17. Selesai? (Lava)

12 0 0
                                    

Semilir angin malam menerpa wajah Lava yang tengah duduk menyendiri di teras rumahnya. Sesekali terdengar suara helaan napas lelah yang keluar dari bibirnya.

"Lo ngapain? Meratapi nasib?" Lava hanya berdecak mendengar suara yang baginya menyebalkan.

"Ngapain Lo balik?" Tanya Lava sambil menatap tajam seseorang cowok yang mungkin lebih tua dari dirinya beberapa tahun.

"Ngapa sih emang? Nggak kangen apa Lo sama Abang sendiri?" Cowok itu duduk di samping Lava tanpa menghiraukan tatapan mengerikan yang di berikan oleh Lava.

"Najis. Sebelum Lo selesaikan masalah yang udah lo buat gue nggak akan mau anggap Lo Abang gue." Lava menyulut rokoknya lalu menghisapnya.

Ya, rasanya malas sekali harus berpura-pura tidak terjadi apa-apa antara dirinya dengan Nugo, Abang satu-satunya itu.

Mengingat betapa tidak bertanggung jawabnya Nugo terhadap kejadian 3 tahun silam. Pura-pura tidak terlibat, lalu melarikan diri. Kalau saja Nugo bukan Abangnya pasti sudah Lava tonjok ribuan kali.

"Tugas gue waktu itu cuma nganter. Udah untung gue tungguin kan? Semua ini udah jelas salah Danil, kenapa masih bawa-bawa gue??"

"Anjir! Lo bener-bener nggak ada ngerasa bersalah sedikitpun ya? Kalau aja Lo nolak terus mulut lo tuh nggak ember! Semua ini nggak bakal kejadian!" Lava berdiri dari duduknya dengan marah.

Sedangkan Nugo hanya tertunduk lesu. Tangannya saling meremas menahan kesal.

"Gue mana tahu kalau Aca bakal di tabrak sama tuh mobil. Gue juga panik dan takut, Va! Emang apa yang bisa gue lakuin waktu itu? Aca yang emosi, Danil yang juga nggak mau kalah."

Nugo mengusap rambutnya kasar sedangkan Lava mengepalkan erat tangannya.

Keheningan sejenak itu terpecah saat ponsel yang sedari tadi di dalam saku Lava berbunyi.

"Halo?"

"Iya. Gue ke sana sekarang." Lava mematikan ponselnya dan kembali menyimpannya di saku celananya.

Setelah menerima panggilan telepon itu Lava langsung bergegas pergi dengan motor nya meninggalkan Nugo yang masih terdiam bisu.

****

"Hahahaha. Emang apa sih yang Lo bisa Bim? Selain caper sana-sini sama cewek?" Suara menggelegar milik Haidar berhasil membuat Bimo mengumpat.

"Suara gue merdu. Pinter main musik. Pandai berkebun. Anak berbakti. Kesayangan orang tua. Masih banyak kelebihan dan bisanya gue mah."

"Najis kesayangan orang tua. Lo mah anak tak di anggap! Orang sering di usir dari rumah!" Kali ini suara Tio yang meledek Bimo.

Bimo hanya memutar kedua bola matanya malas menanggapi ocehan mereka.

"Nggak ada yang tanding nih malam ini?"

"Ada. Tapi nanti jam 12 malem. Lagian sekarang baru aja jam 7 bro."

"Jam 7? Emang iya? Perasaan udah jam 9 gue liat di hp. Pantes Marina kelihatan lebih sepi dari biasanya, apalagi ini kan malam Senin." Bimo bergumam memandangi sekelilingnya yang hanya ada beberapa motor terparkir. Jalanan juga tampak sepi. Ya meskipun selalu sepi, karena mengingat tempat yang sekarang mereka tempati adalah lahan kosong yang berada di pinggir jalan beraspal yang tak terlalu lebar mengarah ke hutan. Jalanan yang mereka sebut Marina. Tempat balapan liar yang sering di adakan.

"Woy!" Suara seruan itu terdengar diiringi dengan suara motor yang mendekat ke arah mereka.

"Woy, Va. Telat Lo!" Ucap Tio saat Lava turun dari motornya dan berjalan menghampiri mereka.

LAVARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang