Tiga bulan sudah berlalu sejak kejadian malam itu. Kalau boleh bersyukur, satu-satunya hal baik yang terjadi adalah sahabat-sahabatku nggak pernah memaksaku untuk bercerita. Mereka seolah mengerti, bahwa aku memang nggak kepingin ditanya.
Tapi, aku paham gestur mereka seolah bertanya: apakah aku baik-baik saja?
Nggak. Aku nggak baik-baik saja. Tapi, sebisa mungkin nggak menunjukkan di depan mereka.
Aku makan. Aku bekerja seperti biasa. Hanya... agak kesusahan tidur saja.
Karena...
Aku masih suka menangis saat malam tiba.
Aku masih suka merindukan sesuatu yang... aku nggak tahu itu apa.
Dan aku masih merasakan perih di dadaku... entah penyebabnya apa.
Saking banyaknya hal yang berkecamuk, aku sampai nggak bisa membedakan, mana yang harus kupikirkan, mana yang harus kulakukan, dan mana yang harus kubiarkan.
Semuanya... bercampur aduk.
Adalah sakit, ketika aku menyadari otakku yang tak pernah ingin beristirahat memikirkan dia. Kelu lidahku setiap kali menyebut namanya di dalam hati.
Tapi, mau bagaimana lagi? Aku sudah berjanji akan mengurus perasaanku sendiri. Aku masih ingat, malam itu... dengan suara bergetar kukatakan bahwa ini perasaanku. Ini urusanku. Tapi, ternyata... mengurusi perasaan sendiri itu adalah sesuatu yang mustahil dilakukan. Perasaan itu seperti sebuah organ di luar kendali tubuh ini, namun mampu memberikan efek luar biasa.
Apakah perasaan itu seperti parasit?
Aku menghela napas. Mataku masih kerap memanas setiap kali hal ini terjadi. Perlu berapa malam lagi bayang-bayangmu menguasai, Bang?
Bahkan dalam jarak sejauh ini, tanap komunikasi, kenapa dirimu masih selalu memporak-porandakan hati?
Aku memejam. Merasakan air mata yang turun perlahan.
Beruntungnya, aku masih bisa menahan semua ini hingga malam tiba. Sejak Mona pindah, aku dan Kemi menempati kamar masing-masing. Meski nggak jarang Mona bertandang dan menginap di sini kalau suaminya sedang dinas ke luar kota.
Masalahnya, setiap kali melihat Mona... sesuatu itu datang begitu saja.
Nggak bisa kuhindari, jantungku berdenyut nyeri lagi.
Banyak yang bilang, semua orang bisa saja menyatakan perasaan. Namun, terkadang lupa menyiapkan hati untuk jawabannya. Bisa saja bahagia, tapi nggak sedikit pula yang menjadi bencana.
Tapi, aku benar-benar nggak setuju sama hal itu.
Dari awal, aku sudah menata hati, selalu membisikkan bahwa aku nggak mungkin memiliki dia, nggak bakal memiliki kisah di antara kami. Nggak mungkin mengubah aku dan dia menjadi kita. Dan sejuta pencegahan lainnya. Tapi, seperti tadi, hati dan perasaan memiliki maunya sendiri.
Ah... kenapa harus sesakit ini lagi, Tuhan?
Kenapa ini harus menjadi sesuatu yang nyaris nggak bisa kutanggung?
Aku menghela napas. Kunyalakan laptop dan secara otomatis tanganku mengetik wildlife photography di kolom pencarian.
Bebas.
Lepas.
Semua foto itu meneriakkan kebebasan.
Lagi, mataku mengerjap dan sebutir air mata jatuh ke jemariku. Kututup laptop tanpa mematikannya.
![](https://img.wattpad.com/cover/142337888-288-k866377.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
REFRAKSI (Stagnasi #3) - Completed
ChickLitKeinginan Rilanti Nansarunai sederhana. Sesederhana novel romantis yang ia baca. Jatuh cinta pada orang yang juga mencintainya. Menikah. Bahagia. Habis perkara. Dari semua cerita yang ia baca, Lanti selalu tersipu dengan kegigihan tokoh lelaki meyak...