Meskipun malam sudah sedemikian larutnya, lalu lintas di kota ini seakan nggak pernah tidur. Masih banyak kendaraan yang berseliweran. Yah... mau gimana lagi, semua pasti punya alasan kenapa hingga jam segini masih berada di jalanan. Termasuk aku.
Pekerjaan mengecek laporan keuangan sebuah perusahaan yang menjadi klien terbaru kami membuatku nggak bisa pulang tepat waktu. Salahku juga sih, tadi Kemi mau menemani, tapi dengan sok tegar aku bilang nggak usah saja. Lagi pula, aku paham... Kemi harus buru-buru menemui Tara dulu, calon anak tirinya itu. Kata Kemi, sudah seminggu lebih dia nggak ketemu dan anak bule itu sudah berkali-kali menanyakan keberadaannya. Dan sekarang anak itu sedang demam tinggi.
Ah... andai aku seperti Kemi. Enak banget bisa diterima dengan cepat di keluarga calon suaminya.
Ih, jangan berpikir begitu, Lanti!
Mungkin kalau aku di posisi Kemi, bisa jadi keluargaku malah menolak habis-habisan untuk menerima calon suaminya. Nggak mudah menerima seorang pria yang memiliki putri di luar pernikahan. Biarpun itu bukan salah Tara, seperti yang selalu Kemi bilang, tapi dinding rumah dan pohon rambutan di pekarangan punya mulut dan telinga. Kuping orang tuaku bakal panas mendengarnya. Yah... itulah yang dihadapi Kemi. Belum tentu juga di posisinya aku bisa tahan kan?
Lain Kemi, lain lagi Mona. Sahabatu itu harus berjuang mati-matian agar diterima oleh keluarga suaminya sekarang. Malah sering dibanding-bandingkan sama mantan pacar suaminya itu. Ugh... aku mana bisa tahan kan?
Let see, Lanti. Seperti kata Kemi, semua orang punya kisah sendiri-sendiri. Everyone has their own struggle, isn't it?
Yah... Cuma itu yang bisa kulakukan setiap kali teringat bahwa sahabat-sahabatku sudah settle down duluan. Meskipun nggak bisa kupungkiri, nyeri itu masih sering terasa.
Katanya, cinta nggak pernah salah. Aku juga paham betul, kalau aku nggak bisa mengatur kepada siapa perasaan ini tertuju. Tapi, tetap saja... urusan dibalas atau nggak itu bukan lagi kekuasaanku.
Yah... meski dibalasnya perasaan cinta itu pasti indah.
Ah... sudahlah!
Aku sudah berjanji nggak mau mikirin itu lagi.
Aku membersit hidung yang mulai gatal gara-gara suhu turun. Kulirik arloji di pergelangan tangan. Sudah pukul satu pagi. Rasanya sedikit menyesal karena tadi menolak ditungguin Saga. Yah... karena aku tahu, Saga juga mesti ke rumah sakit, menunggui Mbak Anye, kakaknya, yang tengah dirawat. Mana aku tega kan?
Jam segini, naik ojek online berisiko masuk angin, sih. Aku juga nggak bawa jaket. Tapi, kalau naik mobil atau taksi, lumayan juga harganya. Gimana, ya?
"Rilanti!"
Suara itu membuat aku mendengak. Aku mengerutkan dahi hingga si pengemudi melepaskan helmnya. Oh, dia kan teman Kemi dari tim lain. Sering ke ruangan dan bertukar flashdisk dengan Kemi. Kok bisa tahu namaku?
"Ya?"
"Mau pulang?"
"Iya."
"Naik apa? Yang lain mana?"
"Udah pulang duluan."
"Waduh... lo ditinggalin? Lembur sendirian?"
Aku menggeleng. Lalu mengangguk. Aku menggeleng untuk pernyataan ditinggalkan, dan iya untuk lembur sendirian. Jadi, jawabnya gimana, ya? Bingung.
Lelaki itu terkekeh. "Mau gue anterin?" tawarnya.
Dengan cepat aku menggeleng.
"Yah... emang sih, gue cuma bisa nawarin naik motor. Jam segini pula."
KAMU SEDANG MEMBACA
REFRAKSI (Stagnasi #3) - Completed
ChickLitKeinginan Rilanti Nansarunai sederhana. Sesederhana novel romantis yang ia baca. Jatuh cinta pada orang yang juga mencintainya. Menikah. Bahagia. Habis perkara. Dari semua cerita yang ia baca, Lanti selalu tersipu dengan kegigihan tokoh lelaki meyak...