Tangan gue gemetar.
Gue masukan lagi ke dalam amplop merah yang tadi sempat gue keluarkan. Gue jejalkan ke dasar kotak. Berkali-kali tangan gue kepeleset waktu memasang gemboknya. Napas gue tertahan. Badan gue kaku. Tepat saat bunyi ceklik itu terdengar di kuping, baru gue bisa menghembuskan napas yang dari tadi gue tahan.
Stupid, Kaio!
Apa lo segitu putus asanya sampai mau memakai foto 'itu'?
Gue memijit pelipis. Rasanya pening. Kondisi ketika gue sedang kurang istirahat atau ada masalah yang menjadi beban pikiran gue. Gue harus bagaimana? Ketidakproduktifan gue dalam tiga bulan ini bisa membuat gue kehilangan sponsor kalau terjadi terus-terusan. Memangnya siapa yang mau menyokong biaya fotografer yang nggak bisa menghasilkan? Fotografer yang cuma bisa menangkap sampah?
Man, berburu binatang buas nggak semurah yang lo kira!
Halah!
Gue menjatuhkan diri di sisi ranjang, bersandar menatap dinding.
Lampu di layar ponsel tiba-tiba menyala, tertangkap dari sudut mata gue. Gue tolehkan kepala dan menemukan notifikasi email. Ah... iya, sudah dua minggu gue nggak mengaktifkan nada deringnya. Gue lagi nggak pengen diganggu siapapun. Terus siapa yang mengontak gue sore-sore begini?
Dada gue mencelos melihat nama pengirimnya. Gue raih segera dan memencet dengan tergesa.
Bang Kaio,
Aku nggak ngerti foto yang bernyawa. Tapi, aku paling suka yang ketiga.
Regards,
Lanti.
Gue menepuk jidat keras-keras. Kapan gue ngirimnya? Dan yang lebih penting lagi, ngapain?
Mungkin aja gue kirim random, tapi terkirim ke dia?
Dahi gue mengerut. Jangan-jangan, bukan gue yang ngirim. Atau... itu gue lakukan dalam kondisi tidak sadar, gue yakin!
Dasar pecundang lo, Kaio!
Gue menghela napas lagi. Mengutuki tindakan yang sudah gue lakukan. Bisa-bisanya gue mengirim email kepada gadis itu. Gue lihat tanggal pengirimannya dua minggu lalu. Hanya berisi tiga foto dengan satu kalimat: menurut kamu, mana yang paling bernyawa?
Dan dia baru membalas sekarang?
Kenapa selama ini? Kenapa butuh waktu membalas email gue? Dia ngapain aja?
Astaga, Kaio! Kenapa lo malah mempermasalahkan kapan gadis itu menjawab?
Pikirkan!
Pikirkan apa yang mendera gadis itu dua minggu ini? Lalu, gimana dia akhirnya membalas email? Apa yang ada di benak dia sekarang?
Lo pergi tanpa kabar lalu menghubungi dia dengan pertanyaan sekonyol itu? Dari mana lo belajar hal menyedihkan seperti ini, Kaio?
Gue mengumpat berkali-kali hingga ponsel gue berbunyi. Nyaris saja, benda laknat itu—yang membuat gue kehilangan akal—tergelincir dari cengkeraman gue. Sial!
"Ya, Eve?" tanya gue.
"Makaio, kamu di mana? Paul kesusahan menghubungimu."
"Ponselku baru hidup, Eve. Ada apa?"
Gue dengar Evelyn berdecak hebat. "Foto terakhir yang kamu kirim via email membuat Paul melonjak-lonjak. Jadi, segera angkat pantatmu dari tempat tidur dan bawa foto aslinya ke hadapan dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
REFRAKSI (Stagnasi #3) - Completed
Literatura FemininaKeinginan Rilanti Nansarunai sederhana. Sesederhana novel romantis yang ia baca. Jatuh cinta pada orang yang juga mencintainya. Menikah. Bahagia. Habis perkara. Dari semua cerita yang ia baca, Lanti selalu tersipu dengan kegigihan tokoh lelaki meyak...