[ refraksi #18 ]

15.4K 2.5K 128
                                    

Note:

Malam-malam kemarin saya ngga ada di rumah, urusan genting negara. Lol. Jadi malam ini double update deh :) Selamat menikmati

"Ups!" Pelakunya nyengir sebentar, kemudian cepat-cepat menutup pintu. Lalu beranjak ke kursi belakang. Kudengar dia meletakkan—bukan, nyaris melemparkan—tasnya di kursi. "Berat banget bawaan gue coba, gue kira dosa aja yang berat, ternyata tugas dari dosen juga nggak kalah berat. Hedeh!"

"Perlu sumbat telinga nggak, Lan?" Ical terkekeh.

Aku tersenyum. "Maaf, mau duduk depan, ya?" tanyaku. "Aku bisa pindah ke belakang."

"Nggak perlu, Lan!" jawab Ical cepat, nyaris bersamaan dengan kalimat yang meluncur dari gadis itu.

"Nggak... nggak usah, Mbak. Tadi gue pikir nggak ada yang ikut. Aman," jawabnya seraya mengacungi jempol. Kepalanya muncul dari celah di antara kursiku dan Faisal. "Ini teman Bang Ical, ya? Kenalin Falesha, biasa dipanggil Echa. Maunya sih nama panjangnya Tasya Farasya, macem vlogger yang hitz itu loh, Mbak. Cuma... bonyok waktu lahiran gue nggak kenal sama sih sama Tasya Farasya, jadi malah Falesha. Yah... mirip dikit-dikit kan? Sama-sama ada huruf 'F'-nya."

"Cha, napas, cha," ucap Ical sambil menyetir keluar dari pelataran kampus. Nggak tahu kenapa, ucapan sedikit itu bikin aku terkekeh.

"Tapi, bukan F-word semacam f*ck gitu, sih." Masih nyerocos.

"Echa!" tegur Ical.

Yang ditegur malah ketawa-ketawa. "Itu bumbu dikit elah, Bang. Mbaknya juga paham kalau gue becanda."

"Bang Ical nggak pernah, ya, ngajarin lo ngomong macem gitu. Lagian, yang namanya becanda itu semua pihak senang, kalau satu pihak aja namanya bukan candaan, Cha. Tapi...—"

"Penyiksaan." Dua-duanya kompak bicara.

"Hadeh... minta maaf sama Mbaknya, dari tadi lo nyerocos melulu," titah Ical.

"Eh, nggak... nggak, aku nggak keganggu kok," ucapku cepat. "Itu tadi cuma bercanda, iya kan?" tegasku seraya menoleh ke belakang.

Nggak tahu kenapa, mata Echa mengerjap beberapa kali, mulutnya terbuka. Seperti ada hal yang membius dia hingga cerocosannya berhenti.

"Ehm... Echa?" usikku karena yang diajak bicara masih asyik menatap hingga aku sedikit salah tingkah.

"Hng... Mbaknya, cewek Bang Ical, ya?"

"Hah?" Sekali ini, aku dan Ical yang sama-sama bicara.

"Mbaknya ngomong pake aku-kamu. Bang Ical belain Mbak ampe mesem-mesem gitu." Dia ketawa riang. "Akhirnya, terima kasih Tuhan. Gue udah khawatir loh, Mbak, gue nggak bisa nikah cepat gara-gara nggak boleh ngelangkahin ini orang! Padahal gue udah backstreet dua tahunan. Tinggal pacar gue cari kerja, kita bisa kawin, kan? Dan Tuhan ngabulin doa gue, kirimin pacar yang baik hati buat Abang gue yang jomblo karatan ini. Oh, iya, kapan Mbak mau main ke rumah dan kenalan sama Tante? Mamanya Bang Ical baik banget lho, kayak Ibu Peri. Suer... ini gue bukan promosi. Tapi, emang baik beneran. Gue aja mikir, doi diciptakan dari air telaga di surga. Adem bener gitu Tante gue. Beda jauh lah sama anaknya. Bawaannya bikin gerah. Yah, mungkin telaga juga, cuma airnya dari neraka. Eh... itu lahar, ya? Tapi, Mbaknya pasti bisa tahan lah, ya? Oh, iya, kita belum kenalan, tadi kan udah tahu nama gue Echa, nama calon kakak ipar gue ini siapa deh, ya?"

Gantian aku yang terpana.

"Eh, kok kita brenti?" Masih suara Echa. Mobil menepi di pinggir jalan.

"Kepingin banget Abang karungin lo terus cemplungin di pinggir kali, tuh!" tunjuk Ical. Yang dibilangin malah terbahak, dan mobil kembali meluncur.

"Mbak? Bang Ical sok jual mahal, nggak mau nyebutin nama pacarnya. Dih! Nama Mbak, siapa?" ulangnya

"Lanti. Namaku Rilanti."

"Bujug! Manis banget woy, namanya. Mana orangnya cantik pula, dari tadi dengerin kita mulu ngomong. Anggun banget! Gue suka nih yang kayak gini. Sa ae lo, Bang, milihnya. Mbak yakin kan nggak salah orang waktu mau sama Bang Ical? Gue yakin sih, dia nggak pake pelet. Cuma... dia kan suka ngeselin gitu, Mbak!"

"Echa! Beneran Abang larung lo di comberan, ya! Gimana Mbak Lanti bicara, dari tadi lo ngoceh melulu macem petasan. Hadeh!"

"Mbak Lanti? Maaf, gue emang suka nggak kontrol. Waktu dalam kandungan, gue keseringan diajak bicara kali. Jadinya gini, nyerocos melulu."

Dia ketawa lagi. Aku jadi ikut ketawa. Echa ini tipikal orang yang bisa bikin sekitarnya seru, tawanya menular, tingkahnya yang dengan cepat membaur jelas membuat orang-orang gampang dekat. Mirip Kemi tapi versi bawel. Aku geleng-geleng.

"Aku seneng kok, dengernya. Soalnya... jadi rame gini," jawabku pelan, disertai kekehan kecil. Dalam hati kutambahkan, pantas Ical kalau bicara juga ekspresif dan banyak kata. Mungkin keluarganya semua seperti ini pembawaannya.

"Beneran lo nggak nyesel kan, Lan? Ini Monyet dari tadi ribut terus. Itu tanda dia kelaparan. Mau mak—ouch! Woy!"

"Apaan sih, Bang! Mbak Lanti udah aku-kamu gitu, lo-nya masih lo-gue! Dih! Nggak sopan, gue aduin Tante loh!"

Hening.

Mobil berbelok ke salah satu restoran cepat saji. Echa bergegas turun meninggalkan kami berdua.

"Kita makan dulu, ya, Lan? Abis itu baru dianter pulang ambil perlengkapan." Aku mengangguk menyetujui. Tanganku menggapai handel pintu. "Eh, Lan?" panggilnya. Aku menoleh, mengangkat alis tanda bertanya. "Yang tadi...," ucapnya pelan sekali. Alisku berkerut dalam. "Bisa nggak, kita aku-kamuan?"

Jantungku berdetak lebih cepat sepersekian detik.

Belum sempat aku menjawab, Ical turun dari balik kemudi.

[ refraksi ]

Pernah nggak ngerasa berselera makan dan itu terbawa karena suasana di depanmu. Iya, Echa sepupunya Ical ini tipe cewek yang sangat menikmati makan. Membuat orang yang nggak lapar menjadi sebaliknya juga sepertinya dia bisa. Dan yang menyenangkan, interaksi mereka berdua sudah cukup memenuhi udara, memberiku kesempatan untuk sekadar tertawa atau mengangguk setuju.

Membuat kangen rumah.

Adik-adikku nyaris seperti ini, namun dalam versi berbeda. Entah kenapa hanya aku yang agak pendiam. Kupejamkan mata sejenak, sudah lama rasanya aku belum menelepon Bunda, bertanya kabarnya.

"Eh, Lan? Capek, ya? Mau pulang sekarang?" tanya Ical. Refleks aku membuka mata. "Cha, buruan makannya, gue mesti nganter Mbak Lanti ke rumah sakit, nih. Lo dari tadi makan apa ngais tulang sih, lama bener!" ceramahnya.

"Ini namanya menikmati keleus." Tapi, nggak urung Echa mempercepat ritme makannya.

"Nggak papa, santai aja. Pelan-pelan makannya, Cha."

"Wuih, Bang! Lo denger nggak barusan? Gue makan aja diperhatiin sama Mbak Lanti. Wah... udah sih, wife material banget, nih! Suka lah gue sama yang ini, Bang! Yah... soalnya lo nggak pernah bawa cewek selain gebetan lo jaman kuliah itu kan. Dan gue nggak sreg sama yang itu. Kalah jauh lah sama Mbak Lanti. Mbak... Mbak, tenang aja, Bang Ical tuh jomlo, gue jamin. Udah nggak ada perkara ama masa lalu yang nggak terseles—"

"Echa! Makan! Gue tinggal nih!" peringat Ical sambil membereskan barang dan berdiri. "Yuk, Lan, kita tinggal aja biar dia yang bayar."

Aku lagi-lagi tertawa. Echa pucat pasi.

"Lo mau gue jual ginjal, Bang?" serunya. "Kuota aja gue masih modal nodong elo, kan?"

"Makanya! Tahu gitu udah ngomongin kawin! Buruan! Gue tunggu di mobil!"

Aku masih sibuk menekap mulut dengan sebelah tangan saat melihat Echa panik dan mulai menelan apa pun yang tersisa.

"Yuk," ajaknya. Sebelahtanganku ditarik... lalu kemudian jemarinya menjalin di antara ruas milikku.Aku mengerjap perlahan, kami bersitatap lagi. Jantungku berdetak lebih cepat,melebihi saat kami turun dari mobil tadi. Ical menggaruk kepalanya. Dan akusadar, bahwa dia juga sama gugupnya, sama salah tingkahnya. "Boleh, kan?"bisiknya pelan.

REFRAKSI (Stagnasi #3) - CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang