[ refraksi #9 ]

15.6K 2.9K 209
                                    

Andai permintaan Mona itu datang sebelum kejadian di restoran itu, mungkin aku adalah orang yang paling senang sedunia. Ibaratnya, semesta benar-benar berpihak padaku. Memberikan jalan agar aku bisa menciptakan momen—istilah Kemi yang sekarang lebih banyak kusesali—bersama Bang Kaio. Tapi, sekarang kondisinya benar-benar berbeda. Aku merasa nggak punya muka untuk bertemu Bang Kaio.

Terus, siapa lagi yang harus datang ke sini, Lanti?

Satu-satunya pilihan yang Mona tahu, mungkin cuma aku. Aku juga nggak kepingin menambah drama peperangan Arga dan Kemi seandainya gadis itu yang diminta merawat Bang Kaio. Sudah cukup tanpa dipicu orang lain saja, genderang pertempuran di antara mereka nggak pernah reda.

Aku menghela napas. Kueratkan kantong belanjaan berisi bahan makanan yang kubeli di supermarket sebelum sampai ke sini. Kutekan bel di sisi pintu lalu menunggu. Kalau tidak diubah, sebenarnya aku mengetahui kunci kombinasi apartemen ini, karena pernah beberapa kali ke sini untuk membantu Mona bersih-bersih.

Tapi... nggak pernah segugup ini!

"Ya?" Pintu terkuak. Di depanku, berdiri Bang Kaio dengan dahi mengernyit. Kusadari lingkaran hitam yang tercetak jelas di bawah mata. Mukanya juga terlihat sangat pucat dibandingkan terakhir kali kami bertemu. Rahangnya ditumbuhi rambut-rambut, kentara banget nggak dicukur. Bibirnya kering dan—ups... ngapain aku ngelihatin bibirnya coba?

"E-eh... anu. Bo-boleh aku masuk?" tanyaku seraya mengangkat kantong belanjaan.

Bang Kaio mengangkat alis, namun badannya menyingkir, memberiku celah untuk meloloskan diri.

"Mona menelepon, katanya Abang sakit," gumamku. Kuletakkan seplastik bahan makanan di pantry. "Udah makan?"

"Belum." Bang Kaio berdecak. "Mona benar-benar ngerepotin kamu."

"Nggak papa," ucapku.

Kami sama-sama terdiam. Aku menunduk untuk mengeluarkan bahan makanan. Ah... padahla itu cuma alasan kamu agar nggak kontak mata sama Bang Kaio, Lan.

"Sejak kapan?" tanyaku. "Sakitnya."

Bang Kaio berdeham. "Nggak tahu juga, tiba-tiba merasa pusing aja. Dan sedikit lemas. Itu saja."

"Tadi siang makan apa?" Aku menunggu, namun nggak ada jawaban. Kuangkat dagu hingga pandangan kami bertemu. "Bang, tadi siang makan?" ulangku.

Bang Kaio menggeleng. Aku menghela napas.

Kulanjutkan mencari perkakas yang sudah kutahu tempat penyimpanannya. Talenan, pisau, dan beberapa mangkuk kukeluarkan. Kucuci peralatan itu untuk meyakinkan debunya hilang.

"Kamu...kok nggak ngomel?" tanyanya. Aku mengerjap. "Maksudnya, kamu nggak marah? Mona pasti sudah nyerocos kalau tahu Abang nggak makan."

Maksudnya? Minta diomelin?

"Aku kepingin ngomel, tapi nggak tahu gimana caranya. Nggak tahu kata-kata apa yang harus kukeluarkan," jawabku jujur. Sayuran mulai kupotong, ayam kumasukkan ke air yang mulai mendidih.

"Kamu lucu, Lanti."

Aku mengangkat muka, kami berpandangan lagi. Kulihat cengiran yang... argh, aku benar-benar menyukai saat Bang Kaio tersenyum seperti itu.

"Abang mau diomelin?" tawarku. "Aku bisa mulai memikirkannya, nih."

Bang Kaio nggak menyahut, namun kudengar langkah kakinya mendekat. Jantungku langsung berpacu nggak tahu diri. Kugigit bibirku saat bayangannya jatuh di depanku. Ini ngapain Bang Kaio berdiri di belakangku?

REFRAKSI (Stagnasi #3) - CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang