[refraksi #5]

19K 3.2K 195
                                    


Pertama kali aku ketemu Bang Kaio adalah saat kami berdua—aku dan Mona—memutuskan untuk masuk ke rumah yang Kemi kontrak sendirian. Ketika itu, nggak ada pikiran apa pun saat Mona bilang kalau kakaknya yang tengah liburan akan membantu kami pindahan. Aku malah bersyukur ada bantuan tenaga lelaki yang akan meringankan. Yah... setidaknya, buat angkat-angkat kardus berat.

Tapi, nyatanya enggak seremeh itu.

Bang Kaio benar-benar memastikan Mona bisa tinggal nyaman di rumah ini hingga mau bolak-balik direpotkan menata barang-barang dan membeli berbagai barang keperluan adiknya itu.

Perhatiannya itu...

Aku dan Kemi sampai meringis iri.

Rasanya pengin saja punya kakak laki-laki maha baik, perhatian dan nggak menolak buat direpotkan begitu.

"Sumpah, Bang! Gue berani suwer demi masa depan Wakanda, Lanti tuh beneran orang yang tepat!"

"Eh?" Aku terkesiap.

Kemi menatapku dengan mata segaris. Dari dulu aku paham banget jenis lirikannya yang seperti ini berarti: sudah-lo-diam-aja-biar-gue-yang-atur.

"Gimana, Lan?" Bang Kaio berbalik ke arahku.

Dan aku bingung harus menjawab apa.

Pernah nggak berada dalam kondisi ingin bilang 'ya' atau 'nggak' tapi lidahmu serasa mati untuk digerakkan?

Kalau begitu, kamu pasti bisa memahami apa yang sekarang aku rasakan.

Dari dulu, salah satu hal yang paling sulit kulakukan adalah mengekspresikan isi hati. Padahal dalam diamku, aku mengerti bahwa manusia tidak bisa membaca pikiran satu sama lain. Sudah seharusnya kita menunjukkan apa yang kita mau, kita sukai atau kita pilih agar orang lain bisa mengerti.

Namun, nggak semudah itu bagiku. Aku hanya... merasa tidak memiliki cara yang tepat untuk menunjukkannya. Aku takut, mereka tidak memahami apa yang aku ucapkan. Sama seperti sekarang.

"Ya, oke kan, Lan? Lo pasti bisa kan?"

Kalau kudengar, kata-kata Kemi bukan lagi merujuk pada penawaran kan? Dia sudah mengklaim keputusan.

"Percayalah, Bang. Kalau urusan tata menata rumah, Lanti jagonya. Nggak bisa lain! Ajak dia aja udah!"

Aku menghembuskan napas hingga pundakku bergerak naik. Semoga saja Kemi mengerti maksudnya, bahwa ini cukup... berat buatku. Namun, di sisi lain... aku juga kepingin bang—

"Ya sudah, kalau Lanti memang nggak sibuk, besok bantuin Abang, oke?" Bang Kaio memandangiku lekat. Aku sampai kesusahan meneguk ludah. Hanya dengan tatapan dan kata-kata itu membuat kepalaku otomatis mengangguk. Nyaris tanpa perlawanan. Apa memang semudah ini aku mengiyakan kalau menyangkut dia?

Duh!

"Mona sih, main pergi honeymoon aja. Tempat tinggal nyuruh orang lain beresin. Untung Bang Kaio baik, ya, Bang? Kalau gue, minta begitu sama kakak gue, udah dislepet sama dia kali," seloroh Kemi. Lagi-lagi membuat Bang Kaio tertawa. "Pokoknya, serahin udah sama Lanti. Abang tinggal jemput dia besok. Mau pilih furniture macam gimana juga, Lanti pasti bisa milih yang terbaik dan cocok buat Mona. Ya kan, Lan?"

Aku buru-buru menggeleng. "Hng... be-belum tahu, ta-tapi...—"

"Terus lo mau ngandelin gue buat menata isi rumah Mona? Dan bikin sohib kita yang perfeksionis itu ngamuk gara-gara pilihan gue yang amburegul emesyeyu? Lan... Lan, bantuin Bang Kaio, napa?!"

REFRAKSI (Stagnasi #3) - CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang