Bab 6

6 2 0
                                    

Suara ini...

Abby mengangkat kepalanya dan matanya berhenti tepat di mata pelanggan di depannya ini, "Abby? Kamu kerja disini?" Yap, itu Angkasa. Pacar abadi Abby kalau kata Azza.

"Ta-tadi pesan apa?" Abby mengalihkan pembicaraan dan kepalanya kembali menunduk.

"Abby, kalo lagi bicara sama orang ga sopan nunduk" Abby tetap menundukan kepalanya dan kembali bertanya, "Mau pesan apa?"

"Hm, pesan waffle chocolate sama ice chocolate" Masih suka coklat ternyata dia, batin Abby.

"Tunggu sebentar, nanti akan diantar sama pegawai" dan Abby memanggil pelanggan selanjutnya. Terpaksa, Angkasa menjauh dari sana dan duduk di dekat jendela. Matanya masih menatap pada Abby yang tersenyum pada pelanggan yang memesan.

Kenapa kamu ga senyum ke aku, By. Angkasa tersenyum getir. Ia membuka handphonenya dan membuka aplikasi line.

Angkasa Zidni : Abby, inget kan pesan aku waktu itu. Kalo kita ketemu, kita harus bicara😊

Abby merasakan getaran handphonenya yang berada di dalam saku celananya. Ia melirik ke depan dan ternyata pelanggan sudah sepi, ia mengambil handphonenya dan terlihat sebuah pesan line dari Angkasa.

Perasaan udah diblok line dia, kok masih bisa dichat sih

Abby hanya membaca pesannya tanpa membalas, ia merasa sangat kesal hari ini. Bagaimana ia bisa bertemu dengan Angkasa, apa takdir ingin mempermainkannga lagi?

Abby melihat ke jam tangan yang berada di pergelangan tangannya, waktu sudah menunjukan pukul 7 malam. Ia barusan menunaikan sholat maghribnya yang terlambat. Ia turun ke bawah karena letak musholanya berada di lantai atas. Abby sengaja membangun mushola disana agar pengunjung muslim dapat menunaikan sholat.

Ia turun kebawah dan melihat kesekeliling, jreng. Angkasa masih setia duduk disana, ternyata ia emang benar-benar menunggunya. Dilihatnya pengunjung juga tidak terlalu ramai, dengan malas kakinya melangkah mendekati meja Angkasa. Angkasa mendongakan kepalanya saat merasaka ada seseorang berdiri di depannya, ia tersenyum manis saat melihat Abby berdiri disana.

Ga usah senyum bisa ga sih, bikin orang diabet aja ngeliatnya

Abby berdeham sebentar, "Ada apa?" Tanyanya singkat, padat, jelas. Angkasa juga berdeham menetralkan detak jantungnya, "Duduk dulu By, biar enak ngobrolnya"

Dengan malas, Abby menarik bangku di depan Angkasa, dan menduduki dirinya disana. "Ada apa?" Tanya Abby kembali.

"Apa kabar? Udah lama ga ketemu" Tanya Angkasa dan diakhiri dengan tertawa canggung, Abby mengernyitkan dahinya.

Halah pake nanya-nanya lagi, gedek gue liatnya

"Langsung aja ga usah bertele-tele. Banyak kerjaan gue" Abby sudah mengganti panggilannya dari aku-kamu dengan lo-gue.

"Abby, maafin aku untuk semuanya. Aku tau aku emang salah, ngegantungin kamu dengan status kita ini...." Belum sempat Angkasa menyelesaikan kalimatnya, sudah dipotong duluan oleh Abby, "Mulai detik ini kita resmi putus. Kelar kan?" Walaupun Abby mengatakan kalimat itu, hatinya masih tidak ikhlas melepaskan Angkasa.

Angkasa yang awalnya menatap teduh, kini berubah dengan ada kilatan mata yang terlihat jelas ditambah dengan rahangnya mengeras, "Apa-apaan Abby, kita ga putus. Putus itu untuk dua orang yang sudah menyepakati antara satu sama lain. Sedangkan kita, hanya kamu yang mengucapkan itu, dan aku nggak. Jadi ini nggak bisa dikatakan putus"

"Maksud lo apa sih? Seenaknya bilang gitu. Lo ga mikirin perasaan gue selama ini? Kecewa gue sama lo Angkasa, dari dulu gue emang pengen putus sama lo biar bisa lepas dari ikatan ga jelas ini" Abby sangat emosi sampai-sampai air matanya menetes. Semua orang juga begitu kalau sudah tidak dapat menahan emosi.

"Abby, please dengerin aku dulu. Kamu ga bisa mutusin aku gini aja, aku masih sayang sama kamu, aku udah cariin kamu kemana-mana tapi ga pernah ketemu sejak kita wisuda. Dan ternyata selama ini, aku sama kamu berada di kota yang sama. Dan sekarang, aku mau ngejelasin semuanya sama kamu By, please dengerin aku dulu"

Abby sudah tidak kuat mendengar kalimat yang terucap oleh Angkasa, ia segera berlari ke lantai atas mengambil tas nya dan kembali turun ke parkiran tanpa menghiraukan panggilan Angkasa, "Abby dengerin dulu, By, Abby!" Angkasa meneriaki nama Abby sampai seluruh mata di kafe menoleh ke arahnya. Ia tidak peduli dengan tatapan itu, ia hanya peduli pada Abby, ya Abbynya. Angkasa takut terjadi apa-apa dengan Abby karena keadaanya lagi tidak benar-benar baik untuk mengendarai mobilnya.

Abby mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang, tentu ia masih sangat menyayangin nyawanya. Ia membelokan mobilnya ke arah apartmennya. Selama ini, Abby membeli apartmen dari hasil kafenya, tanpa diketahui oleh kedua orang tuanya, kecuali sahabatnya, Azza.

Sesampai di dalam apartmennya, Abby tidak memberi kabar pada orang tuanya karena handphonenya mati. Abby berdiri di depan balkon, ia menghirup udara malam yang terasa dingin sampai terasa ke tulangnya. Tapi, Abby tetap bediri disana. Tak terasa air matanya kembali turun. Ingatannya kembali pada kejadian tadi saat bertemu dengan Angkasa.

"Abby, please dengerin aku dulu. Kamu ga bisa mutusin aku gini aja, aku masih sayang sama kamu, aku udah cariin kamu kemana-mana tapi ga pernah ketemu sejak kita wisuda. Dan ternyata selama ini, aku sama kamu berada di kota yang sama. Dan sekarang, aku mau ngejelasin semuanya sama kamu By, please dengerin aku dulu"

Abby sengaja berlari dari Angkasa tanpa mendengari penjelasan dari lelaki itu. Saat ini, ia tidak ingin mendengar penjelasan yang keluar dari bibir Angkasa. Rasanya sangat menyesakkan, berkali-kali Abby menghirup udara agar rongga dadanya tidak merasakan sesak. Tapi hasilnya nihil, tetap saja rasa itu masih ada. Abby berharap, hubungannya untuk kedepan dapat lebih baik dari ini.

RefinamientoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang