Aruni Indhira Wardhana memiliki prinsip yang kuat dalam hidupnya: tidak ada yang lebih sia-sia daripada balikan dengan mantan. Baginya, kembali menjalin hubungan dengan seseorang dari masa lalu ibarat membaca novel yang sama berulang kali; jalan cer...
"Halo, Teh?" Suara Raras, sepupunya, terdengar di ujung sana begitu sambungan terhubung. "Udah pulang, Teh?"
"Udah." Aruni menyempatkan menelan makanan yang masih di mulutnya. "Ini aku lagi di McD, ada apa?"
Raras mendengus. "Gimana sih, Teh? Katanya mau jemput aku. Udah lama aku nunggu, eh, kamu malah asik makan!"
Aruni langsung menepuk jidat, mengingat sesuatu yang terlupakan. Hari ini ia sudah berjanji menemani Raras fitting kebaya di butik temannya. "Aduh, maaf, Ras, aku lupa banget, hehehe..."
Helaan napas panjang terdengar dari Raras. "Padahal aku udah ingetin dari pagi tadi, Teh Aruni!" keluhnya, kesal.
"Maaf, Ras... Beneran lupa. Kamu mau nitip apa? Nanti aku beliin deh."
"Jangan nyogok gitu, Teteh!" Raras mendengus. "Kalau mau bantu biaya nikahan, aku terima dengan sukarela."
"Dih... ngarep!" Aruni berdecak. "Aku otw sekarang, kamu nunggu di mana?"
Setelah mendengar lokasi Raras, Aruni segera memutus sambungan telepon dan bergegas menuju pintu keluar. Ia tak lupa membawa makanannya.
Namun, langkah terburu-buru itu membuatnya tak sengaja menabrak seorang anak kecil hingga jatuh, dan sialnya, es krim yang dipegang anak itu ikut terjatuh ke lantai.
"Eklim Odi jatuh," rengek anak itu sambil mulai menangis.
Aruni berjongkok menyamai tinggi si anak. "Ssst... jangan nangis, ya. Nanti Tante beliin es krim lagi, oke?"
Saat itu, sebuah suara bariton menyela. "Tuh kan, Abi udah bilang jangan lari-lari. Jadinya es krim Audy jatuh, kan?"
Aruni mendongak. "Maaf, saya yang..." Kata-katanya terputus ketika ia mengenali wajah pria yang berdiri di depannya. "Randi?"
"Lho, Aruni?"
Keduanya terdiam sejenak, saling menatap dengan ekspresi terkejut, hingga anak kecil itu kembali merengek, "Abi, eklim Odi jatuh."
Aruni cepat-cepat meminta maaf. "Maaf banget, aku tadi buru-buru, jadi nggak sadar jalan."
Pria itu tersenyum, menampilkan deretan giginya. "Nggak apa-apa, Aruni. Audy juga memang hobinya lari-larian."
Aruni terkekeh kecil, menatap wajah kecil yang basah oleh air mata. "Tante ganti ya, es krimnya."
Namun, ia mendesah dalam hati ketika melihat antrian kasir yang begitu panjang. Jika harus menunggu, Raras pasti akan semakin kesal.
"Eh, tapi maaf, Ran," kata Aruni, mencoba mencari kata yang tepat. "Aku lagi buru-buru, urgent banget. Maaf, ya?"
Randi segera menyela saat melihat Aruni mulai merogoh tasnya. "Nggak usah, Aruni. Biar aku aja."
"Eh? Beneran nggak apa-apa?" tanya Aruni, sedikit tak enak hati.
"Nggak apa-apa. Santai aja. Lebih baik kamu lanjutkan urusanmu."
"Terima kasih ya, Ran. Makasih banyak..." Aruni memberi cubitan pelan di pipi anak kecil itu. "Maafin Tante ya, jangan nangis lagi, nanti cantiknya hilang."
Aruni kemudian melangkah menuju mobilnya, membuka pintu, dan duduk di kursi kemudi. Ia menarik napas panjang, menyadari kesalahan yang baru saja dilakukan. Seharusnya ia tidak kabur. Seharusnya ia bertanggung jawab mengganti es krim anak itu, berapa lama pun antreannya.
Namun, mengetahui siapa orang tua anak itu membuat Aruni sesak. Lagi pula, ia tak salah dengar, kan? Anak itu memanggil Randi dengan panggilan 'Abi'.
Ya, Randi adalah mantan kekasihnya. Dan menerima kenyataan bahwa Randi telah berkeluarga cukup sulit baginya.
But, life must go on. Aruni menghela napas panjang sebelum menyetir mobilnya menuju tempat tujuan.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.