Maret 2018
Prama dan Elna tiba di kantor Fraweb. Melihat gedung kantor di depan mata, Elna jadi merasa harus bekerja. Dia tak bisa langsung ke kantor polisi.
Mereka naik ke lantai dua dan deretan meja yang sebagian masih kosong membuatnya mengingat kembali Oscar yang telah tidak masuk kerja berhari-hari. Dia kembali terdesak.
"Prama."
"Kenapa?"
"Oscar...." Tahu-tahu tubuh Elna lunglai. Dia merasakan tangan Prama di lengannya, menahannya jatuh. Untuk sesaat, Elna kesulitan menemukan tenaga agar bisa berdiri tegak kembali. Sesaat, dia bergantung pada Prama.
"Oscar kenapa, Elna?"
"Gue," Elna merasa pusing, "harus ke kantor polisi." Dia mulai bergerak, tapi sedikit limbung.
"Lo belum makan?" Prama tidak membahas soal Oscar lagi. "Pusing?" tanyanya kemudian. Gerak-gerik Elna mungkin saja seperti orang sakit. Dia baru ingat kemarin tidak makan besar, hanya mencemil biskuit yang ada di apartemen. Dia juga terjaga semalaman membuka-buka ponsel Oscar, termasuk membuka kembali pintu-pintu di memorinya.
Terkadang, bila makan tak benar ditambah tidur tak betul, Elna kerap merasa pusing berat. Kepalanya nyut-nyutan serta pandangannya berbayang.
Prama kembali memegangi sikunya menjaga Elna berdiri baik. "Biasa makan obat apa?"
Elna menggeleng. "Gue pakai kayu putih aja." Dia perlu sedikit usaha untuk meloloskan diri dari Prama. Dia berjalan ke mejanya, tapi mesti pelan-pelan. Sesekali dia memejamkan mata, berusaha menghapus sementara pandangannya yang memusingkan.
"Sini." Prama menggenggam tangan Elna, menemaninya ke meja.
Setelah mendapatkan botol kayu putih kecil yang dia bawa ke mana-mana, Elna beranjak lagi.
"Mau ke mana?" tanya Prama. Elna terlalu pusing hingga hilang keinginan buat menjawab. "Sini," kata lelaki itu lagi. Dia menuntun Elna menuruni tangga, lalu masuk kantin. "Aku pesanin makanan, ya."
Perempuan itu hanya bisa mengangguk. Sepeninggal Prama, dia memakai minyak kayu putih pada kedua pelipisnya. Dia bahkan tidak tahu Prama memesankan makanan apa. Pusing masih terasa, tapi setelah istirahat biasanya dia berangsur membaik.
Dia butuh istirahat.
Dijulurkannya lengan menyeberangi meja, lalu meletakkan kepala di sana. Matanya memejam dan dalam gelap seketika wajah Oscar membuatnya tersentak. Kepalanya jadi makin pusing. Dia mencari Prama, tapi kemudian terpaku. Kepalanya berdenyut-denyut. Matanya memicing, berharap bisa melihat lebih jelas, tapi pusingnya makin menjadi.
Dia kembali memejam dan merebahkan kepala.
Tadi. Dia seperti melihat orang yang familier.
***
"Glenna." Elna menoleh melihat manajernya di account executive Fraweb. "Kita meeting sekarang, ya," lanjut Tasha.
Perempuan yang lebih tua beberapa tahun darinya itu melewati mejanya, menuju meja divisi lain, dan sepertinya menyampaikan hal sama ke beberapa orang lainnya. Mungkin baginya saat ini lebih cepat bila memberitahukan langsung.
Elna beranjak. Pusingnya telah agak hilang. Dia mengikuti Tasha yang sudah menuju salah satu ruang rapat di atas. Dia pernah memakai ruangan ini untuk meeting proyek Sukualas. Bersama Oscar.
Pada akhirnya, Elna tidak bisa ke kantor polisi segera. Dia harap, laporannya via telepon tempo hari sudah mulai diproses.
"Jadi, ada proyek urgent yang baru masuk. Perlu selesai cepat. Rinciannya nanti saya infokan lagi. Untuk sekarang, saya jelaskan garis besarnya."
Elna berusaha mendengarkan dengan baik, juga mencatat hal yang perlu jadi perhatiannya kemudian. Hari ini, dia harus mendorong diri bekerja sambil berharap pusingnya segera hilang secara penuh.
***
Seharian ini, Elna berusaha bekerja sebaik mungkin. Dia mengurusi proyek yang sedang berjalan, juga proyek baru. Hingga waktu pulang kerja datang, Prama menjemput ke mejanya.
"Mau ke kantor polisi?"
Elna mengangguk.
"Gue temani," lanjut Prama. "Makan malam dulu. Nanti tumbang lagi."
Begitulah. Elna naik motor Prama ke daerah Gunung Batu dan makan di salah satu tenda pinggir jalan. Prama berdiri setelah mereka sama-sama memesan ayam penyet. "Gue cari toilet dulu, ya, Elna."
Elna mengangguk. Dia melihat Prama menyeberang, dengan sedikit penerangan lampu jalan, ke arah supermarket. Dia melihat arah sebaliknya, dan mengernyit. Dia bangkit, keluar dari tenda makan, berjalan mengarah pada orang yang tampak familier itu.
Familier, tapi dia tidak yakin.
Namun, dia kehilangan jejak. Gelap malam dan jarak antara mereka sungguh tidak membantu.
Elna berbalik kembali ke tenda, tapi langkahnya terhenti paksa.
Dia merasa kepalanya dihantam dengan kuat. Sejenak, dia pikir itu serangan pusing yang kembali. Namun, dalam pandangan yang berat, dia menyadari ini terlalu sakit, sangat sakit, bila sekadar karena kepala nyut-nyutan.
Kepalanya dipukul oleh entah benda tumpul apa. Barangkali balok kayu.
Elna tersungkur.
Kesadarannya hampir hilang.
Siapa.... Dia mencoba berbalik.
Dia menangkap sebuah sosok, tapi dia kesulitan melihat jelas.
Kemudian, kegelapan total menyerangnya.[]
**********
AUTHOR'S NOTE
Halo, teman-teman!
Terima kasih banyak sudah mengikuti kisah Every Wrong Thing di Wattpad. Vote serta komen dari kalian sangat berarti! Bikin senang dan semangat melanjutkan kisah Elna yang mencari-cari Oscar. Hehe.
Bab ini adalah yang terakhir di sini. Untuk selanjutnya, mari kita tunggu Every Wrong Thing diterbitkan penerbit Noura, yay! Tentu akan ada terusannya di versi buku cetak. Serta mungkin ada tambahan cerita dan beberapa perbedaan lain. Semoga prosesnya lancar, ya. Amin.
Cheers,
Jacq
KAMU SEDANG MEMBACA
[URBAN THRILLER] Jacq - Every Wrong Thing (SUDAH TERBIT)
Mystère / ThrillerElna mendadak bangun di ruangan Oscar, lelaki yang dahulu disukainya. Ruangan gelap, sunyi, dan semua pintu terkunci. Elna tidak ingat, bagaimana dia bisa sampai di sana. Apa yang sebenarnya terjadi?