[5]

5.4K 806 12
                                    

"Besok dia ke rumah."

Nina bergidik ketika ia teringat ucapan Mamanya. Gara-gara itu Nina jadi makin penasaran dan juga cemas.

Nina tau gak seharusnya dia mikir gini, apalagi dari sekian banyaknya siswa di sekolah itu, tapi, gimana? Pikirannya keburu ke sana.

"Lo banyak ngelamun hari ini," tegur Joy.

Nina natap Joy sebentar terus beralih ngaduk-ngaduk mie ayamnya. "Adek gue dapat guru privat."

"Oh, ya? Siapa?" Joy tampak biasa saja.

Nina terdiam sejenak. Berhenti mengaduk mie ayamnya dan menatap Joy. "Anak sekolah sebrang."

Joy seketika berhenti ngunyah. Matanya membulat. Ingin ia bertanya "Lo serius?" tapi muka Nina kelewat serius. "Siapa??"

Nina ngegeleng. "Belum tau. Nanti dia ke rumah."

"Kok dia mau ngajar?" Joy meminum es tehnya. Berhenti makan sejenak.

"Mama bilang buat pengalaman dia aja." Nina menatap sekeliling kantin yang ramai lalu mendekatkan duduknya pada Joy. "Gue agak takut kalau itu Ten atau temennya."

"Kenapa malah takut? Harusnya bagus. Apalagi kalau Ten, lo bisa modus buat deket."

Duh, you don't know Joy. I'm so sorry. Batin Nina.

Nina cuma meringis pelan. Ia tidak memberi tau Joy soal kejadian satu bulan yang lalu. Nina harap hanya dirinya, Ten dan Tuhan yang tau. Dan sepertinya memang seperti itu.

Nina mau memberi tau Joy, tapi Nina takut terhadap respon teman dekatnya itu. Karena kalau Joy justru mengatakan bahwa tindakannya adalah hal bodoh, hal itu bisa membuat Nina merasa down.

"Gue jadi penasaran. Tapi nanti siang gue mau jalan sama Daniel buat nyari kado Kakaknya." Joy terlihat sedih. Ia ingin menemani sahabatnya itu.

Nina tersenyum. "Gak papa. Nanti gue kasih tau kok."









***









Ten turun dari motornya sambil menatap rumah dihadapannya. Ten berjalan ke pintu utama sambil menenteng titipan dari Mamanya.

Ten menekan bel rumah tersebut. Menunggu sebentar tapi tidak ada jawaban sama sekali. Rumahnya bahkan tampak sepi.

"Permisi, Tante Ira...." Ten menekan bel lagi.

Jangan-jangan salah rumah. Batin Ten.

Ten buru-buru mengecek hpnya, memastikan alamat yang diberikan Mamanya sama dengan alamat rumah yang didatanginya. Hasilnya sama dan Ten yakin sekali.

Ten mencoba menekan belnya sekali lagi, tapi masih tidak ada jawaban sama sekali. Ten menatap sekeliling rumah itu dan tidak mendapati siapapun.

Ten kembali mengira mungkin sedang berada di luar rumah, seperti makan malam di luar. Karena garasinya tertutup, jadi Ten tidak dapat memastikannya.

Baru saja Ten akan menelpon Mamanya, tiba-tiba saja pintu rumah itu terbuka. Mengagetkan Ten yang nyaris menjatuhkan hpnya.

Dapat Ten lihat, perempuan seumurannya yang membukakan pintu. Perempuan itu terdiam mematung dengan ekspresi terkejut luar biasa yang tidak dapat ditutupinya.

Ten juga terkejut lagi, tapi buru-buru ia hilangkan. Ten justru mengukir senyum manisnya. "Hi, Nina. Ini rumah Tante Ira, kan?"









***









Tadinya, ketika pulang sekolah, ketika Nina melihat motor Ten lewat, tidak ada firasat apapun. Semuanya terjadi normal. Nina benar-benar tidak menyangka orang yang duduk di ruang tamu bersama Mamanya adalah Ten.

Laki-laki yang ia sukai. Yang sebulan lalu terlibat tragedi pengakuannya.

Nina merasa seluruh tubuhnya mati rasa tapi hatinya ditekan kuat ketika Ten berdiri dihadapannya tadi lalu memberikannya sebuah bungkusan.

Sekarang Nina gemetaran di balik sofa, berusaha sembunyi dengan posisi duduk yang sangat tidak nyaman. Baginya yang penting ia bisa bersembunyi. Badannya terlalu lemas untuk ke kamar. Atau lebih tepatnya ia juga ingin berada di sekitar Ten.

"Ngapain, Kak?" Tiba-tiba Papanya datang. Merasa aneh dengan kelakuan putrinya.

"Nonton tv, Pa?" Nina nyengir dengan bodohnya.

"Nontonin iklan?"

Skak.

Nina cuma haha hehe aja setelahnya.

"Duduk yang bener coba. Nanti sakit punggung, nangis-nangis."

Nina haha hehe lagi pas ditegur Papanya, tapi kali ini sambil ngebenerin posisi duduknya.

"Kalau capek mending tidur sana." Kepala Papanya bergerak menunjuk lantai atas.

"Iya, Pa. Bentar lagi."

"Ada calon guru lesnya Jeongin, ya?"

Nina ngangguk. Pengennya calon Abang ipar Jeongin, Pa.

"Papa samperin dulu." Papanya nepuk-nepuk kepala Nina beberapa kali dengan pelan terus jalan ngelewatin Nina.

Bilang iya, Pa, kalau dia ngelamar--buat jadi guru privatnya Jeongin. Batin Nina.

Masih sempatnya ia berpikir demikian.

"Eh, kakak gak sekalian privat juga?"

Duh, Tuhan, ada apa dengan Papaku? Nina meringis malu. Kenapa gak tadi ngomongnya. Harus gitu Papanya teriak?

Itu Ten sama Mama Nina jadi noleh ke ruang tv.

***

 Firecracker • Ten ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang