"Ela?" Gue nggak bisa menyembunyikan keterkejutan karena sosoknya di sini. Lagi.
Gadis itu maju sekian langkah ke depan gue, yang terasa banget lamanya. Bikin hati gue seketika nyeri.
Namanya Telaga Mentari. Hanya gue yang biasa memanggilnya Ela, karena lidah kebanyakan orang di sini akan membuat panggilannya menjadi 'Els'. Ela adalah satu-satunya orang Indonesia yang tinggal bekerja dan tinggal cukup lama di sini. Sedikit banyak, kehadiran dia membuat kekangenan gue dengan tanah air sedikit terobati.
Tapi, itu dulu.
Sekarang?
Gue nggak tahu harus bersyukur atau gimana kalau ketemu dia.
Dia tersenyum semanis yang dimungkinkan wajahnya. Kepalanya dimiringkan dan matanya mengedip-ngedip. Nggak ada yang berubah, kecuali perasaan nggak rela yang terus menerus ada di hati gue.
"Els, apa kabar?" Evelyn memecah kontak mata kami. "I miss you." Keluar dari kubikelnya, Eve merangkul Ela, membuat gadis itu kehilangan keseimbangan. Buru-buru gue tangkap tangannya.
"Hati-hati, Eve," tegur gue.
"It's okay," balas Ela. "And I miss you too, Eve."
Eve yang memang tahu persis kisah kami langsung mengedip cantik dan angkat kaki dari ruangan. Hanya menyisakan kami berdua.
"Ngapain?" tanya gue. Gue papah Ela menuju bangku terdekat, gue bantu dia untuk duduk dengan menyingkirkan kruknya. Gue benahi rambut-rambutnya yang jatuh menutupi mata. Gue usap pipinya beberapa kali. Selembut yang gue bisa. Gue yakin, Ela juga merasakan jemari gue yang bergetar di wajahnya.
Ela cantik.
Bahkan tetap cantik.
Tapi gue tetap aja nyeri.
"Paul manggil aku, Kai. Ini... udah kesekian kali," jawabnya. "Nggak enak aku kalo nggak datang."
Lagi-lagi gue nyeri.
"Terus?"
"Dia bilang, butuh aku buat ngisi kolom lagi kayak dulu," cetusnya. "Bualnya, cuma aku yang bisa bikin kolom itu hidup. Dia hanya membual kan, ya? Tulisanku biasa aja."
Pernah nggak lo ngerasa pengin mengangguk tapi kepala lo langsung pusing?
Gue dan Ela berkenalan ketika dia masih kerja di sini. Saat itu, bisa dibilang Ela adalah penulis terbaik yang mampu membuat foto-foto di majalah ini lebih bernyawa. Tulisannya yang menghanyutkan didukung oleh foto-foto dari gue dan rekan fotografer gue yang lain mampu menjadi daya tarik ludesnya majalah ini, baik cetak maupun online. Pokoknya, Ela adalah sebuah anugerah tak terhingga yang dimiliki oleh Paul hingga gue merusaknya.
Tenggorokan gue tersekat. Suara gue hilang ditelan ludah. "Ka-kamu mau?" tanya gue ragu.
Ela. Seperti Ela yang gue kenal lama. Langsung mengangguk semangat. "Yah... aku mungkin bisa mencoba, Kai. Nggak nyangka aja, Paul masih nyariin setelah aku mangkir sekian lama," ungkapnya. Mata gue langsung berkabut. "Ups!" Dia meraih pipi gue. Kami bertatapan. Kepalanya menggeleng beberapa kali. "Jangan gini, Kai."
Gue melenguh.
Di depan Ela, gue hanya bisa menunduk. Air mata gue rasanya sudah mendesak dari rongganya. Panas!
"Kai?" panggilnya lagi. Gue menolak menatap matanya. Gue yakin, kalau sekali lagi gue memandang wajahnya, gue nggak jamin bisa menahan air mata. "Kai, please, jangan begini, okay?" bisiknya lembut. Tangan mungilnya menepuk punggung gue.
Sekarang, siapa yang nggak mandang gue sebagai pecundang?
Siapa yang berhak dikasihani dan siapa yang menguatkan?
"El," gue panggil dia. "Maaf." Lidah gue mengaku lagi, nggak bisa bergerak. Kelu.
"Kai, sudah berapa kali kubilang, ini bukan salah kamu," bisiknya. "Harus berapa kali kukatakan baru kamu paham, eh?"
"El...."
"Kai, dengar," dia mendengakkan muka gue hingga mata kami bertemu. Diusapnya air mata yang turun tanpa bisa gue tahan lagi. "Sudah dua tahun, Kai. Sudah saatnya kita kembali menjadi kita yang dulu. Aku bisa menerima, lalu kenapa kamu nggak, Kai?"
Gue lupakan segalanya. Gue benturkan kepalanya ke dada gue. Gue ciumi ubun-ubunnya hingga gemetar. "Gue nggak bisa nahan ini, El. Kamu tahu banget."
"It's okay. Aku udah berdamai dengan ini semua," ucapnya. "Kamu juga."
"El," panggil gue memberanikan diri. "Mau pulang ke Indonesia? Aku jagain kamu di sana," ucapku pelan.
Ela tertawa.
Gue terkesiap.
"Kai!" serunya. "Jangan gila!"
"El? Apa yang gila?"
"Kamu mau melepas segala yang sudah kamu peroleh di sini, Kai? Itu namanya gila."
"Tapi, melihatmu kembali lagi ke dunia ini bisa membuatku gila, El!"
"Kai! Aku nggak ke mana-mana. Aku di belakang meja," ucapnya. "Sesekali menculik laptopmu untuk mengetik dan mengirimkan tulisan. Deal?"
"El?" debat gue. "Jangan memaksa."
"Kai, aku sudah mencintai negara ini. Hewan-hewannya sudah jadi bagian hidupku, kamu tahu kan? Jadi, aku mencoba, Kai. Dan sudah seharusnya kamu juga mencoba."
"El!" Gue masih mencoba menahannya. "Balik sama aku. Aku akan jagain kamu selamanya. Sebaik yang aku mampu, El! Aku janji—"
"Kai," dia menepuk punggung gue setelah bisa meraih kruk dan berdiri. "Andai tiga tahun yang lalu kamu ngomong begini, mungkin sekarang aku melemparkan diri ke pelukanmu, Kai. But, it's not me, it's you. Kamu tahu kan, bukan begini cara kerja hati."
Dan gue mati kutu saat Ela berlalu.
Ditolak, bahkan oleh wanita yang nggak lo cintai ternyata cukup menyakitkan.
Hati gue langsung perih mengingat bibir bergetar dari gadis yang lainnya.
Ouch!
Note:
Maafkan aja kalo pendek banget, haha. Emang cuma segini skenarionya. Next, kita ketemu Lanti lagi. Bye, Kaio... urusi dulu aja masalahmu ituuuu.
Dari saya, yang belum move on sama kegigihan tim beregu putera bulutangkis Indonesia. Ayo Indonesia bisa!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
REFRAKSI (Stagnasi #3) - Completed
ChickLitKeinginan Rilanti Nansarunai sederhana. Sesederhana novel romantis yang ia baca. Jatuh cinta pada orang yang juga mencintainya. Menikah. Bahagia. Habis perkara. Dari semua cerita yang ia baca, Lanti selalu tersipu dengan kegigihan tokoh lelaki meyak...