[refraksi #1]

39.4K 3.6K 106
                                    



Orang-orang berubah karena berbagai alasan. Terkadang karena tuntutan kehidupan, sebagian lagi karena memang menginginkan. Apa pun yang membuat orang mampu bergerak dari satu titik ke titik lainnya, pasti mengharapkan sesuatu.

Sesuatu yang lebih baik. Sesuatu yang lebih nyaman.

Nggak ada orang yang berubah demi sesuatu yang lebih buruk.

Setidaknya, menurutku begitu.

Aku ingat sering kali orang mengatakan bahwa orang lain sudah berubah—kebanyakan kutemukan dalam novel-novel di mana pemeran utamanya tengah mencari alasan untuk putus, padahal bukan berubah dalam artian bagaimana, hanya keduanya makin sulit untuk berjuang mencapai kenyamanan bersama—padahal dalam kacamata kita, kita masih saja berada di situ. Terdiam, nggak melakukan apa pun, nggak bergerak, nggak move on.

Bukan karena nggak ingin, tapi karena memang nggak bisa.

Sudah bukan rahasia kalau nggak semua yang kita inginkan bisa jadi kenyataan. Tapi, toh manusia tetap setia dengan harapan.

Tetap memupuk niat, membangun mimpi, memanjatkan doa, menguatkan usaha. Semua itu karena sesuatu yang bernama harapan.

Harapan untuk berada di titik yang lebih nyaman, lebih menyenangkan.

Nyatanya, semuanya terasa menyesakkan kala sesuatu yang diinginkan nggak bisa digapai.

Begitulah kejamnya dunia. Memangnya siapa yang bilang dunia ini ramah dan adil kepada penghuninya?

Nope.

Nggak ada.

Begitu juga aku.

Hari ini, sesuatu akan berubah dalam hidup sahabatku. Suatu perubahan yang mewakili dua hal seperti yang tadi kuceritakan. Tuntutan kehidupan, sekaligus juga keinginan. Yaitu menikah.

Nggak, kamu nggak salah baca, Dear. Menikah masih menjadi tuntutan kehidupan di masyarakat kita. Mungkin kamu masih sering mendengar ibumu, nenekmu, tantemu atau siapa pun di keluargamu yang bertanya: kapan menikah? Lalu, tiba-tiba lidahmu terasa kelu untuk mengeluarkan jawaban. Mau kabur, tapi malas dibilang tak sopan. Mau diam, kamu makin disudutkan dengan berbagai petuah dari orang-orang yang katanya berpengalaman. Kamu nggak sendiri, aku juga kerap mengaminya. Sering malahan.

Memangnya apa lagi yang bisa terjadi pada gadis 27 tahun dengan keluarga besar yang rata-rata anggotanya menikah di usia dua puluh hingga 24 tahun, hm?

Selain itu menikah juga masih menjadi keinginan teragung yang bisa dibilang puncak kebahagiaan. Orang belum dikatakan bahagia jika belum diijab atau terijabkabulkan. Standar masyarakat memang, tapi aku juga nggak bisa nggak setuju, karena melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana bahagianya orang tuaku. Bukan berarti mereka nggak pernah dapat masalah—pernikahan semacam apa sih yang nggak pernah ada konfliknya?—tapi kebersamaan mereka membuat sesuatu yang tadinya sangat berat untuk dijalani tiba-tiba terasa lebih ringan.

Mungkin terdengar klise, tapi memiliki orang yang bisa kamu sandari setiap saat itu memang melegakan.

Kalau nggak gitu, mana mungkin ada lagu Tommy Page yang judulnya A Shoulder to Cry On, kan?

And when you need a shoulder to cry on

When you need a friend to rely on

When the whole world is gone

You won't be alone, cause I'll be there

"Lan, buruan ke atas, ih. Ntar kalau udah banyak tamu susah foto-foto. Gue kan udah dandan cantik gini biar bagus difotonya. Enggak lecek!" Ucapan itu memutus lamunanku. Nada bicaranya cepat, matanya berkilat, gesturnya penuh desak, seakan kami akan kehilangan banyak hal kalau nggak buru-buru ke sana.

"Sabar dikit, Kem." Aku melempar senyum pada Kemilau—teman sekamar sekaligus rekan kerja di kantor—yang tangan kirinya menggelayut pada lengan kekasihnya. Kami bertiga menyeruak membelah kerumunan orang-orang yang mulai memadati gedung tempat resepsi.

Di atas sana, sahabatku Mona tengah berbahagia dalam hari bersejarahnya. Suatu peristiwa yang menanggalkan status nona di depan namanya. Sebuah perubahan yang sudah dia rencanakan sejak dua tahun yang lalu ketika mulai menjalin hubungan dengan suaminya itu.

Di sampingku, ada Kemi yang mungkin saja hanya menunggu waktu untuk mengalami perubahan yang sama.

Dan di tempatku berdiri, ada aku yang sebenarnya juga menginginkan hal yang sama.

Yah... ada kalanya, tutur kata dan mukamu nggak perlu sedemikian pilu, tapi hatiku tahu... bahwa rasa sakit ini, cukup aku yang tahu.

Sakit.

Bukan sekadar iri. Tapi, sakit.

Sebuah nyeri yang berasal dari pertanyaan: aku yang selalu berharap menikah duluan, lalu kenapa sekarang tempatku di garis paling belakang?

Namun, kalau sosok yang diajak membangun kehidupan rumah tangga itu belum dimunculkan, memangnya aku bisa marah pada Tuhan?


Note:

Hm... saya kembali dengan cerita baru. Masih satu universe dengan Mona si planner dan Kemi si lemot. Kali ini, cerita tentang sohib mereka berdua--Lanti, si anak paling manis dan anggun--hm...

Karena ini pov 1, saya ingatkan kalau pemilihan kata dan karakter jelas berbeda. Merek hidup dengan sifat dan pemikiran ajaib masing-masing. Cocok? Silakan dibaca. Nggak cocok? Tinggal ditutup saja :D

Setelah 40hari kepergian ayah saya, baru saya bisa membuka lagi laptop dan menarikan jemari. Semoga hasilnya nggak eror2 amat. Lol.

O...iya, maaf lahir batin semuaaaa :*

REFRAKSI (Stagnasi #3) - CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang