Rasanya baru kemarin aku menggendong Frey dan meninabobokan di lenganku agar bayi ini bisa tenang saat ibunya harus kerja di akhir pekan. Ya, memang Mona sesekali membawa Frey ke kantor karena menurutnya sudah dalam rencananya bahwa jatah libur digunakan untuk quality time bersama anak. Meski terkadang fokus Mona benar-benar tercurah pada pekerjaan dan memomong Frey adalah tugas kami bergantian, kami sama sekali nggak keberatan. Apalagi aku, aku benar-benar merasa sangat bahagia saat menghabiskan waktu bersama Frey. Dan sekarang, bocah yang baru saja lancar berjalan ini sudah nyaris ingin berlari ke sana kemari menghindari tangkapan orang-orang sambil tertawa kencang.
Rasanya baru kemarin aku bisa tidur nyaman di dalam pelukan erat sahabat mungil yang melingkarkan tangannya di perutku. Dalam setiap elusan dan tepukannya di punggung membuat tidurku jauh lebih nyenyak dan aku tak merasa sendirian saat menghadapi malam-malam terburuk dalam kehidupanku. Ritme dengkur halusnya yang teratur nyaris seperti obat tidur yang mampu melarutkanku ke alam mimpi sepertinya. Dan sekarang, gadis berambut ombre hijau ungu ini tengah berbaring meringkuk menahan mual, terlihat pucat dan pelipisnya dihinggapi keringat sebesar biji jagung.
"Syukur banget lah ya, lo udah resign, Kem," Mona bersuara—ibu Frey yang meskipun berada di dekat Kemi, matanya tak lekat dari putri semata wayangnya yang tertatih mengejar Dion, keponakan Saga yang malah berlari kencang sambil terbahak—"Kehamilan lo bakal bener-bener ngerusak rencana yang udah susah payah gue susun. Jelas... ritme kerja gue bakal berantakan. Ckckck."
Sekuat tenaga Kemi bangkit dari pembaringan dan tangannya lincah mendorong sisi kepala Mona. Kalau kata Saga itu namanya ditoyor. "Lo ngomong gitu nggak ingat diri, Mon? Lo kerja ama siapa? Laki gue. Gue bisa lho minta dia buat mecat lo."
Mona mengibas tangan. "Nggak mungkin," selanya dengan raut wajah mengejek. "Kerjaan gue jauh lebih berharga daripada ambekan lo. Tanya aja King."
Kemi meberengut, "Pap, ini Mona dipecat aja bisa, nggak?!" serunya saat melihat Pak King—suami Kemi sekaligus atas kami di kantor—memasuki ruangan sambil menggandeng Tara, puterinya yang berusia delapan tahun. Sepertinya mereka berdua baru selesai berenang.
"Kenapa memangnya?" tanya Pak King tenang. Tara melepaskan pegangan dan ikut dalam pusaran kejar-kejaran bersama Dion dan Frey. Membuatku tersenyum setiap kali tawa mereka berkumandang.
"Dia lho ngatain Mama, katanya syukur udah resign, kalau enggak bakal ngacauin kerjaan dia!" tuduh Kemi lengkap dengan pelototan.
"Oh, kalau begitu, Mona benar."
"Pap?!" Kemi melempar bantal sofa ke arah suaminya. "Kok jadi belain Mona sih, yang istri siapa coba?"
Kami hanya bisa menahan tawa saat menyaksikan Kemi yang setelah bicara lalu buru-buru berlari ke kamar mandi, memuntahkan apa pun isi perutnya. Kasihan sekali kondisinya, kehamilan benar-benar membuatnya tak berdaya. Tampaknya ucapan Mona dulu benar-benar berbuah pembalasan. Kemi tampak jauh lebih kepayahan dibanding Mona.
Sekembalinya dari toilet, kukira pertengkaran itu mereda, namun ternyata Kemi masih misuh-misuh, "Ini yang lagi hamil siapa? Kenapa nggak dibelain coba?"
Pak King menghela napas, perlahan ia duduk dan Kemi langsung menyurukkan kepala ke pangkuan suaminya. Pemandangan yang membuatku iri tentu saja. Sementara Mona dan Saga memutar bola mata.
"Saya ini pengusaha, bukan badan amal, Kemilau!" Saga langsung ngakak, sedang aku hanya bisa meringis. "Saya nggak akan melakukan sesuatu yang membuat rugi perusahaan, dan memecat Mona adalah salah satu tindakan yang termasuk dalam kategori itu."
"Apa gue bilang?" Cengiran lebar Mona membuat Kemi makin gondok.
"Jadi, Papa lebih milih Mona daripada Mama?!" jeritnya drama.
KAMU SEDANG MEMBACA
REFRAKSI (Stagnasi #3) - Completed
Literatura FemininaKeinginan Rilanti Nansarunai sederhana. Sesederhana novel romantis yang ia baca. Jatuh cinta pada orang yang juga mencintainya. Menikah. Bahagia. Habis perkara. Dari semua cerita yang ia baca, Lanti selalu tersipu dengan kegigihan tokoh lelaki meyak...