[Reaksi Saga hanya sedikit mengangguk saat aku menyebutkan tujuanku. Tanpa bertanya lebih jauh, dia langsung memutar mobil ke arah yang berlawanan dari rencana awal kami.
Sepanjang perjalanan, Saga mengetuk-ngetuk setir namun kali ini tanpa senandung keluar dari bibirnya. Berbeda jauh dengan saat kami berangkat tadi, di mana kadang kala aku ikut terkekeh saat Saga meneriakkan lirik lagu. Seperti semangatnya yang menular, kali ini kekalutannya juga menghinggapiku. Dan penyebabnya adalah aku.
Namun, seperti biasa... Saga adalah orang paling pengertian yang pernah kutemui. Dia benar-benar menghormati pilihan sikapku, meski kecemasan tidak berlalu dari wajahnya. Dan lelaki ini menyembunyikannya dengan cukup baik.
Setitik rasa bersalah kembali hinggap di dadaku. Bukan hanya soal perubahan rute, namun kami berdua yakin sekali kalau menu makan malam yang Saga idamkan bakal ikut berubah. Nggak mungkin ada gulai ayam untuk malam ini, entah bagaimanapun nanti akhir dari cerita hari ini.
Saga melenguh panjang saat menepikan mobil dan menurunkan kaca untuk menyapa singkat penjaga apartemen. Dari senyumnya, aku tahu bahwa beliau masih mengenali kami sebagai teman dari pemilik salah satu tempat di sini. Dan sepengetahuan beliau tentu saja kami masih bebas mengaksesnya. Sementara, aku justru mematung saat penjaga apartemen menyilakanku masuk. Aku mengerang... mungkin terakhir kalinya ke sini adalah setahun lalu. Saat peristiwa itu terjadi.
"Yakin nggak mau ditungguin?" Kalimat pertama yang keluar dari bibir sahabatku yang bungkam sejak aku menyebutkan tujuan sepulangnya dari berbelanja.
Aku membalasnya dengan anggukan dan meraih handel pintu untuk turun dari mobil. Saga menumpangkan kepalanya di setiran dan itu membuatku merasakan nelangsa. Maaf. Namun, tak kunjung bisa kata itu kuucapkan. Kugigit bibir agar bisa menahan mataku yang tiba-tiba memanas.
"Lan?" panggilnya lagi. "Gue tungguin, ya?"
Aku menghela napas sembari merasakan debaran yang nyaris menyakitkan di dada. Kali ini bercampur rasa tegang dan rasa nggak nyaman karena mengecewakan sahabatku lagi. Dentuman itu berubah makin cepat, namun sebisa mungkin kutahan karena cukup aku saja yang tahu betapa saat ini jantungku berdetak tak keruan. Sekali lagi Saga mengangkat alisnya tanda bertanya. "Nggak usah, kamu kan udah ada janji berenang sama Dion, Ga," ujarku mengarang alasan. Padahal setengah hatiku ingin Saga tetap di sini, karena jika sekonyong-konyong terjadi sesuatu yang buruk padaku, aku akan lebih gampang pergi dan meninggalkan tempat ini tanpa harus ada drama lanjutan lagi yang harus tercipta karena aku memerlukan waktu menunggu taksi. Tapi aku tahu diri, mengantarku ke sini saja sudah cukup untuk melukai hati sahabatku yang begitu perhatian. Maka, aku bergeming, dan Saga menatapku lebih lama lagi, seperti meyakinkan dirinya sendiri. Lalu dia mengangguk pelan. Mobilnya meluncur bersamaan dengan aku yang melangkah ke lift.
Aku masih mengingat kombinasi angka untuk membuka tempat ini karena dulu sering sekali mampir untuk memastikan kebersihan tempat ini—yang kutahu pasti dibersihkan secara teratur, yang tentu saja adalah alasan—yang lebih tepat adalah, aku kerap ke sini untuk mengenang seseorang. Seseorang yang dulu meminta masukan dariku untuk melengkapi perabotan.
Dan kami tertawa bersama saat memilihnya.
Dan untuk pertama kalinya kudengar dia menggunakan frasa 'kita' yang membuat hatiku menggelepar bahagia.
Padahal waktu itu, makna 'kita' hanyalah sebatas sapaan saja.
Berbeda jauh dengan hari ini. Aku yakin.
Kumasukkan tanggal ulang tahun Mona seraya berharap bahwa kodenya belum diganti. Beberapa detik aku menahan napas dan saat akses diterima, helaan lolos dari bibirku. Dan entah kenapa, mataku kembali memanas saat ini. Kegugupan melandaku. Keringat dingin mulai terasa di tanganku. Remasan berkali-kali kulakukan agar menciptakan kehangatan yang sekarang kubutuhkan. Kuhela lagi napas panjang untuk meneguhkan tekadku. Perlahan kulangkahkan kaki dan menemukan kondisi yang gelap gulita saat pintu terbuka. Kuraba saklar dan kutekan pelan, lalu kemudian terkesiap karena menyadari tidak banyak hal berubah dari tempat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
REFRAKSI (Stagnasi #3) - Completed
ChickLitKeinginan Rilanti Nansarunai sederhana. Sesederhana novel romantis yang ia baca. Jatuh cinta pada orang yang juga mencintainya. Menikah. Bahagia. Habis perkara. Dari semua cerita yang ia baca, Lanti selalu tersipu dengan kegigihan tokoh lelaki meyak...