[refraksi #21]

8.6K 1.4K 57
                                    

Note:

Beberapa bagian memang sudah pernah dipublikasikan, tapi yang sekarang tentu saja dengan beberapa perubahan. Silakan kalau masih mau baca, ehehehe...

Dan... update lambat kayak gini nggak ada adalam skenario soalnya, tapi tahu sendiri 'that corona thing' ini emang kerjaan bikin orang kelimpungan dan kudu keluar dari kebiasaan, sih. Simpelnya, apa yang udah kami rencanain dan anggarin setahun lalu semuanya ambyar dan menuntut penyesuaian secepat-cepatnya dengan ancaman kagak gajian. Itu serem kan? Serem banget buat saya yang masih nunggu SMS banking tanggal 1 dari Pemerintah T.T

Bdw, selamat menikmati aja deh dan selamat berakhir pekan :)

"Jadi, lo udah gimana sama Ical?" Pertanyaan Kemi murni ingin tahu saja, bukan mendesak.

"Seperti apa maksudnya, Dear?" tanyaku balik. Di tanganku masih terselip salah satu novel favoritku. Series Love, Hate and Hocus Pocus-nya Karla M. Nashar yang menceritakan bagaimana pasangan yang benar-benar bertolak belakang akhirnya bersatu. Troy Mardian yang kelewat flamboyan dan kebarat-baratan serta Gadis Parasayu yang meneriakkan Indonesia dari ujung kaki hingga ujung kepala. Dan... mereka bisa bersatu akhirnya. Ah... itu kan di novel.

"Lan?" panggilan Lanti kembali membuyarkan aku yang sempat larut dalam pikiran sendiri.

Maksudku, toh... Troy dan Gadis yang memulai dari rasa saling benci saja bisa bertahan, lalu kenapa aku harus risau dengan kondisi yang tercipta antara aku dan Ical, kan?

"Yah, seperti yang kamu lihat. Sesekali jalan bareng, makan, dijemput dan dianterin pulang," jawabku menyederhanakan.

Dahi Kemi berkerut. "Si Ical nggak ada ngomong apa-apa semacam nembak-nembak gimana gitu?"

Aku memijat pelipis. Seingatku tidak. Aku memang banyak menghabiskan waktu dengan Ical belakangan ini. Sesekali, dia menggodaku hingga membuat panas pipi, tapi enggak pernah terlalu menjurus dengan kata-kata yang... ah, aku justru nggak tahu harus bilang apa seandainya Ical melakukan hal yang Kemi sangkakan.

"Nggak."

"Hmm...," dia bergumam, "...baguslah, berarti Ical kepingin bikin lo nyaman dulu. Dia pernah cerita soalnya, dia takut kalau ngedesak-desak lo malah nggak nyaman. Sabar juga dia, ya. Good guy!"

Aku mengangguk menyetujui.

"Itu artinya Ical bener-bener ngertiin lo, Lan."

Helaan napasku kuanggap sebagai jawaban. Aku benar-benar nggak tahu harus menanggapi gimana. Ical baik, sangat. Perhatian. Dan uniknya... dengan caranya sendiri.

Ada kalimat 'jangan sampai sakit' saat dia bilang sengaja mengganti kopi dengan lemon hangat ketika aku harus lembur.

Ada kalimat 'aku nggak mau ngelihat kamu nggak bisa konsentrasi' di balik 'jangan sampai kelaparan'.

Ada kalimat 'jangan kecapekan' di balik kata-kata 'apa yang bisa aku kerjain bantuin kamu?'

Iya, Ical memang seperti itu. Dia pun tak pernah menyinggung topik yang terlalu melibatkan emosi. Dia juga sering membiarkanku larut dalam pikiranku dan memilih diam saat aku sedang dalam mode begitu. Melemparkan lelucon yang kadang lucu kadang juga garing kalau mukaku sedang kusut atau mood-ku memburuk. Iya, Ical seperti itu.

Dan aku paham.

Paham banget.

Hingga rasanya menyesakkan kalau aku tidak bisa membalas perasaannya.

Dan baru kali ini kusadari, bahwa ternyata nggak bisa membalas perasaan orang lain dengan perasaan serupa itu juga menyesakkan. Menyakitkan. Ah...

[ refraksi ]

REFRAKSI (Stagnasi #3) - CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang