[ refraksi #20 ]

8.8K 1.4K 79
                                    

Note:

Makhluk di part 12 itu makin menjadi-jadi, dan gedenya 3x lipat dari dulu mungkin -___-

Aku juga tak terlalu paham awalnya kenapa sendirian kadang lebih menyenangkan daripada berada di keramaian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku juga tak terlalu paham awalnya kenapa sendirian kadang lebih menyenangkan daripada berada di keramaian. Meskipun aku juga nggak pernah merasa keberatan saat bersama dengan sahabat-sahabatku, namun... kadang kala kondisi sunyi dan hanya ada aku serta pikiran yang menemani itu merupakan sesuatu yang melegakan.

Lega saja rasanya aku tak perlu terlalu memikirkan bagaimana cara bereaksi terhadap ucapan seseorang atau tindakan mereka. Aku cukup diam saja dan itu rasanya sudah lebih dari cukup.

Penunjuk waktu di dinding mendentang delapan kali. Kepalaku memiring mengikuti jarumnya yang tetap bergeser di antara bunyi. Ruanganku sepi, yang lain sudah pulang sejak tadi.

Syukurnya, pekerjaan yang dibebankan ke kami bisa selesai tepat waktu. Hingga Mona bisa pulang cepat dan merebahkan kepalanya agar mengurangi mual. Kemi? Sudah pulang sejak sore karena berjanji menemani Dion dan Tara di rumah saat Arga pergi dinas lagi. Dan Saga masih di rumah sakit, menunggui Kak Anye. Sebisa mungkin kami mengakali jadwal kerja Saga agar dia bisa lebih sering berada di rumah sakit. Kak Anye juga sudah lebih stabil, kesadarannya sudah meningkat dari hari ke hari. Memang sesekali demam, kata Saga beberapa hari yang lalu, namun itu bisa teratasi. Mungkin sebentar lagi akan sudah boleh pulang ke rumah.

Aku tersenyum. Membelai tumpukan dokumen yang sudah selesai kukerjakan. Rasanya... satu beban terangkat lagi. Dan memang cara inilah yang bisa kulakukan untuk membantu Saga sekaligus menyibukkan pikiran.

Sebanrnya, akhir-akhir ini aku lebih memilih memenuhi kepalaku dengan pekerjaan. Ketiadaan aktivitas cenderung membuatku memikirkan lagi banyak hal. Dan itu nggak jauh-jauh dari beberapa hal yang entah kenapa rasanya belum terselesaikan. Seperti bom waktu, menunggu aku bergerak mengambil keputusan.

Ya.

Memang nggak seharusnya aku tetap berharap pada sebuah perasaan yang nggak berbalas. Sudah seharusnya aku melangkah ke sesuatu yang menurutku lebih masuk akal untuk digapai. Hanya saja, kadang hati memang memiliki kehendaknya sendiri. Akhirnya, aku mengerti kenapa konflik perasaan selalu laku dijual di novel-novel yang aku baca. Ya... karena itu tadi, hati seolah adalah organ tersendiri yang nggak selalu bisa dikendalian. Seolah punya kemauan sendiri.

"Berdamailah, wahai hati," lirihku.

Belakangan ini, sebenarnya pesan-pesan singkat Ical nggak pernah sepi menemani. Dia masih sangat intens mengingatkanku agar menjaga pola makan dan istiahat. Meski kadang hanya sekali sehari, dia cukup tahu diri sepertinya untuk tidak terlalu memaksakan masuk ke dalam wilayah yang masih abu-abu. Kesabaran Ical memang sempat membuatku tak enak hati. Aku hanya tak ingin membuatnya berharap pada hal yang aku sendiri nggak tahu di mana dan bagaimana ujungnya.

Namun, ucapan Saga tempo hari saat beberapa kali menemaninya menginap di RS cukup membuatku berpikir. Saga bilang, kadang realita konflik perasaan memang se-absurd itu. Kita nggak selalu mendapatkan apa yang paling kita inginkan. Tapi, setidaknya menerima perhatian dari orang yang cukup baik juga nggak pernah salah. Kadang, kita beranggapan orang itu bukanlah orang yang kita ingin, tapi bagaimana tahu kita tidak menginginkan sementara kita tak pernah memberi kesempatan untuknya mendekat dan membuktikan?

REFRAKSI (Stagnasi #3) - CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang