Part I

17K 502 9
                                    

Yasmin Humaira, 21 tahun.

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 8.00 WIB, aku hanya memiliki 45 menit agar tidak terlambat. Angkutan umum yang ku naiki masih berhenti di persimpangan lampu merah, belum lagi suara bising kendaraan bermotor yang saling membunyikan klaksonnya. Sudah tak asing lagi melihat situasi seperti ini. Hidup di ibukota memang tak seindah yang dipikirkan. Hampir setiap hari harus berhadapan dengan kemacetan dan polusi udara.  Sesekali aku melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku, sepertinya hari ini aku akan melepas julukan mahasiswi teladan yang tidak pernah telat. Seharusnya aku sudah berada di kampus sekarang, tapi karena motor matic-ku mogok, terpaksa aku harus mengantarkannya ke bengkel. Itulah mengapa aku berada di angkutan umum saat ini.

Hampir satu jam aku berada di angkutan umum, dan sekarang kaki ku baru menginjak pelantaran kampus. Aku harus berlari menuju ruangan dosen yang berada di lantai 3 karena aku sudah sangat terlambat. Hm, tidak. Ini bukan terlambat namanya. Semoga saja dosen bimbinganku masih di ruangannya. Aku mengetuk pintu ruangan itu dan mengucapkan salam. Hufh. Untunglah dosen pembimbingku masih ada di ruangannya. Aku pun masuk ke dalam ruangan itu dengan hati-hati.

"Saya sudah menunggu dari tadi, dan sekarang anda terlambat. Saya masih ada urusan lain, masalah bimbingan kita undur saja karena saya akan keluar kota untuk beberapa hari." Ucap pria paru baya itu sembari beranjak keluar ruangan.

Tepat sekali! Baru saja aku datang, dosen itu malah mengundur jadwal bimbinganku. Okay! Pagi yang indah, Yasmin!

Aku Yasmin Humaira, Mahasiswi semester akhir jurusan Manajemen Bisnis salah satu Universitas Negeri di Jakarta. Orang tua ku tinggal di Bandung. Aku anak pertama dari dua bersaudara. Adik ku Rena, tahun ini ia akan menjadi mahasiswa baru. Bunda ku telah tiada saat aku masih sekolah. Ayahku seorang tentara, tapi ayah tidak pernah mendidik anak gadisnya dengan didikan ala-ala tentara, tapi kami di didik dengan cara Ayah sendiri. Menjadi anak yang disiplin dan mandiri, itulah yang Ayah ajarkan kepada kami.

"Ga jadi bimbingan?" tanya salah seorang temanku.

Aku menghela nafas dengan berat dan menggelengkan kepala.

"Kenapa?" tanyanya lagi.

"Telat, motor mogok," jawabku lesu.

Ghina. Dia adalah teman seperjuanganku sekaligus sahabatku semenjak duduk di bangku perkuliahan. Dia adalah orang yang paling mengerti bagaimana aku setelah orang tuaku. Ghina asli orang Jakarta. Tak jarang pula ia mengajakku untuk menginap di rumahnya. Maklum, dia anak tunggal. Ghina hanya tinggal bersama Ibunya, Ayahnya meninggal karena kecelakaan saat Ghina berumur 17 tahun.

Jarak rumahku dari kampus lumayan jauh. Tidak mungkin aku pulang tanpa membawa apa-apa. Oh ya! Di Jakarta, aku memiliki.. Uh maksudku keluargaku memiliki sebuah Coffe Shop sederhana. Coffe Shop ini dulu milik kakek ku, setelah kakek tiada, kakek mewarisinya kepada Bunda. Semenjak Bunda pergi, Bunda mempercayakan aku untuk mengelola Coffe Shop ini.

"Ghin, ngopi yuk!" ajakku.

"Yaahhh.. Maaf, Yas. Hari ini aku ada janji sama Ibu, Maaf yaah"

Berhubung Ghina tidak bisa menemaniku, akhirnya aku memutuskan untuk pergi sendiri. Lagi-lagi aku naik angkutan umum. Semoga saja macetnya berkurang.

Alhamdulillah. Hanya membutuhkan waktu 15 menit akhirnya aku sampai di halte. Doa ku terkabul. Aku harus menyebrang, karena tempat yang menjadi tujuanku berada di seberang halte ini. Rain's Coffe, begitulah namanya. Aku juga tidak tahu sejarah nama tempat ini, karena aku tidak pernah menanyakannya kepada Bunda. Aku melangkahkan kaki masuk ke dalam, hampir seluruh meja terisi oleh pelanggan. Sudah seminggu aku tidak mengunjungi tempat ternyaman ini, maklum saja mahasiswi semester akhir lumayan sibuk, hehe.

"Gimana? Semua baik-baik aja kan?," tanyaku kepada salah satu pegawai yang bernama Santi.

"Alhamdulillah, semua baik, Mba." Ujarnya dengan senyuman khasnya.

Aku tersenyum mendengar jawaban dari Santi. Setelahnya, santi berpamitan kepadaku karena ia harus melayani pelanggan yang baru saja datang. Tak lama setelah itu, Santi kembali, ia membuatkan pesanan pelanggan tadi.

"Biar saya aja yang anterin, San." 

"Mba Yasmin baru aja sampai, sebaiknya Mba istirahat aja dulu," ucap Santi. Aku tahu Santi merasa tidak enak jika aku melakukan pekerjaannya. Tapi tidak ada salahnya, aku hanya ingin mengantarkan dua Coffe Latte ini kepada pelanggan.

"Udah sini saya aja" Akupun mengambil nampan yang berisi dua Coffe Latte itu dan membawanya ke pelanggan tadi.

Saat aku hampir sampai di meja pelanggan itu tiba-tiba saja ujung gamisku tersangkut dan aku terjatuh beserta dua Coffe Latte yang aku bawakan tadi. Lebih parahnya, Coffe Latte itu jatuh tepat di baju lelaki yang notabennya pelanggan tadi. Aku berdiri memperbaiki gamisku yang tersangkut, untung saja tidak robek. Aku minta maaf kepada lelaki itu. Bajunya kotor terkena tumpahan Coffe. Aku benar-benar merasa bersalah.

"S..ssayaa bener-bener minta maaf. Saya akan buat yang baru. Saya minta maaf, Mas" Aku merapatkan kedua tanganku dengan wajah yang merasa bersalah. Tanpa bersuara sedikitpun lelaki itu hanya menatapku dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Mungkin dia sangat marah. Lalu lelaki itu dan temannya berlalu begitu saja. Aku mengejarnya, namun mereka sudah lebih dulu masuk ke dalam mobil dan pergi begitu saja.

Aku kembali masuk ke dalam, aku minta maaf kepada Santi. Karena ini semua memang kesalahanku. Untung saja Santi dan pegawai yang lain memaklumi ku.

"San, kira-kira orang tadi marah ga ya?" Pertanyaan macam apa ini. Kalau saja aku yang berada di posisi lelaki tadi, pasti aku akan marah.

"Semoga aja engga ya Mba," ucap Santi.

Aku menghela nafas berat. Aku pun berjalan menuju ruangan yang memang disediakan untuk ku. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 5.00 sore. Ternyata aku ketiduran di ruangan ini. Aku bergegas mengambil wudhu dan melaksanakan sholat Ashar. Setelah selesai sholat, aku memutuskan untuk pulang, karena besok aku harus ke kampus seperti biasanya. 

Argghh aku lupa! Motorku masih di bengkel.

"San, saya boleh minta tolong ngga?" ucapku menghampiri Santi

"Boleh Mba, tolong apa?" tanyanya sembari menyiapkan beberapa Coffe untuk pelanggan.

"Nanti bisa anterin saya ke bengkel? Motor saya disana"

"Iyaa Mba bisa kok"

Aku lega akhirnya Santi mau mengantarkanku. Tapi aku harus menunggu sampai Santi menyelesaikan tugasnya.

Tepat pukul 9.30 malam aku sampai di rumah. Aku melepaskan jilbab yang menutupi rambutku. Aku pun bergegas membersihkan kuman-kuman yang menempel di tubuhku. Setelah semua selesai, akupun merebahkan tubuhku di atas kasur empuk kesayanganku. Aku memandangi langit-langit kamar, ingatanku kembali saat kejadian siang tadi. Bagaimana bisa aku seceroboh itu.

Assalamu'alaikum. Readers!! I'm backkk!! Kali ini author lagi buat cerita yg pastinyaa bikin baper. Author sangat menanti vote dan comment dari kaliaaan. Ikutin terus yaaa ceritanyaaa!

Salam,
Author🌸

Izinkan Aku Bahagia BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang