Hai...hai...hai...
Komentnya...
Votenya....
Jangan lupa....
Happy reading readers....
===========================================================
Sudah tiga hari ini hujan turun dari langit tiada henti. Matahari pun mulai enggan mengeluarkan bola lampu raksasanya meski hanya sekedar mengintip. Mendung yang hitam kelam tak memberikan celah sedikitpun bagi manusia untuk menikmati hangatnya bola raksasa ciptaan Tuhan itu.
Cacing-cacing tanahlah yang bergembira dengan karunia Tuhan tersebut, yang membuat tubuh mereka menggeliat merasakan kenikmatan disekujur tubuhnya yang penuh dengan tanah, menyeruak keluar merasakan tetes-tetes air yang basah.
Anna mengetuk-ngetukkan jemarinya di meja, memandang laptopnya yang masih menyala. Masih ada dua pekerjaan yang harus ia tangani untuk satu bulan kedepan. Ia sudah menelpon pak Baskoro, pemilik kebun bunga krisan, agar pengiriman bunganya segera sampai dua hari sebelum jadwal pengerjaannya di sebuah perusahaan ekspor impor di Jakarta utara, dan pak Baskoro selalu menepati janjinya.
Anna melirik telpon warna merah yang ada di samping laptopnya. Ia tersenyum. Baru saja Leo berbicara dengannya hanya sekedar menanyakan apakah ia sudah makan. Mendengar suara berat laki-laki itu saja sudah membuat Anna begitu bahagia. Sejak ia pingsan dua hari yang lalu, Leo selalu menyempatkan diri untuk menelponnya saat jam istirahat. Ia tidak mau melewatkan kebersamaan mereka lagi sesibuk apapun ia bekerja, begitu yang dikatakan Leo saat Anna melarangnya menelpon dirinya saat berada di kantor. Anna begitu terharu mendengarnya.
Sebuah kilat menyambar, refleks membuat Anna menundukkan kepalanya dengan berteriak kecil. Cukup membuat jantungnya menjadi deg-degan. Ia mengelus dadanya lalu memandang curahan hujan melalui dinding kaca tokonya. Seorang pria membuka pintu kaca itu lalu berhenti di ambang pintu sembari mengibas-ngibaskan rambutnya yang terkena tetesan hujan.
Cara laki-laki itu mengibas-ngibaskan rambutnya dengan tangannya masih sama seperti dulu. Rambut ikalnya kini menjadi sedikit berantakan karena perbuatannya itu. Kini kedua tangannya turun menyentuh mantel tebalnya dan mengibaskannya sekali lalu wajahnya yang rupawan itu kini menatap Anna yang sudah berdiri tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Mau apa kau kemari lagi?" tanya Anna ketus. Wajahnya sudah tidak bisa dikatakan bersahabat terhadap seorang tamu. Kedua tangannya dilipat di dada. Laki-laki itu melangkah mendekati Anna lalu berhenti di depannya dengan mata penuh penyesalan.
"Anna, aku..." Sammy menundukkan kepalanya. "Aku mau minta maaf padamu. Aku telah bersalah. Kumohon..."
"Berani sekali kau minta maaf padaku!" teriak Anna memotong kata-kata Sammy. Beruntung dua orang pekerjanya sedang keluar makan siang di luar dan Wati ijin pulang lebih dulu karena anaknya sedang sakit.
Tiba-tiba tubuh Sammy melorot, bersimpuh di depan Anna dan menundukkan kepalanya dalam-dalam. "Anna, aku mohon maafkanlah aku. Ini semua bukan kemauanku. Sungguh. Mama yang memaksaku melakukan semua ini." kata Sammy dengan suara begitu mengiba.
Anna mendengus kesal sambil memutar bola matanya. "Cih! Sampai kapan kau akan sembunyi dibalik punggung mamamu? Aku kecewa padamu Sammy. Sungguh kecewa." ujar Anna dengan suara berat.
Sammy mendongakkan kepalanya menatap Anna yang memalingkan wajahnya memandang ke luar. "Waktu itu aku menolak keputusan mama yang gila itu. Bagaimana mungkin aku menceraikanmu sedangkan aku sangat mencintaimu. Tapi mama mengancamku dengan berbagai cara. Hingga akhirnya aku bersedia menandatangani surat cerai itu karena aku takut terjadi apa-apa denganmu dan anak kita." Sammy menarik napas dalam-dalam saat Anna menoleh memandangnya dengan pandangan sedingin es.
KAMU SEDANG MEMBACA
Enggannya mencinta
RomanceTrauma tentang masa lalunya membuat Anna berjanji pada dirinya sendiri untuk melupakan makhluk yang namanya lelaki sampai ia bertemu dengan Leo yang telah memporak-porandakan hidupnya dan cintanya.