Kalau dulu undangan dari teman dekat artinya baju seragam gratis, nggak demikian sekarang. Itu memerlukan getaran tangan yang nggak biasa saat membukanya, hati yang dilapang-lapangkan dan poker face yang harus dijaga, agar nggak kabur ke kamar mandi terus sesenggukan.
Sesakit itu memang, rasanya. Meskipun itu teman dekat sendiri. Di sela rasa syukur, pasti ada nyeri.
Terus, lanjut mempertanyakan ke diri sendiri, kapan giliran aku?
Itu kalau teman. Kalau yang akan menikah adalah keluarga sendiri? Sepupu misalnya. Tiada hal lain yang bisa dilakukan selain menata hati biar nggak berubah menjadi zombie gara-gara pertanyaan keramat yang katanya karena 'sayang dan peduli' dari kaum kerabat itu. Kapan nikah jadinya? Kapan nyusul? Calonmu yang mana? Kerja di mana? Semalam berbuat apa?
Huh... hal yang begini membuatku malas menghadiri acara resepsi.
Resepsi pernikahan—lebih buruk lagi kalau di kalangan keluarga besarku sendiri yang memandang gaun berbelahan dada rendah adalah aib—adalah ajang yang seolah dilegalkan untuk menguliti penampilan. Kamu nggak bisa datang dengan modal seadanya kalau nggak mau dicengin: pantesan jomblo sampai sekarang. Atau kalau kamu datang dengan busana yang anti-mainstream, beda sendiri, nggak standar, aneh, apalagi kalau seksi dan menunjukkan kulit terbuka di mana-mana, maka sudah jelas pendapat orang-orang: bukan tipe calon menantu yang bisa dibawa pulang. Tipikal yang nggak bisa mencuci piring dan maunya dilayani seperti ratu. Segera delete perempuan seperti ini dari radar anak lelaki mereka.
Makanya aku nggak pernah berani macam-macam.
Nggak macam-macam saja hilal jodohku belum sejelas Hari Lebaran.
"Mana tongsisnya?" Suara Mona membuyarkan berbagai pikiran yang tengah berkecamuk. "Kan udah gue tulisin di notes! Kok lo lupa sih, Kem!"
"Ya kali, gue ngingetin bawa begituan," balas Kemi. "Udah tahu gue pelupa. Lo pesenin ke gue."
Aku bisa mendengar helaan jengkel dari Mona. Ekspresi gusar karena sesuatu yang sudah ia rencanakan dirusak begitu saja.
"Kita jadi nggak bisa wefie, nih!" keluh Mona lagi.
"Ngapain lo nyewa fotografer kalau kita disuruh foto sendiri!" sambar Kemi.
"Beda tahu! Wefie sama difotoin orang lain!" sambar Mona gerah. "Gue kan bilang, buat wefie! Wefie!"
Aku hanya bisa tersenyum mendengar kelakuan dua sahabatku. Kekasih Kemi, namanya King, malah memijit pelipis. Sementara suami Mona, memasang muka pasrah dan seolah berkata: Ah... sudah bisa. Biarkan saja. Badai pasti berlalu.
"Makanya, lo ngomong perkara begitu sama Lanti atau... hoi Saga!"
Kularikan mataku ke arah teriakan Kemi dan menemukan Saga, rekan kerja dan teman dekatku. Bukan dekat dalam artian bagaimana, tapi murni seperti sahabat senasib sepenanggungan yang bisa berbagi apa saja.
Ah... andai definisi dekat antara aku dan Saga itu melibatkan perasaan cinta, sudah pasti rasa nyeri karena iri ini nggak bakal mengakar sedemikian kuatnya. Sayang... aku nggak cinta sama Saga, begitupun dia.
Saga mendekat. Sesekali mengibas kemejanya yang agak kusut. Mungkin karena terduduki di mobil. Seharusnya kami berada di penerbangan yang sama menuju Padang, tapi di detik terakhir Saga terpaksa menunda keberangkatan karena keponakan kesayangannya sakit.
"Baru nyampe, Ga?" tanyaku.
"Iya, syukur masih sempet. Macet banget dari bandara ke sini."
"Gimana Dion?"
"Udah mendingan, panasnya udah turun. Udah bisa tidur pas gue tinggal."
"Syukurlah," desisku.
Saat ini, Saga adalah manusia favoritku. Kenapa? Karena kondisi Saga datang ke sini sama sepertiku. Tanpa gandengan.
Menemukan orang yang senasib denganmu itu memang kadang sedikit melegakan. Nggak peduli nasib buruk atau apa pun. Paling nggak, kamu ngerasa nggak sendirian jadinya.
"Lo bawa tongsis, Ga?" tanya Mona, membuat Saga melongo.
"Gue ngejar pesawat terus ngebut kesetanan ke sini cuma buat lo tanyain tongsis, Mon?"
"Tuh kan! Kemi sih pelupa! Nggak bisa wefie kan jadinya!"
"Nikahan lo cuma buat wefie doang ya, Mon?" sindir Kemi. Yang disindir balas mendelikkan mata. "Kalau gue sih, biar malamnya bisa kuda-kudaan. Ya nggak, Bang?"
Gara-gara ucapan Kemi, aku menoleh ke arah yang—
"Kata siapa nggak bisa wefie, ckckck, Mona. Sini Abang yang moto."
Lalu duniaku seakan terhisap waktu. Bergerak pelan bagai di-slow motion. Lelaki itu memposisikan dirinya di ujung dan mengangkat ponselnya. Dengan semangat, satu persatu kepala menyembul memenuhi layar. Gemerisik jasnya menyentuh di bagian depan seragamku.
Aku masih terpaku ketika suara itu bicara. "Lanti, geser dikit. Kamu ketutupan Abang."
Aku masih bergeming. Nyaris tak bisa bernapas.
"Kamu di depan Abang, biar kelihatan," ucapnya menggeser badanku yang tiba-tiba menjadi kaku. Lalu kembali ke tempatnya dan... beberapa jepretan mengudara. Di telingaku hanya terdengar gelak tawa dan beberapa kali seruan ganti pose.
Kucoba menarik napas, hanya untuk menyadari bahwa aroma cologne-nya yang lembut memerangkapku dalam beberapa kali jepretan lagi.
"Senyum, Lan," bisiknya. "Kaku amat."
Dengan kurang ajar, mataku malah memejam.
"Ulang! Ulang!"
"Siap, Lan?" Aku mengangguk.
Beberapa jepretan lagi. Sebagian berubah posisi. Hanya aku yang seolah mati langkah dikutuk jadi batu abadi.
"Cukup, Mon?"
Si Adik mengangguk puas. Sang Kakak mengulurkan ponselnya yang langsung dikerumuni. Kemudian dia berlalu, meninggalkan kami semua di panggung acara. Riuh rendah suara mengomentari hasil bidikan barusan.
Kata siapa waktu bisa mengikis perasaan? Setelah sekian lama nggak bertemu, kenapa dia masih saja membuat jantungku tak keruan?
"Lan, napas dulu, Lan. Baper boleh, tapi masa kelihatan banget sih, Lan?"
Note:
Oke, maafkan Lanti. Dia emang baperan *tepok jidat mamah
![](https://img.wattpad.com/cover/142337888-288-k866377.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
REFRAKSI (Stagnasi #3) - Completed
ChickLitKeinginan Rilanti Nansarunai sederhana. Sesederhana novel romantis yang ia baca. Jatuh cinta pada orang yang juga mencintainya. Menikah. Bahagia. Habis perkara. Dari semua cerita yang ia baca, Lanti selalu tersipu dengan kegigihan tokoh lelaki meyak...