang tak sengaja dia dengar. Jadi, mereka memutuskan dia belum perlu diberi tahu.

Dia jadi memikirkan bagaimana bila orang tuanya bicara langsung padanya, bukannya dia curi dengar. Apakah kadar keterkejutannya akan berbeda? Dan yang terpenting, apakah rasa sedihnya akan berbeda?

Itu tidak penting. Elna membatin sambil mengambil keresek berlabel namanya dari lemari dapur kosan. Faktanya akan tetap sama. Orang tuanya tetap dalam keadaan ingin berpisah. Elna mengambil snack egg drops dan membawanya ke ruang duduk di tengah kosan. Beberapa perempuan penghuni lain sedang menonton acara Ellen di televisi. Elna duduk di tempat yang tersisa di salah satu sofa.

"Mau?" Dia menyodorkan bungkusan makanan ringan itu ke teman di sebelahnya. Tentu, bungkusan itu berkeliling dari satu tangan ke tangan lain. Sembari menunggu egg drops kembali padanya, dia membuka ponsel. Ada pesan dari Oscar.

Bisa aku telepon kamu sekarang?

Ya, balas Elna sambil berjalan ke ruang tamu yang hampir selalu kosong. Elna sedang memikirkan apa yang ingin dikatakan lelaki itu, ketika ada panggilan masuk.

"Halo," kata Elna.

"Hai. Na." Elna merasakan cara bicara Oscar berbeda dari biasanya. Lebih lambat. Tersendat.

Ini tentang apa?

"Ada yang harus aku bilang ke kamu, Na," Elna mendengar Oscar menarik napas, "sebelum kita jalan bareng nanti."

"Ya?" balas Elna pelan. Dia tahu. Dia tak akan menyukai ini.

***

Elna mengunyah egg drops-nya dalam diam. Dia melihat ke televisi, di mana Kristen Bell sedang menjadi Anna dan Ellen menjadi Dory. Teman-temannya tertawa mendengar percakapan lucu dua tokoh tersebut, tetapi Elna diam saja. Dia tidak mendengarkan. Pikirannya dipenuhi percakapan lain.

Ucapan Oscar di telepon tadi.

"Aku," Oscar menarik napas, "punya orang lain."

"Bukan 'punya'," ralat Oscar, "tapi, benar, ada orang lain, Na."

"Ini sudah berlangsung lama."

"Aku berada dalam open relationship."

"Maaf."

"Aku nggak bilang lebih awal."

"Aku ingin dekat denganmu, Na."

"Kamu perlu tahu."

"Maaf."

"Na? Apa kamu baik-baik aja?"

"Na?"

Tentu saja. Tentu saja. Tentu saja Elna tidak baik-baik saja. Ada seseorang yang lain. Yang telah lebih dulu bersama Oscar. Oscar menyukai orang lain. Dan, Oscar menyukai Elna. Dan, Oscar ingin dekat dengannya.

Open relationship adalah hal yang baru Elna temui. Itu berarti bisa menjalin hubungan dekat dengan siapa saja. Bisa bersama lebih dari satu orang.

"Aku hanya kaget," jawab Elna tadi.

Kaget apanya.

Elna menggigit bibir. Dia memberikan bungkus egg drops yang masih berisike teman di sebelahnya. Lalu, dia naik ke kamar.

Kaget apanya.

Elna meraih boneka beruang di kasur, merengkuhnya dan berguling.

Kaget apanya.

Air mata mulai menuruni pipinya. []

[URBAN THRILLER] Jacq - Every Wrong Thing (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang