Enggannya mencinta 5

21K 702 5
                                    

Jam beker berdering dengan keras. Anna menjulurkan sebelah tangannya dari balik selimut menggapai benda berbentuk bulat  yang terletak di atas meja di samping tempat tidurnya lalu mematikan suaranya yang memekakkan telinga. Anna membenamkan wajahnya ke dalam bantal. Kepalanya sedikit pusing karena semalaman ia tidak bisa tidur. Masih teringat dalam otaknya kata-kata ibunya saat ia menjemput Intan yang sedang menghabiskan masa liburan sekolahnya di sana.

"Anna. Sudah waktunya bagimu untuk mencarikan seorang ayah bagi Intan. Kasihan dia. Walau bagaimanapun ia masih membutuhkan figur seorang ayah. " kata ibunya malam itu saat Anna duduk bersantai di beranda rumah orang tuanya. Intan sedang bermain games di depan komputer bersama kakeknya di ruang tengah. Terdengar tawa mereka bergantian diselingi teriakan kemenangan dari bibir Intan.

Anna menghela napas berat. Ia paling tidak suka jika ibunya membicarakan hal ini setiap kali ia berkunjung  ke rumah orang tuanya. Tapi ia juga tidak mau mengecewakan ibunya yang selalu mendampinginya di saat ia benar-benar terpuruk. 

"Sudahlah bu...Untuk saat ini aku tidak mau membicarakan hal itu lagi. Aku tidak tahu apakah aku bisa mencarikan ayah yang baik bagi Intan. Sulit rasanya menerima seorang laki-laki dalam kehidupanku, yang bisa menerimaku apa adanya. Tidak hanya aku tapi juga Intan. Aku tidak mau kecewa untuk yang kedua kalinya bu." Anna berkata sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Wajahnya tertunduk lesu.

Tangan ibunya yang mulai menampakkan garis-garis keriput dimakan usia menggenggam tangan Anna erat. Ia bisa merasakan kepedihan yang dirasakan putrinya saat ini. Sejak  Sammy meninggalkan Anna dan Intan, keadaan mereka sungguh memprihatinkan. Kepulangan anak dan cucunya ke rumah mereka beserta surat cerai yang dibawanya, membuatnya dan suaminya marah besar. Ayah Anna yang merasa dihina oleh keluarga besar Sammy berencana akan menemui mereka tapi Anna memohon dengan keras supanya ayahnya mengurungkan niatnya itu. Meski sakit hati dan harga diri mereka diinjak-injak, akhirnya ayahnya mengabulkan permohonan putrinya itu manakala Anna bersimpuh di kakinya dengan berlinang airmata dan selalu berkata 'jangan lakukan ayah, ini demi diriku'.

"Ibu mengerti. Ibu hanya bisa berdo'a untukmu supaya kamu bisa benar-benar menemukan seorang suami dan ayah yang baik untuk Intan. Ibu hanya ingin melihatmu bahagia."

Ibunya melepaskan genggaman tangannya lalu memandang Anna dengan tatapan lembut. "Ibu harap kamu tidak menutup dirimu dan mulai membuka hatimu untuk orang lain. Kamu masih muda, dan kamu berhak untuk bahagia." ujarnya dengan senyum yang tulus.

Anna menatap ibunya terharu. Bayangan sebuah dosa yang pernah ia lakukan dulu bersliweran dalam pikirannya. Sebuah penyesalan yang tak pernah bisa ia maafkan. Bagaimana ia dengan mudah telah menghancurkan nama baik yang telah mereka jaga selama bertahun-tahun dengan hamil diluar nikah. Tatapan kecewa terpeta dengan jelas dalam wajah mereka yang beranjak tua.

Dan yang lebih membuat Anna tidak bisa menyalahkan dirinya adalah bagaimana reaksi keluarga Sammy yang menentang dengan keras hubungan mereka. Anna dan Sammy memutuskan keluar dari rumah dan memilih mengontrak setelah pernikahan mereka sah. Dan petaka itu ternyata belum selesai.

Anna merengkuh tubuh ibunya dengan erat, merasakan kehangatan yang mengalir dalam dirinya.

"Seorang ibu tak akan pernah bisa membiarkan anaknya menderita sekecil apapun." Kata-kata ibunya itu terngiang dengan jelas di telinga Anna kala ia kembali pulang sambil menggendong Intan.

Anna tak kuasa menahan airmatanya.

Anna mendesah. Ia bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan menuju kamar mandi. Tangan kanannya memijit-mijit pelipisnya yang berdenyut pelan. Ia berhenti di depan wastafel dan memandang wajahnya di sebuah cermin bundar yang agak besar yang tergantung di atasnya. Wajahnya nampak lelah. Lingkaran hitam di bawah matanya nampak samar terlihat. Jemari tangan kanannya menelusuri kantung matanya secara bergantian sedangkan tangan kirinya menggenggam erat pinggiran wastafel.

Kini jemari tangannya bergerak lagi menelusuri wajahnya secara perlahan. Kerutan di sudut matanya belum nampak, dan ia tersenyum lega. Usianya sudah menginjak 32 tahun saat bulan April lalu dengan meniup dua lilin sesuai usianya di atas kue tart yang dibeli Intan di sebuah toko roti dengan mengajak Wati. Mata Anna berkaca-kaca saat putri kecilnya itu mengucapkan selamat ulang tahun untuknya.

Anna menurunkan tangannya lalu memutar kran air. Ia membasuh mukanya lalu menatap wajahnya sekali lagi. Titik-titik air menetes dari rambutnya yang terkena cipratan air. Dalam matanya itu tersirat betapa ia membenci laki-laki. Ia tidak tahu tentang perasaannya saat ini dan ia juga tidak tahu sampai kapan ia membenci makhluk yang namanya laki-laki.

Setiap kali ada laki-laki yang mendekatinya, Anna selalu menghindar. Selama ini hanya kengerian yang selalu muncul dalam benaknya bila ada seseorang yang berusaha menginginkannya lebih dari sekedar teman. 

Apakah aku trauma? pikir Anna dalam hati. Mungkin saja itu terjadi karena ia tidak ingin kecewa untuk yang kedua kalinya. Perasaan sakit hati sudah terpatri dalam dirinya. Tapi tatkala ia memandang wajah putrinya, perasaan kasihan langsung mendera dirinya. Intan selalu menanyakan dimana ayahnya. Dan Intan berhak tahu.

Ketika Intan masih kecil, Anna sedikit berbohong pada putrinya kalau ayahnya bertugas ke luar kota. Tapi kini putrinya sudah menginjak usia 9 tahun dan ia tidak mau terus-terusan berbohong kepada putrinya mengenai ayahnya. Secara perlahan ia memberitahukan tentang semuanya meski dirasa begitu berat. Anna menyimpan sebuah foto Sammy saat kuliah dulu, satu-satunya benda yang ia miliki. Walau bagaimanapun, Sammy tetap ayah Intan dan Anna tidak bisa mengingkari hal itu.

Seandainya waktu bisa berputar kembali, ia ingin keluarga kecilnya utuh meski hidup sederhana. Padahal Anna tidak meminta apapun dari Sammy. Sammy mau bertanggung jawab atas dirinya saja itu sudah cukup baginya.

Anna mendesah lagi. Kini lebih berat dari sebelumnya. Ia sudah muak dengan pikiran-pikirannya tentang Sammy. Tidak ada yang bisa ia banggakan dari diri mantan suaminya itu. Terlalu banyak kesalahan yang telah Sammy lakukan terhadap dirinya terutama kepada Intan.

Anna menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia membasuh mukanya sekali lagi berharap pikiran-pikiran tentang Sammy lenyap dalam ingatannya.

@@@@@

Enggannya mencintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang