Enggannya mencinta part 1

73.9K 1K 9
                                    

Trauma tentang masa lalunya membuat Anna berjanji pada dirinya sendiri untuk melupakan makhluk yang namanya lelaki sampai ia bertemu dengan Leo yang telah memporak-porandakan kehidupan dan hatinya.

 @@@@@@@@

Anna memandangi suaminya yang sedang menyisir rambutnya. Bau parfum yang khas memenuhi ruangan berukuran 3x3 meter itu. Wajah Sammy Moechtar, suaminya yang tampan terpantul dari kaca cermin berbentuk bundar yang tidak begitu besar. Rambutnya ikal tertata rapi dengan sedikit diberi gel di sana sini. Kulitnya putih bersih, yang menurut Anna, lelaki itu seharusnya tidak pantas berada di ruangan ini. Terlalu sempit untuk seseorang yang memiliki wajah bak model yang sering ada di cover -cover majalah ternama. Yeah, Anna mengakui Sammy memang lelaki tampan yang pernah ia kenal.

Sammy kuliah di Universitas yang sama dengan dirinya meski beda jurusan. Yang membuat mereka akhirnya dekat dan menjadi sepasang kekasih adalah karena mereka sama-sama mengurus mading. Teman-teman wanita di kelasnya tentu saja iri dengan kedekatan mereka. Tapi  Anna dan Sammy tak peduli. Meski beberapa ada yang mengatakan bahwa mereka adalah pasangan ideal. Yang satu cantik dan satunya lagi lelaki tampan.

Pembicaraan beberapa hari yang lalu membuat Anna duduk dengan gelisah di atas ranjangnya. Ia ingin mengatakan sesuatu pada Sammy. Tapi melihat wajah ceria suaminya itu, Anna menjadi serba salah. Tapi kalau ia tidak mengatakannya, mungkin ia akan menyesal nantinya. Anna menghela napas berat. Dadanya berdegup dengan kencang. Ia harus bicara, sekali lagi.

"Apa kau yakin dengan keputusanmu itu?" Akhirnya Anna bertanya juga setelah beberapa saat yang lalu keraguan muncul dalam dirinya.

Sammy yang masih mematut-matut dirinya di depan cermin mengangguk mantap.

"Ini demi kita Anna. Aku, kau dan juga Intan."

Anna memandangi Intan yang masih tidur dengan pulas. Wajahnya yang mungil nampak sesekali tersenyum. Napasnya berhembus teratur naik turun. Anna membenahi letak selimut bayi itu di tubuh Intan, putrinya yang masih berusia 3 bulan. Tangannya gemetar mendengar jawaban Sammy. 

"Tapi apakah harus di luar kota? Bukankah di sini pekerjaanmu sudah cukup bagus?" Anna bertanya dengan suara tercekat seperti hendak menangis. Airmatanya sudah ingin tumpah tapi ia berusaha menahannya. Ia tidak bisa membayangkan bahkan berandai-andai bila kelak ia harus berjauhan dengan Sammy. Apalagi putri mereka masih sangat kecil dan butuh perhatian darinya dan ayahnya. Dan bila Sammy benar-benar pergi, bukankah Intan akan kekurangan curahan kasih sayang dari ayahnya?

Sammy membalikkan tubuhnya dan memandang Anna yang masih tertunduk lesu. Dihampirinya wanita itu lalu ia duduk berjongkok di depannya. Matanya nampak bersinar-sinar. Diraihnya tangan Anna yang masih bergetar, meremasnya dengan erat seperti mengalirkan hawa hangat melalui tangannya. Ia mengangkat dagu Anna, memandang mata Anna yang berkaca-kaca. Melihat wajah cantik iut tersaput mendung tak urung membuat hati Sammy lemah. Tapi ia berusaha sekuat tenaga untuk mengalahkan perasaan itu.

"Di sana peluang kerja lebih bagus Anna. Bos merekomendasikan aku untuk menjadi manager dan aku tidak mau menyia-nyiakan kkesempatan itu. Ini sungguh berarti bagiku."

"Tapi..."

"Kumohon pengertianmu Anna."potong Sammy dengan cepat. "Kita sudah pernah membicarakan hal ini sebelumnya dan kau setuju. Ini demi kita Anna. Demi putri kita." Sammy menghela napas dengan berat. Sungguh berat rasanya harus meninggalkan keluarga kecil yang baru dibinanya. Tapi keputusan yang ia ambil adalah demi kelangsungan hidup mereka di masa depan.

"Aku berjanji akan mengabarimu sesering mungkin setelah sampai di sana. Berdo'alah untukku supaya aku baik-baik saja." lanjutnya.

Wajah Sammy berubah sendu demi melihat Anna yang menitikkan airmatanya perlahan. Direngkuhnya wanita cantik itu dalam pelukannya. Terdengar isak tangis yang lirih keluar dari mulut Anna. 

"Sudahlah, jangan menangis. Aku akan semakin berat meninggalkanmu." Sammy mencoba menghibur Anna. Pelukannya makin erat membelenggu tubuh Anna. Dadanya serasa tak bisa bernapas dengan lega. Ada rasa sakit di sana. 

Anna mendongakkan wajahnya menatap Sammy diantara butiran-butiran bening yang keluar dari matanya. Suara isak tangisnya masih terdengar meski perlahan-lahan ia bisa menguasai dirinya. Anna menghela napas dalam-dalam.

"Aku tahu." jawab Anna lirih. "Aku akan mencoba tegar." Ia menghela napas lagi. "Demi Intan." katanya sembari menoleh ke arah putrinya yang masih tertidur.

Sammy melepaskan pelukannya lalu duduk di samping Anna dan membelai kepala putrinya yang masih sedikit ditumbuhi rambut. Sebagai seorang ayah sebenarnya ia tak tega harus meninggalkan putrinya yang masih terlalu kecil. Tapi demi melihat keadaan mereka yang hanya hidup di rumah kontrakan yang kecil, mau tak mau Sammy harus bekerja lebih keras supaya mereka bisa membeli rumah sendiri.

"Aku sudah minta tolong sama Bu Lastri untuk menjagamu dan Intan selama aku pergi." Sammy berkata sembari berjalan menuju pintu depan. Anna mengikutinya dengan lesu dibelakangnya.

"Berhati-hatilah di sana. Jaga kesehatanmu." kata Anna lirih hampir tak terdengar. Ingin sekali ia berteriak menyuruh suaminya itu tinggal. Tapi ia juga tahu hidup terus berlanjut dan ia tak bisa berbuat apa-apa lagi selain merelakannya pergi. 

Sammy meletakkan koper besarnya di lantai lalu memeluk tubuh Anna erat. Mencium wangi tubuhnya yang masih terlihat sedikit gemuk karena masih menyusui. Akan berapa lama lagi kah ia bisa memeluk istrinya itu? Sammy memejamkan matanya  dan menarik napas panjang. Andai saja hidup lebih berpihak padanya, batin Sammy miris.

"Aku tidak akan melupakanmu dan Intan karena tujuanku ini adalah untuk kalian. Do'akan aku."pinta Sammy sembari merenggangkan pelukannya dan menatap wajah Anna lekat. Hatinya seperti diiris sembilu manakala melihat airmata Anna yang menetes di pipinya yang putih.

Anna memejamkan matanya menahan gejolak hatinya yang tak karuan. Sepertinya ia sudah tak mampu lagi menahan suaminya pergi jauh darinya. Tapi ia terus menekankan pada dirinya sendiri bahwa ini memang demi kebaikan mereka. Meskipun berat ia berusaha merelakan suaminya pergi.

Sammy mendekatkan wajahnya ke wajah Anna lalu mencium bibir tipis wanita yang sangat dicintainya itu, wanita yang memberikannya kebahagiaan lengkap sebagai lelaki. Bibir itu begetar seperti pertama kali ia menciumnya di depan rumah Anna saat ia mengantarnya pulang dari menonton bioskop. Anna merengkuh Sammy erat. 

Sammy melepaskan ciumannya lalu mengambil koper besarnya. Ia mendesah lalu berbalik dan melangkahkan kakinya meninggalkan Anna yang menatapnya dengan berderai airmata. Ia tak berani menoleh ke belakang karena takut ia tak akan sanggup meninggalkan keluarga kecilnya.

Pertahanan Anna jebol. Ia berlari ke kamarnya dan menangis tersedu-sedu.

##############

 Hi readers....salam kenal yaaaa.....aku masih baru di sini, jadi mohon saran dan kritiknya ya...juga votenya hehehe...thanks

Enggannya mencintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang