[refraksi #28]

8K 1.5K 112
                                    

Note: Belum sempat cek typo dan baca ulang, soalnya buru-buru. Selamat malam minggu, manteman :)

"Harusnya tadi aku nggak nanya kayak gitu ya, Lan, aduh nyesel banget. Kita jadi canggung gini lagi." Ucapan Ical menyentakku dari lamunan panjang.

Entah tadi aku memikirkan apa, namun pertanyaan Ical membuatku benar-benar harus berhati-hati dalam menjawab. Maksudku, aku nggak kepingin jawabanku nanti melukainya atau membuatku merasa bersalah.

"Aku... bukannya nggak mau jawab, Cal, cuma memang aku juga belum tahu gimana-gimana." Akhirnya kuputuskan untuk mengakuinya dengan jujur. Kugigit bibir cukup lama sebelum meneruskan, "Kalau soal aku ngerasa nggak nyaman karena kamu negur aku seperti orang nggak kenal, itu benar."

Ical berdeham. "Mungkin karena kebiasaan, Lan."

"Eh?"

"Ya... kita manusia kan emang gitu, Lan. Kayak kalau punya kebiasaan terus sesuatu berubah, jadinya nggak nyaman aja. Persis kayak kita yang biasa pulang bareng, kamu dengerin aku ngoceh sementara kamu sabar banget dengerin, terus akhir-akhir ini kita sering habisin waktu sama-sama. Dan tiba-tiba kita bertingkah seperti orang baru kenal. Pasti nggak nyaman, ya?"

Aku menggangguk pelan. Di dalam hatiku, aku cukup merasa lega karena menemukan lagi Ical yang nggak segan-segan untuk mencurahkan apa pun yang ada di pikirannya. Rasanya... seperti Ical yang dahulu kembali lagi. Meski ya begitu, mungkin yang Ical bilang benar, ini hanya perkara kebiasaan. Dan itu tidak berkaitan dengan rasa.

Aku benar-benar harus hati-hati dalam menjaga ucapan dan tingkah laku sebelum semuanya jelas, peringatku dalam hati. "Iya, mungkin karena itu," gumamku, lebih pada diriku sendiri.

Kudengar Ical menghela napas. "Sebenarnya, sejak awal minggu lalu, aku sudah berniat mengembalikan rutinitas kita seperti semula kok, Lan," akunya, dan membuatku terperangah, "cuma... temen kamu yang satu itu beneran mengikis kesempatanku buat ngajak kamu bicara lagi."

"Hah?"

"Si Saga," jawabnya cepat. "Setiap jam pulang kantor, aku ngelihat dia nungguin kamu dan nganter kamu pulang kerja. Kamu pikir, aku bisa datang aja gitu dan bilang: 'sorry, Bro, bisa gue pinjem Lantinya bentar?' Nggak kayak gitu kali, Lan. Muka temen kamu itu udah sangarnya ngalahin bodyguard tahu nggak kalau pas jam pulang kerja. Yah... meski sejak awal Kemi selalu cerita kalau dia cuma sahabat dan ngejagain kalian bertiga dan nggak ada sesuatu yang lebih, cuma tetap aja itu bikin aku mengurungkan niat buat bicara sama kamu. Tapi... satu hal dari sikap Saga bikin aku sadar akan sesuatu," ucapnya menggantung.

"Apa, Cal?"

"Sesuatu nggak berjalan mulus kan, Lan?" Pandangannya menerawang. "Aku nggak pernah melihat raut muka Kemi sekhawatir itu setiap kali dia menatap kamu diam-diam. Atau soal Saga yang selalu siaga menemani kamu saat pulang kantor."

Apa yang Ical ucapkan membuatku seketika kesusahan menelan ludah. Hal itu semacam kembali mengingatkanku bahwa kelakuanku sering kali merepotkan sahabat-sahabatku di saat seharusnya mereka perlu mencemaskan masalah mereka sendiri.

Aku mendesah sebelum menjawab. "Ironis ya, Cal. Aku yang bikin masalah, mereka yang susah."

Ical menggaruk-garuk kepalanya, dan kemudian dia berpaling hingga kami bertemu pandang. "Makanya... lain kali, yang kamu bikin susah tuh aku aja."

Pipiku langsung memanas.

[refraksi]

Hampir pukul satu pagi saat Ical mengantarkanku kembali ke kontrakan. Bedanya, kali ini nggak ada keheningan lagi di antara kami. Sepanjang perjalanan, Ical menceritakan soal lelucon yang kerap terjadi di keluarganya. Dari situ, aku mengambil kesimpulan bahwa keluarga Ical itu adalah salah satu keluarga hangat dan harmonis yang mungkin pernah aku dengar. Iya, aku dengar, karena memang aku nggak pernah melihat secara langsung.

REFRAKSI (Stagnasi #3) - CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang